Category: Fieldnotes

Catatan perjalanan

  • perjalanan akhir tahun ke timur nusantara

    perjalanan akhir tahun ke timur nusantara

    Menjelang akhir Desember 2021 yang baru lewat, saya mendapat pengalaman perjalanan yang menarik di dua tempat eksoktik di timur nusantara. Perjalanan pertama adalah perjalanan ke sebuah desa di pelosok Nusa Tenggara Timur. Desa itu bernama Desa Ofu, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tenggah Selatan. Perjalanan ke desa Ofu kira-kira membutuhkan waktu 5 jam, jika kondisi normal, dengan medan yang relatif berat bagi yang mabuk darat…:). Tapi pemandangan sepanjang perjalanan membuat perjalanan itu sangat berharga.

    Pagi menjelang matahari terbit, setelah beristirahat semalam, kami berjalan-jalan sedikit untuk orientasi lapangan, dan kebetulan tepat hari pasaran desa saat itu. Saat menyusur desa kami mendapatkan salah satu sisi yang sangat indah dari desa ini, yaitu bukit pengembalaan sapi, entah nama tepatnya apa, tapi sebagian menyebut bukit cinta dan saya menyebutnya bukit teletubies…:). Silakan dicek tautan pemandangan dari StreetView yang coba saya buat, mungkin bisa merasakan keindahan dari puncak bukit teletubis tersebut. Namun, dibalik keindahan alam Ofu dan sekitarnya, ada isu besar, dan isu itulah yang menuntun kami melakukan perjalanan ke desa ini, ditambah satu desa tetangganya, yang bernama Babuin. Isu besar itu adalah isu kesehatan masyarakat yang saat ini menjadi salah satu concern negara, selain yang utama yang kita sama-sama berjuang menghadapinya, Covid-19. Isu kesehatan masyarakat itu adalah stunting. 

    Stunting kita pahami bersama sebagai gangguan pertumbuhan pada anak karena malnutrisi. Kekurangan gizi ini menyebabkan anak menjadi lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya. Tentu bukan persoalan tinggi badan semata yang menjdi masalah, tetapi potensi masalah lebih lanjut terkait dengan kerentanan daya tahan tubuh, persoalan kecerdasan dan risiko terjangkit penyakit tidak menular seperti obesitas, jantung, dan  hipertensi. Karena itu, isu ini perlu perhatian dan tindakan serius. Kalau kita membuka Dashboard Pemantauan Terpadu Percepatan Pencegahan Stunting, secara nasional tercatat masih ada sekitar 27,7% bