Author: Suadi

  • Kuningisasi di Thailand

    Mumpung baru hangat-hangatnya kudeta militer di negeri Raja Bhumibol ini, ta sempat kan nulis pengalaman singkat berkunjung ke sana di bulan Agustus yang lalu. Kebetulan ya dapat kesempatan melihat beberapa bagian wilayah negeri ini dan sempat menikmati keramaian dan kemacetan kota Bangkok. Sehingga bisa sedikit terbayang bagaimana kota Bangkok kalo dipenuhi oleh tank-tank tentara. Jadi ingat juga ketika di tahun 1998, saat akan balik ke Jogja dengan kereta dari gambir, banyak sekali tank-tank yang parkir di sekitar lapangan monas.

    Yang menarik buat saya ketika disana adalah kepemimpinan raja masih terasa sekali pengaruhnya. Tahun ini merupakan tahun ke-60 kekuasaan raja Bhumibol. Kecintaan terhadap raja sekilas yang bisa saya perhatikan sepertinya bisa diukur dengan mudah yaitu dengan melihat sebaran warna kuning dipelbagai belahan kota dan juga bisa dihitung dari persentase orang berpakaian kuning (khususnya pada hari Senin), warna yang menjadi simbol raja. Ternyata ya memang luar biasa, dan kayaknya bisa menandingi kuningisasi gubernur Jateng, Suwardi jaman orba deh…he he. Di mana-mana setiap Senin orang-orang pada berpakaian kuning, sampai kaos untuk kegiatan yang saya ikutipun warnanya juga kuning.

    Cerita lainnya, tepat di hari ulang tahun permaisuri saya pas ada ditengah kota Bangkok dan banyak sekali anak muda memakai slayer biru, biru yang menjadi warna simbol permaisuri (tapi yang ini tidak disertai dengan biruisasi…:). Ulang tahunnyapun disiarin oleh TV dengan kembang api yang bisa nyaingi hanabi Jepang…he he. Pak Harto pernah nggak ya kayak gitu?. Barangkali tanpa dukungan raja, kudeta militer itu mungkin tidak akan berjalan mulus kali ya. Raja kayaknya bukan hanya simbol, tapi masih kuat pengaruhnya, sampe desain pertanianpun raja masih cukup berpengaruh. Kira-kira kalo banyak nelayan Thailand menangkap ikan secara ilegal di wilayah perairan kita (menurut catatan SEAPA sih ada 3000an tiap tahunnya, tapi ini data tahun 2002) masuk bagian pengaruh kebijakan pertaniannya nggak ya?…hus!!

    Sayang ya, kita minim sekali memiliki pemimpin yang disukai perilaku politiknya.

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Nelayan kita tertembak Lagi

    Belum ada sebulan saya menulis tentang kematian nelayan di wilayah perbatasan, kembali kita disajikan berita yang serupa yaitu tentang penembakan nelayan oleh tentara negeri tetangga. Kali ini terjadi di sekitar pulau yang menjadi sengketa antara RI dan Malaysia, yaitu pulau berhala. Menurut laporan Antara kejadian tersebut terjadi pada tanggal 17 September sekitar pukul o7.30 WIB. Dua nelayan Belawan, Sumatra Utara, yang menjadi korban adalah Zainuddin (35) dan Hok Chin (27) dan keduanya dinyatakan masih dalam kondisi kritis karena penembakan tersebut. Sial benar nasib nelayan-nelayan kita ini. Masihkan kejadian serupa segera muncul lagi? Saya berharap -harap cemas semoga tidak ada lagi.
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Berkaca pada Peristiwa Kematian Nelayan di Wilayah Perbatasan

    Tentang kematian nelayan yang melakukan ekspansi perikanan ke daerah perbatasan dengan wilayah negara tetangga, di bulan Agustus yang lalu ada dua peristiwa yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita. Pertama tentu datang dari negeri kita sendiri, yaitu kematian Mulyadi, seorang anak buah kapal ikan (ABK) Buana Jaya, yang tertembak oleh angkatan bersenjata Papua New Guinea (PNG). Sedangkan peristiwa kedua adalah kematian Mitshuhiro Morita, nelayan penangkap kepiting (crab) dari Hokkaido-Jepang, oleh patroli pantai Rusia. Dua peristiwa ini sama bercerita tentang kematian nelayan di daerah perbatasan, namun keduanya memiliki kelanjutan cerita yang nampak sangat berbeda.

    Kematian Mulyadi dan penahanan 9 orang nelayan lainnya pada Selasa, 9 Agustus yang lalu, tentu saja menuai protes keras dari pihak Indonesia terutama karena penggunaan kekerasan secara berlebihan dan ketidakjelasan akan kebenaran posisi kapal melanggar wilayah perbatasan atau tidak. Juru bicara Departemen Luar Negeri Desra Percaya seperti dilansir Kompas (8/10) bahkan memanggil Dubes PNG untuk menyerahkan nota protes tersebut. Setelah jasad Mulyadi diserahkan ke pihak keluarga di Papua lebih awal pada hari Kamis, kesembilan rekannya baik yang terluka maupun yang selamat dibebaskan oleh Pengadilan Wilayah Vanimo dengan membayar denda masing-masing sebesar 200 kina PNG (setara Rp 650.000) seminggu kemudian (Senin, 15 Agustus). Seperti diungkap pihak kepolisian Provinsi Sandaun kepada the National 16 Agustus yang lalu, nilai denda ini tentu sangat kecil karena pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan ini hanya dianggap sebagai pelanggaran keimigrasian, walaupun penangkapan ikan secara ilegal dipandang sebagai kejahatan serius, apalagi acap kali nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayahnya melakukan kekerasan terhadap polisi patroli PNG yang menggunakan kapal motor ukuran kecil.

    Seperti halnya kematian Mulyadi, kematian Morita, tepat sehari setelah pembebasan kawan-kawan Mulyadi (16 Agustus), juga mengundang protes keras dari pihak Jepang karena penggunaan senjata dalam penanganan kasus semacam ini. Apalagi Jepang berpandangan bahwa wilayah dimana terjadi penembakan tersebut adalah wilayah yang sejak lama (di akhir Perang Dunia II) menjadi sengketa antara kedua negara ini. Segera Deplu Jepang juga meminta agar kapal ikan besera dua ABK dan kapten kapal yang selamat dilepas. Namun proses yang akan dilalui oleh nelayan Jepang ini tidak akan semudah nelayan Indonesia di PNG. Seperti dilansir oleh BBC, walaupun Rusia merasa perlu meminta maaf atas penembakan tersebut, namun mereka tetap tidak dapat mentolerir penangkapan ikan di wilayah kedaulatnnya secara ilegal. Ketika utusan Jepang, Yasuhisa Shiozaki (Wakil Senior Kementerian Luar Negeri) menemui Alexander Alexeyev (Deputi Kementerian Luar Negeri) di Moscow, pihak Moscow seperti dilansir The Japan Times menjanjikan pertimbangan kemanusiaan yang terpenting dalam penyelesaiaan kasus ini. Namun, Rusia hanya melepas dua ABK Kisshin Maru pada tanggal 30 Agustus yang lalu, sementara kapten kapalnya tetap ditahan dan akan dibawa kemeja hijau.
    Apakah pelanggaran batas wilayah sebagai penyebab utama kekerasan yang berakhir kematian yang menimpa nelayan di luar wilayah negerinya berkurang dimasa yang akan datang? Nampaknya sangat sulit berharap berkurang karena salah satu faktor penting yang menyebabkan nelayan melakukan ekspansi ke daerah penangkapan ikan yang baru (new fishing ground) salah satunya adalah karena semakin sulitnya menangkap ikan di wilayah terdekat dan tentu juga ada harapan besar untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik di daerah yang baru. Untuk kasus Jepang menurut catatan Yomiuri, sejak akhir PD II sampai akhir 2004 yang lalu tercatat 1330 kasus penangkapan kapal ikan Jepang oleh Rusia. Pelanggaran batas wilayah ini diperkirakan masih akan meningkat karena daya tarik sumberdaya ikan di wilayah yang menjadi sengketa ini. Bahkan setelah kasus penembakan Morita pelanggaran garis batas ini seperti dilansir The Japan Times, 26 Agustus lalu, masih terjadi dan mengundang protes pihak Rusia. Pelanggaran serupa juga masih dilakukan oleh nelayan Indonesia pasca kematian Mulyadi ketika 26 Agustus yang lalu Angkatan Laut PNG kembali menangkap empat kapal ikan Indonesia dan menahan 17 awaknya.

    Ketidaktahuan nelayan akan batas wilayah negara sendiri masih sering kita pegang sebagai alasan utama pelanggaran wilayah satu negara. Alasan ini juga yang dikemukan oleh dua nelayan Jepang saat dilepas oleh pihak Rusia. Namun demikian, ekspansi perikanan seperti ini tentu memiliki akar permasalahan di negeri atau wilayah di mana nelayan biasa melakukan penangkapan ikan. Salah satu permasalahan itu adalah semakin menurun sumberdaya ikan di daerah penangkapan ikan terdekat. Ketika nelayan berhadapan dengan sumberdaya dengan kondisi seperti ini, kemungkinan pilihan adaptasinya adalah 1) melakukan ekspansi ke daerah penangkapan ikan yang baru dan (atau bersamaan dengan itu) 2) memodifikasi alat tangkap supaya lebih efisien. Dua temuan ini yang saya lihat dilakukan oleh nelayan Sape, Nusa Tenggara Barat atau nelayan Cilacap, Jawa Tengah dalam beberapa kali saya mengujungi mereka beberapa tahun silam. Hal serupa juga dikemukan oleh Butcher (2005) dalam studi sejarah tentang perikanan di Asia Tenggara seperti tertuang dalam bukunya “The Closing of the Frontier, A History of the Marine Fisheries of Southeast Asia C. 1850-2000”. Lebih jauh Butcher menilai bahwa perikanan kini (khususnya di Asia Tenggara) telah atau sedang menuju batas pertumbuhan karena tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan telah dimanfaatkan secara intensif. Tentu saja sumberdaya ini dimanfaatkan tidak hanya oleh nelayan lokal tapi juga oleh nelayan dari daerah lain, pulau lain, bahkan negara lain. Sehingga, jika kita tidak cermat atau bijakasana mengelola sumberdaya di sekitar kita, di dekat daerah kita, atau di negeri kita, bukan tidak mungkin ekspansi perikanan ke daerah lain atau ke pulau lain saja akan berdampak buruk bagi kita. Karena kita sudah melihat banyak konflik perikanan atau konflik antar nelayan lahir dari kisah perluasan daerah penangkapan seperti ini. Walahu’alam.

    Ami-machi, 4 September 2006

    Suadi

    (suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id)

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Berburu si Sirip Biru sambil Menabuh Genderang Perang

    Sejak pertengahan Agustus ini beberapa media massa Australia mengangkat salah satu isu besar perikanan, yaitu “illegal fishing”. Sumberdaya apa yang menjadi topik dan siapa yang menjadi “tertuduh” akan menarik kita perbincangkan karena: 1) ikan yang menjadi isu adalah spesies yang telah dikategorikan sebagai jenis yang terancam (punah) oleh komisi konservasi dunia atau IUCN, yaitu tuna sirip biru dari selatan (southeren bluefin tuna, SBT) (IUCN Red List of Threatened Species), 2) yang tentu saja masih terus diburu karena nilai ekonominya yang sangat tinggi. 3) Pihak yang menjadi sasaran Australia kali ini adalah Jepang, yang telah dikenal sebagai produsen dan konsumen terbesar jenis ikan ini. 4) Namun tentu patut kita catat bahwa Australia juga menjadi salah satu pemburu terpenting dari SBT. Dengan demikian, bagaimana “pertarungan” argumen dua raksa pemburu tuna ini menarik kita cermati, apalagi kita (Indonesia) juga menjadi salah satu pemain di dalamnya yang sangat mungkin terimbas oleh tabuhan genderang perang tersebut.

    Apa yang membuat Australia gusar?

    Adalah Richard McLoughlin, Direktur Pengelolaan pada Otoritas Pengelolaan Perikanan Australia, yang memaparkan beberapa data kecurangan yang dilakukan oleh Jepang, yang tentu menjadi pesaing utama Australia dalam perikanan tuna SBT ini. Seperti dikutip Australian News.Net 12 Agustus yang lalu dan beberapa media lain (seperti ABC News, Reuters, the Age, dan the Sydney Morning Herald), Jepang telah diduga menangkap SBT secara ilegal dengan nilai yang fantastis yaitu 2 milliar dolar Australia atau setara US$ 1,53 miliar dalam kurung waktu 15-20 tahun terakhir. Dari sisi produksi diperkirakan jumlah total hasil tangkapan ilegal atau yang tidak dilaporkan oleh Jepang diperkirakan mencapai 12.000 sampai 20.000 ton selama 20 tahun terkahir. Angka ini mungkin lebih besar lagi karena juga diduga bahwa ribuan hingga puluhan ribu ton ikan tidak melewati sistem pelelangan yang berlaku di Jepang, karena SBT langsung dijual pada perusahaan pengumpul (retailer).

    Faktor apa yang memperkuat dugaan Australia ini? Dua hal yang kiranya patut dikemukan yaitu 1) keengganan pihak Jepang memasang paper trail pada hasil tangkapan SBT dan 2) juga keengganan memasang sistem pemantau indepeden pada kapal perikanannya. Demikian kira-kira pendapat pihak Australia seperti diberitakan dalam beberapa medianya.

    Lalu apa tanggapan pihak Jepang atas tuduhan ini?

    Seperti telah diatur dalam CCSBT (Commison for the Conservation of Southern Bluefin Tuna) Jepang memiliki kuota SBT sebesar 6.065 ton per tahun. Pihak Jepang seperti dilaporkan Yahoo!7 News memang telah mengumumkan diawal tahun ini bahwa terjadi penangkapan SBT melebih kuotanya sebesar 25 percent. Namun, Jepang dengan tegas menolak tudingan Austalia tersebut. Pihak Jepang berpendapat bahwa terlalu dini menanggapi klaim tersebut dan tentu saja negeri sakura ini lebih senang mendorong isu tersebut untuk dibahas di lembaga konservasi (CCSBT) khususnya dalam pertemuan Oktober mendatang. Apalagi perikanan Australia juga diduga menjadi salah satu biang penurunan stok SBT. Masayuki Komatsu, Deputi Direktur pada Far Seas Fisheries Division, Fisheries Agency, seperti dikutip the Age mengklaim bahwa perikanan purse seine Australia telah menangkap juvenil (anakan) SBT dalam jumlah besar dan secara hipokrit menjualnya ke pasar Jepang. Sehingga, tidaklah salah jika dikalangan pemerintahan di Jepang ada yang berpendapat bahwa isu ini di”blow up” hanya untuk kepentingan para nelayan Australia sendiri dan kelompok lingkungan hidup. Apalagi dengan kuota 5.000 ton per tahun Australia dapat meraup sedikitnya 40 juta dolar Australia per tahun, tentu keuntungan yang tidak sedikit buat nelayan dan industri perikanan Australia secara umum.

    Adakah isu semacam ini punya dampak pada perikanan kita?

    Walaupun kita merupakan salah satu negara produsen utama ikan tuna, tetapi untuk jenis SBT kontribusi produksi Indonesia hanya 5% dari total hasil tanggkapan global (angka sementara yang dilaporkan CCSBT diperkirakan total hasil tangkapan SBT sebesar 13.490 ton pada tahun 2004). Hasil tangkapan Indonesia sebesar 677 ton pada tahun 2004 tersebut sedikit meningkat dari tahun 2003, tetapi jauh dibawah hasil tangkapan dalam kurung waktu 10 tahun sebelumnya (1992-2002), yang berkisar antara 750 sampai 2.500 ton. Sementara hasil tangkapan tertinggi dicapai pada tahun 1999 mencapai 2.504 ton.

    Barangkali sangat sulit atau mungkin mustahil untuk berharap Indonesia mengulang capaian tahun 1999, yaitu dengan produksi di atas 2000 ton. Hal ini bukan saja karena performa perikanan tuna SBT kita sedang atau telah menurun, tetapi juga genderang perang di atas sedikit banyak akan mendorong pengaturan perikanan yang lebih ketat terutama oleh CCSBT di masa mendatang. Permasalahn lainnya juga kita bukanlah anggota dari komisi ini (CCSBT) dan kalaupun ikut dan terlibat dalam pertemuan CCSBT hanyalah sebagai peserta dengan hak bicara saja tanpa hak suara. Akibatnya kita hanya mengikuti apapun yang dihasilkan oleh CCSBT termasuk dalam penentuan kuota (pemberian kuota pada masing-masing negara merupakan salah satu ciri model pengelolaan SBT yang dilakukan oleh CCSBT). Pada periode tahun 2005-2006 oleh CCSBT kita hanya diberi kuota sebesar 800 ton per tahun, di bawah kuota Korea Selatan dan Taiwan yang masing-masing memperoleh 1.140 ton per tahun (keduanya menjadi anggota CCSBT masing-masing pada tahun 2001 dan 2002).

    Dengan posisi yang tidak terlalu kuat seperti itu, Indonesia tentunya perlu bersiap-siap jika genderang perang itu berbelok arah ke negeri ini. Sebagai peringatan saya ingin mengutip potongan komentar Brian Jeffries dari Asosiasi Pemilik Kapal Tuna, Australia seperti dirilis ABC Local Radio ……Japan did over catch in 1999 and are reducing their catch into year 2000 by the amount of their over catch in 1999……..Now, Australia did exactly the same thing…….I think labeling Japan is realy missing the issue. The issue is these unregulated countries….. Negara manakah yang dimaksud oleh Jeffries? Tentu saja salah satunya negeri kita ini. Siapkah kita dengan jawaban yang memadai dan “bertempur” di medan ini atau memenangkan sebagian dari pertempuran itu? Walaupun Indonesia masih bukan negara members dari CCSBT, kita berharap jawabannya siap. Apalagi dengan telah diketahuinya salah satu bagian dari wilayah kita sebagai tempat pengasuhan/pemijahan jenis ikan ini, kita berharap itu menjadi salah satu amunisi untuk memperkuat daya tawar yang lebih baik. Walahu’alam.

    Ami machi, 29 Agustus 2006

    Suadi

    e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Sinopsis Buku “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut”

    Sinopsis Buku “Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut”

    Buku ini ditulis bersama oleh Johanes Widodo dan Suadi dan baru saja diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press.

    Sumberdaya ikan masih berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan protein ikani bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.

    Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan nampak masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitafi produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di Indonesia. Di sisi lain, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya ikan dan habitatnya semakin meluas, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO diperkirakan lebih dari 60% stok ikan dunia telah diekploitasi pada tingkat penuh sampai tingkat rusak (depleted), dan diantaranya tidak lebih dari 1% yang pulih kembali. Beberapa bagian buku ini seperti dibahas pada Bab I sampai Bab IV dapat menjadi acuan akan pentingnya sumberdaya ikan dan berbagai permasalahan dalam pengelolaannya.

    Trade-off antara ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Beberapa pertimbangan dan tujuan pengelolaan serta dasar biologi pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di bahas lebih jauh dalam Bab V sampai Bab VII. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan biologi, ekonomi, dan sosial sehingga melahirkan berbagai model pengelolaan perikanan.

    Model biologi menjadi fokus utama dalam buku ini, walaupun dalam pembahasan juga meliputi beberapa pertimbangan sosial, dan ekonomi. Model-model yang dimaksud meliputi model konvensional yang telah dikenal seperti model surplus produksi yang telah dijadikan acuan dalam pengaturan “total allowable catch” (TAC) oleh pemerintah sejak tahun 1985, model dinamik pool, dan juga model ekosistem yang akhir-akhir ini terus dikembangkan dan dijadikan acuan pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang beragaman.

    Sementara, dampak dari kebijakanan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis pada spesies target (tunggal), telah meninggalkan permasalahan baru bagi spesies target, spesies ikan lainnya, dan organsime lain yang memiliki keterkaitan niche dengan jenis tersebut dan lingkungannya. Hal ini menjadi dasar pembahasan khusus Perikanan Multijenis, yang tentu saja menjadi ciri perikanan di daerah tropis seperti Indonesia. Selanjutnya, beberapa isu dan pengalaman internasional juga dikemukan secara khusus pada bagian akhir buku ini guna menjadi acuan arah pengelolaan sumberdaya ikan.

    Tentu saja, untuk membangun perikanan secara berkelanjutan perlu kerjasama dari berbagi pihak untuk tidak menggulangi pengalaman kegagalan pengelolaan perikanan di Canada, ketika para politisi menyalahkan ahli perikanan karena berbagai temuan teknologinya, sebaliknya politisi juga dipersalahkan karena kebijakannya yang terus mendorong ke arah eksploitasi, dan pada gilirannya juga nelayan serta industri perikanan menjadi bagian dari saling menyalahkan. Pada satu titik, pengelolaan perikanan diharapkan tidak sampai melahirkan apa yang telah diperingatkan oleh Garret Hardin, empat dekade yang lalu, yang dikenal sebagai “the tragedy of the commons”. Walaupun apa yang ditulis Hardin telah banyak mendapat kritik, tetapi modelnya telah banyak berpengaruh dalam berbagai pengambilan kebijakan pengelolaan sumberdaya yang masih bersifat terbuka (open-access) termasuk diantaranya telah menjadi karakter perikanan (bagian ini akan penulis uraikan dilain kesempatan).

    Buku ini kami harapkan bisa menjadi acuan bagi kegiatan pembelajaran dan pengkajian sumberdaya, serta sedikit banyak juga bagi pengambilan kebijakan pengelolaan perikanan secara bijakasana di negeri ini. Mewakili penulis pertama buku ini, secara khusus ini adalah warisan yang berharga dari almarhum Dr. Johannes Widodo yang penulis kenal selalu menjadi acuan bagi pengembangan perikanan laut di Indonesia, sampai sebelum beliau berpulang. Satu kearifan yang pernah penulis (kedua) dapatkan dalam pertemuan terakhir dengan beliau sebelum beliau meninggal dan menjadi ruh dari buku ini adalah: ”ditengah berbagai ketidak-pastian dan keterbatasan pengetahuan kita akan sumberdaya ikan, dan berbagai realitas yang kita lihat sehari-hari, sudah sepatutnya kita bersikap lebih konservatif, dalam pengertian lebih berhati-hati dan bijaksana”. Tentu saja pengelolaan perikanan tidak diharapkan untuk selalu membatasi gerak gerik para pemanfaat sumberdaya, tapi diharapkan dapat menjadi acuan akan arah kemana sumberdaya ikan dimanfaatkan guna keberlanjutan bersama.



    Ami-machi, Ibaraki, Jepang

    S u a d i

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Indonesia and Global Warming Discourse: Some Challenges Agenda after the Kyoto Protocol Ratification

    It is evidence that when we enter to new millennium of 21st century we come together with a new regime of global environmental change one of which called global warming. The anthropogenic activities particularly green house gases (GHG) emission vouch for this and has been identified as a driving factor to the climate change. The serious adverse effect has been predicted such as heat waves, tropical cyclones, intense rainfall, flooding, salinization, sea-level rise, etc., that not only cover the natural ecosystem but also human society (IPCC, 2001). Thus, global community is paying more attention and spends much more energy, time, and even money to combat this change. There are two main key issues to fight for it: 1) reducing the cause and impact (mitigation effort); and 2) fostering the adaptation strategy, that both need a global partnership and cooperation.
    As the country placed the fourth biggest population in the world, it also contributed 1.34 percent of world total emission (rank no. 18 in 2002) and its emission growth to reach 3.6 per year until 2025 (above China, India, Mexico, and Brazil growth) (CAIT, 2006), Indonesia might play important role to hand in hand combat the climate change. Thus, since 24 June 2004 Indonesia ratified a Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) and promulgated it to the Law no. 17/2004.
    Soon after ratifying the protocol, a national dialog held to find the answer to the question of what next agenda. This dialog come to end with several immediate actions including 1) legalizing the National Commission of Clean Development Mechanism (CDM), 2) improving the capacity for all stakeholders, 3) increasing the participation in international negotiations, 4) developing a national database, and 5) actively searching opportunities of international funding for CDM (Napitupulu, 2004). Currently, some initial projects on CDM have also expanded. Nevertheless, behind all those agenda, there still some urgent and challenging questions left such as: what is the urgency of such protocol for Indonesia now? How about the sector economy growth, how much will it be effected by the duty on such protocol in the next future? How to keep economy growth more while emit less at same time? Indeed, I realized that those questions are crucial when currently we face complex economic problems. This short paper will not answers to all those questions as I just want to share some issues relate to the vulnerability of this environmental changing to the Indonesian archipelagos.
    Looking more deeply to Vulnerability Issues in Coastal Area

    Geographically, 75% of Indonesian region is ocean. As the country comprised of 17,504 inlands and coastline over 81,000 km made Indonesia as one of the biggest archipelagos countries in the world. As the current consciousness to empower the ocean, the current development has also begun to shift from inland-base to coastal-marine-base. Thus, since the establishment of ministry of Marine Affairs and Fisheries in 1999, the central government expenditure for this sector remarkable increased from only 70 billion rupiah in 1999 to 2.02 trillion rupiah in 2004. This figure at minimum figure out the hope to mainstreaming the economic development from these resources.
    However, the hope is facing a great challenges of high poverty rate in the coastal areas, the deterioration of coastal environmental quality, heavily exploitation of fishery resources, and inappropriate legal framework, etc. Moreover, the current coastal area in developing countries such Indonesia might become more vulnerable to the climate change due to 1) most of productive-base activities for people in this area is natural resources-climate change dependent (such as agriculture, aquaculture, and fisheries); 2) there is also another prove that the poorest of the poor is living in the rural coastal area in which they also link to the natural resources that come to limit to grow such as fishery resources (the poverty headcount index of fishers based on Statistics Indonesia (2004) reach 28, above national PHI 18) ; and 3) those people also has lower financial, technical, and institutional capacity to adapt to such change. Thus, rethinking current coastal development is required. Indeed, such opportunity is there when currently representative house (DPR) is preparing the law on coastal management.
    Rethinking Land use-forestry and energy policy

    The sectors above share majority of GHG emission in Indonesia. When deforestation is still occurring in rate of 1.2% per year because of illegal lodging, land use change, and forest fires (Tanujaya, 2004), the emission reduction from the activities heavily depend on the strong goodwill of the government. While from the energy sector, as the oil still becomes the major source of energy (63 percent of the final consumption), diversifying energy use is becoming one important problem for current Indonesia. Even in the long-term government is targeting to reduce oil sharing to 26.2 percent of total energy consumption and raised the share of gas and coal to 64.3% in 2025 (geothermal and renewable energy for remaining), indeed, it is not an easy way to achieve.

    Promoting climate change-adaptive agriculture

    As the dominant sector in which accommodate most of the labor force, even its share to GDP decreased from 51% in 1965 to only 16% in 1996, this sector is high vulnerable to the climate change as it is climate change dependent activities. Adaptive technology is required for example to adapt to drought or to the salinization of the land in the coastal area. The aim of such policy is of course to ensure the food security and even more the sustainability of the rural area.
    Finally, even there still so many problems and challenges after the ratification of Kyoto Protocol, and even we currently also face so many problems of social economic, the consciousness and commitment to hand in hand to combat the risk or vulnerability of climate change is few of essential duty for us.

    Suadi

    suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Terumbu karang: Keajaiban Alam yang Terus Terancam

    Terumbu karang: Keajaiban Alam yang Terus Terancam

    Ada bahan bacaan yang menarik tentang terumbu karang di Newsweek edisi terbaru April 2006. Sayangnya, sekali lagi berita yang tidak menggembirakan tentang lingkungan pesisir kita menjadi sorotan media masa. Newsweek menempatkan terumbu karang kita bersama Machu Picchu (Peru), Luxor (Mesir), Babylon (Iraq), Maldives, Venice (Italia), dan Great Wall (Cina) sebagai tujuh keajaiban dunia yang paling terancam (“The 7 most endagered wonders of the world”). Bagi terumbu karang, seperti dilaporkan media ini, dua faktor cukup menonjol yang menjadi ancaman keberlanjutan keindahan alam ini yaitu 1) penangkapan ikan secara berlebihan beserta teknik penangkapan yang destruktif; dan 2) kenaikan permukaan air laut. Sepertinya upaya konservasi dan rehabilitasi termasuk upaya mempertahankan atau membuat aktivitas ekonomi masyarakat yang terkait dengan sumberdaya ini berkelanjutan terasa semakin menantang, apalagi faktornya ancamannya bertambah satu yaitu perubahan lingkungan global seperti kenaikan permukaan air laut dan perubahan iklim. Pekerjaan rumah tentang pengelolaan lingkungan yang semakin berat dan membutuhkan komitmen yang kuat.
    “Berwisatalah kesana sebelum mereka menghilang”, kira-kira pesan Newsweek melihat berbagai ancaman akan keberlanjutan keindahan alam dan kreasi manusia tersebut.
    (Foto: Persiapan rehabilitasi terumbu karang (foto dari Mbak Titik di Bunaken) .
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Tsunami Reformasi Universitas Jepang

    Pemerintah Jepang melakukan berbagai gebrakan reformasi universitas di awal milenium ini. Beberapa universitas terkemuka seperti Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, Universitas Osaka, Universitas Hokkaido dan Universitas Ibaraki memanfaatkan momentum ini untuk membangun kolaborasi besar dalam riset dan pendidikan. Kelima universitas ini sejak Agustus 2005 lalu telah bersepakat membangun jaringan bernama IR3S (“Integrated Research System for Sustainability Sciences”) yaitu suatu kolaborasi akademik yang ditujukan untuk mengkaji dan memperbaiki mekanisme sistem global, sosial, dan manusia, serta berbagai jejaringnya agar mampu menjawab berbagai permasalahan komplek saat ini dan akan datang terutama di Asia. Petinggi universitas menjadi “team leader” dan masing-masing secara independen membangun inisiatif riset yang dikemas dalam aneka “Flagship Project”. Universitas Ibaraki misalnya, melalui “Institute for Global Change Studies (ICAS)” mengusung ”Future of Asia and Pacific Coast” dengan menempatkan kaji dampak, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Teknik, pertanian, dan pembangunan wilayah yang adaptif terhadap perubahan iklim menjadi fokus utama universitas ini sampai tahun 2009 mendatang. Kolaborasi dengan industripun telah lama menjadi berita.
    Gelombang reformasi universitas Jepang

    Kolaborasi riset telah memiliki akar sejarah yang panjang di Jepang, misalnya antara universitas atau institusi riset dengan para petani senior dalam penemuan dan pengembangan industri benih tanaman pangan yang unggul dalam era Meiji. Sesaat pasca kekalahan Perang Dunia II, reformasi pendidikan diwarnai pertarungan pengaruh antara dua ideologi, walaupun dominasi Amerika Serikat seperti disebutkan Mitoji Nishimoto dalam salah satu edisi Jurnal Educational Sociology (1952) mengalir deras bak aliran air. Kisah heroik mewarnai perjalanan reformasi ini yaitu ketika pemimpin di pedesaan merelakan diri mati terhormat saat kurang mampu menggalang dana untuk pendidikan. Pasca pendudukan (1952-1960), pemerintah menilai ulang pendidikan era sebelumnya dan mulai menyesuaikan dengan model tradisional pendidikan Jepang. Moral pendidikan seperti filosofi hidup, kebodohan berperang, pentingnya persahabatan, dan permasalahan yang dihadapi para orang tua kemudian diperkenalkan. Era ini diikuti ekspansi ekonomi antara tahun 1960an-1970an, yang juga menstimulus universitas memproduksi lulusan yang sesuai kebutuhan industri.
    Dalam era 1980an Jepang dihadapkan pada tantangan ekonomi dan sosial pasca pertumbuhan spektakuler ekonomi periode sebelumnya, sehingga reformasi pendidikan dituntut untuk dapat menjembatani tantangan di abad ke-21 dan harmonisasi tradisi dan nilai yang dianut bangsa Jepang (Edward R. Beuchamp dalam Education Quarterly, 1987). Era 1990an pendidikan Jepang telah memasuki “post-massification” yaitu suatu indek dimana lebih dari 50% penduduk kelompok usia 18 tahun memasuki berbagai perguruan tinggi. Hasil ini seperti dikemukan Akira Arimoto dalam papernya “Trends in higher education and academic reforms from 1994 onwards in Japan” mendorong berbagai rekonstruksi pengetahuan dan fungsi universitas. “University Council” kemudian menempatkan tiga prioritas reformasi kualitas pendidikan yaitu penguatan fungsi pengajaran, pengembangan riset dan pengajaran bertaraf internasional, dan penyiapan “a long life learning society”.
    Gelombang reformasi universitas saat ini semakin terpusat pada faktor ekonomi, pasar dan buah dari deregulasi pemerintah. Tahun 2001 pemerintah melalui Monbukagakusho (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, Sains dan Teknologi) mengumumkan kebijakan reformasi struktural universitas dimana rasionalisasi salah satu diantaranya. Empat universitas dalam bulan Oktober 2002 telah bergabung menjadi 2 universitas yaitu University of Yamanashi dan Yamanashi Medical College menjadi Universiy of Yamanashi, serta University of Tsukuba dan University of Library Information Science menjadi University of Tsukuba. Setahun kemudian dicanangkan penggabungan 20 universitas lainnya menjadi 10 universitas dimana 3 diantaranya pada Oktober 2005 telah bersepakat berkonsolidasi menjadi 1 universitas. Perubahan substantial ini telah diawali dengan upaya mendorong universitas negeri menjadi korporasi, yaitu suatu institusi otonom yang mirip dengan universitas berbadan hukum (PT BHMN) yang diusung pemerintah kita di akhir tahun 1999. Pemerintah juga mendorong universitas agar memiliki daya saing yang tangguh dengan mengintroduksi evaluator dari pihak ketiga dimana JSPS (”Japan Society for Program Commitee”) melakukannya dalam tahun anggaran 2002 dan 2003. Untuk menjamin mutu juga dikenalkan sistem penjaminan mutu yang baru yang membuka ruang bagi penutupan departemen tertentu. Pengembangan program pasca-sarjana yang profesional bertaraf internasional seperti dicanangkan dalam program IR3S merupakan bagian dari reformasi universitas di negeri sakura ini.
    “Japan! Rise Again!” itulah yang menjadi target reformasi pendidikan Jepang.
    Apakabar reformasi universitas kita?

    Diantara revolusi pendidikan di Asia sesaat pasca kemerdekaan, Pauline Tompskin dalam salah satu edisi Jurnal Higher Education (1959) mengkategorikan pendidikan kita yang paling terbelakang. Kekalahan digaris start dapat dipahami karena Belanda tidak memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan. Generasi masa penjajahan yang pernah memperoleh kesempatan itu sebagian besar selalu kita kenang sebagai pencerah dan pejuang bangsa.
    Reformasi universitas sesi terakhir antara kita dan Jepang tidak banyak berbeda dari segi waktu, muatan, maupun faktor pemicunya. Jepang sejak tahun 1999 menggulirkan otonomisasi universitas negeri seperti tertuang dalam ”Basic Plan for Simple and Efficient National Administrative Organs”. Pemerintah kita juga dengan dasar serupa dalam tahun tersebut menjadikan 4 universitas besar di negeri ini yaitu UGM, UI, ITB, IPB menjadi PT BHMN (PP 61/1999). Sayangnya, reformasi kita tidak seperti di Jepang dimana sekuen waktu bisa diikuti seperti restrukturisasi univeristas di bulan Juni 2001, studi image universitas korporasi di bulan Maret 2002, panduan formulasi anggaran pada November 2002, dan legislasi Undang-Undang (UU) tentang universitas korporasi di bulan Juli 2003, serta realisasinya pada April 2004. Walaupun seperti halnya Jepang kita juga melakukan pembaruan UU sistem pendidikan (UU 20/2003), produk hukum ini belum mampu menjamin arah reformasi universitas. Sampai saat ini status PT BHMN termasuk model pendanaannya masih terkatung- katung, bahkan seperti dilaporkan Kompas (23/1) sejumlah universitas masih dipusingkan dengan laporan pertanggungjawaban keuangan kepada pemerintah. Tidaklah mengherankan, berita gembira reformasi universitas selama 6 tahun terakhir masih sangat terbatas dan ingatan kita lebih melekat pada demonstrasi para dosen dan biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau.
    Terlalu utopis berharap rasionalisasi universitas negeri seperti yang dilakukan Jepang, namun sekat untuk kolaborasi riset dan pendidikan di antara universitas patut dibongkar, termasuk dalam tubuh universitas itu sendiri. Tubuh universitas pun patut melakukan diet kelembagaan untuk menghemat penggunaan sumberdaya yang terbatas khususnya yang selalu menjadi momok yaitu dana. Pemerintah tentu diharapkan tidak mencuci tangan setelah menggulirkan otonomisasi universitas dan perlu terus mendorong agar upaya ini memiliki jaminan status dan arah yang jelas. Semuanya berpulang pada keseriusan untuk menjadikan universitas yang otonom dan berbasis pada riset seperti yang telah dicanangkan oleh banyak perguruan tinggi di negeri ini. Akhirnya, reformasi universitas kita harapkan menjadi tsunami membangun kemandirian dan upaya pencerdasan kehidupan berbangsa. Wahahu’alam

    Menjelang musim semi di pinggiran Danau Kasumigaura, 7 Maret 2006
    Suadi
    e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Seperempat Abat Perikanan Laut DIY

    Restrukturisasi kelembagaan yang ditetapkan dengan Perda No. 7 tahun 1980 dari Seksi Perikanan Darat Dinas Pertanian Rakyat menjadi Dinas Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi titik awal ghirah membangun perikanan dan kelautan di DIY. Sejarah yang mengawali pembangunan ini memiliki kemiripan dengan kelahiran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Keppres 136/1999, yaitu organisasi yang berdiri dari institusi di bawah Departemen Pertanian menjadi institusi yang independen dan setara dengan induknya. Tidaklah salah jika tahun ini seperempat abad sudah pengembangan perikanan dan kelautan di provinsi ini.


    Perubahan yang sedang melanda sebagian wilayah pesisir selatan Jawa (pansel) terutama dalam dekade terakhir menarik untuk diperbincangkan baik dalam konteks sejarah, budaya, maupun ekonomi, apalagi jika perubahan ini dipersandingkan dengan sejarah masyarakat di pesisir lain di utara Jawa (pantura). Jika di utara kita menemukan peran penting wilayah pesisir, tidaklah mudah kita jumpai hal yang serupa di pansel, kecuali di beberapa wilayah seperti Cilacap yang sudah dikenal sejak abad ke-19. Wilayah utara telah dikenal sebagai sentral kekuasaan politik kerajaan ternama dan secara ekonomi sebagai sentral perdagangan dan industri perkapalan. Abad ke-15 sampai ke-17 telah menjadi periode emas ekonomi pesisir, tidak hanya di Jawa tetapi di seluruh nusantara. Pasang surut wilayah ini seperti dikemukan Houben (1994) dalam tulisannya “Trade and State Formation in
    Central Java 17th-19th Century” tidak terlepas dari tarik-menarik politik antara pesisir-perdagangan dan pedalaman-pertanian. Dalam kontek sejarah inilah, provinsi DIY pernah dikenal sebagi pusat kekuasaan kerajaan yang berbasis di pedalaman yang sangat terkenal yaitu Kerajaan Mataram.


    Dari Petani Menjadi Nelayan

    Berbicara tentang kekinian, daya tarik ekonomi sumberdaya kelautan serta berbagai kelangkaan sumberdaya di darat telah memicu komunitas pesisir DIY dan sebagian pesisir lainnya di pansel untuk terjun ke laut. Perubahan yang terjadi dalam dekade ini, dalam perspektif sosio-historis dapat dikatakan revolusioner, tidak hanya karena masyarakat ini lebih dominan berkarakter agraris-pedalaman, tetapi juga karena mereka harus melawan tabir kultural dimana laut dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan mistis. Dalam komunitas ini laut dipandang berada di bawah kekuasaan seorang ratu yang oleh Whitten dkk (1999) dalam bukunya “Ecology of Java” digambarkan sebagai isteri gaib dan pelindung penguasa-penguasa mataram dan pewarisnya, sehingga Ia, mengutip Lombard (2000) dalam bukunya “Nusa Jawa” dikatakan perlu selalu disenangkan hatinya. Ritual labuhan dan kiriman sesajen dalam berbagai tradisi di selatan Jawa terutama dalam mengawali peluncuran perdana kapal ikan merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kepercayaan ini. Di beberapa wilayah, Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon adalah hari pantangan untuk melaut yang juga merupakan salah satu bentuk penghormatan tersebut. Tentu, patut dicatat bahwa nelayan-nelayan ini harus melawan kondisi hidrooseanografi Samudra Hindia dengan gelombang besar, jalur perairan dangkal yang sempit dan langsung jatuh ke kedalaman Samudra Hindia, serta berbagai keterbatasan lokasi yang memadai untuk pendaratan kapal ikan mereka.


    Pemerintah daerah tentu sangat dominan dalam mengakselerasi perkembangan kegiatan perikanan dan kelautan di DIY. Usaha ini pertama kali diintroduksi pada awal 1980 melalui serangkaian kerjasama antara pemda dengan nelayan dari Cilacap terutama untuk mengenalkan teknik penangkapan ikan. Di tahun 1984,
    lima unit perahu motor tempel (PMT) dijadikan kapal latih dengan melibatkan nelayan-nelayan Cilacap tersebut. Kapal ikan tersebut masing-masing diintroduksi di Pantai Samas-Kabupaten Bantul, Congot-Kulon Progo, dan Baron-Gunungkidul. Sayangnya, usaha ini dalam dekade 1980an hanya berlanjut di wilayah yang terakhir, sehingga tidaklah salah jika Baron diidentikkan sebagai perintis perikanan DIY. Setelah pelabuhan perikanan Sadeng-Gunungkidul, selesai di bangun tahun 1992, usaha perikanan mulai berkembang di beberapa wilayah lainnya khususnya di kabupaten yang sama. Namun demikian, dalam perkembangnya pelabuhan ini dibelit permasalahan aksesibilitas, fasilitas pendukung, ketidak-sepadanan teknologi, dan keterbatasan budaya masyarakat sehingga menjadikan Sadeng sarat akan pasang-surut yang ditunjukkan oleh produksi ikan dari 130 ton pada tahun 1995 menjadi 50 ton di tahun 1997, walaupun meningkat dalam tahun-tahun terakhir.


    Perkembangan Pesat dalam Era Otonomi

    Depresiasi rupiah di pertengahan 1997 dan diikuti dengan naiknya harga ikan, seperti lobster naik dari 50.000-150.000 rupiah per kilogram menjadi sekitar 250.000 rupiah per kilogram (Suadi 2002), yang kemudian diikuti oleh gelombang otonomi daerah di tahun 1999 mendorong peningkatan pesat investasi perikanan. Jika pada tahun 1997 jumlah total perahu hanya 139 unit, pada tahun 1999 meningkat menjadi 310 unit, dan saat ini telah menjadi 524 unit. Lokasi pendaratan ikan juga terus bertambah karena adanya investasi baru baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah dan diperkirakan tidak kurang dari 19 TPI saat ini, atau secara rata-rata 5.6 km per 1 pendaratan ikan.


    Kontribusi positif pembangunan perikanan terhadap ekonomi di pesisirpun sangat nampak seperti pendapatan nelayan yang melebihi UMP DIY, perumahan maupun pendidikan anak yang membaik, termasuk partisipasi wanita yang sangat menonjol. Usaha ini juga menjadi triger lahirnya berbagai aktivitas ekonomi di pesisir, terutama pariwisata yang dimotori para istri nelayan. Pemerintah daerah terus mengembangkan usaha ini dan sejak otonomi daerah bergulir di tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan lahirnya pelabuhan berbasis perikanan samudra, bukan hanya perikanan pantai. Ketika isu pelabuhan ini bergulir ketiga kabupaten pesisir yang telah disebutkan sebelumnya berlomba untuk menjadi lokasi pembangunan sarana perikanan tersebut, walaupun akhirnya Pelabuhan Glagah, Kulon Progo nampak mendapat prioritas dengan peletakan batu pertama di tahun 2005. Namun demikian, pembangunan pelabuhan ini masih akan alot karena permasalahan AMDAL (Kedaulatan Rakyat, 14-12-2005).


    ”Precautionary Approach” Pengembangan Perikanan

    Patut kiranya dikedepankan prinsip dan pendekatan kehati-hatian (”precautinary approach”) dalam pengembangan perikanan di wilayah ini, karena satu kenyataan yang dihadapi perikanan dunia saat ini adalah laju penurunan produktivitas perikanan dan berbagai ancaman kerusakan sumberdaya. Garcia dan Moreno (1999) dalam papernya tentang status perikanan dunia, melaporkan lebih dari 60% perikanan saat ini telah dieksploitasi secara berlebihan dan tidak lebih dari 5% yang berhasil pulih kembali melalui berbagai program rehabilitasi. Beberapa wilayah pantai di Indonesia juga diidentifikasi telah tereksploitasi secara berlebihan seperti di Selat Malaka dan Pantai Utara Jawa, bahkan di wilayah yang terakhir diperkirakan habitat ikan telah mengalami kerusakan berat. Indikasi pemanfaatan yang semakin intensif disebabkan investasi perikanan yang meningkat pesat juga mulai nampak di selatan DIY seperti ditunjukkan oleh produktivitas perikanan dari 50 kg per trip sebelum tahun 1997 menjadi kurang lebih 20 kg per trip dalam tahun-tahun terakhir (Suadi dkk. 2003). Indikasi semacam ini mengingatkan akan pentingnya pengelolaan perikanan secara bijaksana apalagi sebagai sumberdaya yang kepemilikannya masih dikenal sebagai sumberdaya kepemilikan bersama dan bersifat terbuka, kekurang hati-hatian akan mendorong perikanan pada apa yang dikhawatirkan oleh Hardin (1968) sebagai “the tragedy of the commons”.


    Beberapa metode pengelolaan konvensional seperti pembatasan jumlah investasi baru, pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, serta quota penangkapan ikan telah dan sedang digunakan di beberapa negara seperti
    Australia, Jepang, dan Amerika. Bahkan kini, seperti dipaparkan oleh Clark dkk. (2005) dalam Jurnal Environmental Economics and Management, sedang dipromosikan program “buy back access capacity” yaitu suatu program subsidi untuk membeli kelebihan investasi perikanan untuk menjaga usaha ini agar berkelanjutan. Di Jepang selain berbagai program pengaturan, promosi rehabilitasi perikanan melalui program pengkayaan stok ikan (“stock enhancement”) juga sangat maju. Program seperti ini di Jepang bisa berjalan karena pemerintah, masyarakat dan industri sangat mendukung terutama dengan berbagai keberhasilan dari lembaga penelitian memproduksi secara masal benih ikan untuk kebutuhan pengkayaan stok.


    Beberapa potongan catatan berikut dapat menjadi pertimbangan pengembangan perikanan laut DIY. Pertama, untuk menghidari kemunduran produktivitas perikanan, pembatasan “new comers” sudah sepatutnya dipikirkan. Upaya ini tentu perlu dipadukan dengan diversifikasi pemanfaatan sumberdaya saat ini yaitu dari dominasi perikanan demersal (dasar) ke jenis lainnya terutama ikan pelagis (permukaan). Kedua, pemerintah daerah telah menetapkan pengembangan perikanan dari berbasis pantai ke samudra melalui penyediaan sarana pelabuhan perikanan, pembangunan ini tentu sangat berguna untuk mengurangi tekanan berlebihan eksploitasi sumberdaya di pantai dan memperluas perikanan saat ini termasuk untuk menyediakan lapangan kerja baru. Namun demikian, pengalaman pembangunan fasilitas sejenis di Sadeng patut menjadi pelajaran berharga, dimana penyediaan fasilitas perikanan beserta teknologi terkait lainnya tidak hanya terkait dengan masalah teknis, tetapi juga menyangkut persiapan dan rekayasa sosial. Sebelum fasilitas tersebut berdiri tegak, pengetahuan yang memadai akan status sumberdaya ikan di selatan Jawa atau samudera Hindia secara umum juga perlu mendapat porsi kajian yang memadai. Ketiga, sebagai produk yang bersifat cepat rusak, pengembangan teknologi pasca panen khususnya untuk mememelihara mutu produk perikanan dibutuhkan salah satunya untuk menjamin keamanan pangan. Kehandalan kualitas produk ikani dapat menjadi salah satu isu terdepan komoditi pariwisata di desa pesisir DIY. Keempat, untuk pengembangan program rehabilitasi sumberdaya ikan, DIY berpeluang sebagai perintis di
    Indonesia karena fasilitas UPTD Perikanan Laut tersedia dan kegiatan penelitan sumberdaya ikan lokal sudah dimulai di unit ini misalnya UGM dengan penelitian lobster dan upaya pembenihannya. Tentu saja, seiring dengan berkembangan usaha berbasis kelompok baik budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwata termasuk usaha berbasis wanita menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan kedalam pembangunan desa secara menyeluruh.


    Penutup

    Belajar dari perkembangan pesisir di nusantara, patut kiranya dicatat bahwa pasang surut pesisir tidak terlepas dari faktor ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Faktor itu juga yang dicatat oleh Masyhuri (1996) dalam bukunya Menyisir Pantai Utara Jawa, yang juga menentukan pasang-surut perikanan di Utara Jawa. Pesisir pernah mencapai periode emas dimasa lampau karena sekurang-kurangnya karena ketersediaan sumberdaya alam yang memadai, keterkaitan hubungan antara daerah pedalaman dengan pesisir terutama dalam perdagangan hasil-hasil pertanian, kemampuan dalam teknologi perkapalan sehingga memudahkan hubungan antar wilayah, serta adanya dukungan secara kelembagaan yang sangat memadai. Tentu harapan bersama, pembanguan pesisir di DIY atau Indonesia secara umum akan menuju arah yang berkelanjutan. Bagi DIY, upaya ini terbuka apalagi penguasa laut selatan yang ditakutipun telah berubah menjadi bersahabat, dengan menyediaan wilayah kekuasaannya untuk kesejahteraan rakyat. Tinggal menunggu kemauan semua pihak mewujudkannya.

    Suadi
    e-mail: suadi(at)ugm
    (dot)ac(dot)id

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Mengkaji Ulang Pola Pengelolaan Perikanan

    Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Selama bulan Januari yang lalu konflik dengan kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November 2005 di Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka dengan tewasnya seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI 6/2). Selama bulan September 2004 juga terjadi beberapa kali antara nelayan Madura dan Sidoharjo yang juga berakibat kehilangan nyawa. Pada tahun yang sama juga Kompas (16/1) melaporkan konflik dengan ancaman bom terhadap nelayan Jawa Tengah di selat Makasar. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini.

    Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.

    Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.

    Pemerintah sebenarnya mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan (”total allowable catch”, TAC) melalui SK Menteri Pertanian No. 473/Kpts/IK.250/6/1985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie (ZEEI). Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perikanan yang baru No. 34/2004 (pasal 7). Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 9/1985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Walaupun UU perikanan No. 34/2004 menyebutkan keharusan memperhatikan hukum adat dan pentingnya memperhatikan peran-serta masyarakat (pasal 6 ayat 2), namun tidak ditemukan penjelasan lain lebih jauh dan nampak peran pemerintah dalam pengelolaan perikanan masih mendominasi.

    Pengelolaan sumberdaya perikanan ke depan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok Agraria No. 5/1960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (pasal 47), walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak ada. Sepenting apakah hak ini bagi perikanan? Belajar dari perikanan Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan program pengkayaan stok ikan.

    Seiring dengan semakin langkanya sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi sudah saatnya diintroduksi. Produksi masal benih ikan menjadi kunci pengembangan program pengkayaan stok dan harapan untuk ini sangat terbuka dengan keberhasilan produksi benih jenis-jenis ikan yang terancam misalnya kerapu. Keberhasilan perbenihan juga mejadi kunci pengembangan budidaya, walaupun saat ini budidaya sedang berbalik ke spesies introduksi misalnya udang vannamei. Sementara, rehabilitasi habitat ikan akhir-akhir ini mendapat perhatian dengan adanya program Coremap yang didanai donor internasional.

    Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara langsung tergantung padanya.



    Oleh:
    Suadi
    Jur. Perikanan dan Kelautan UGM

    e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality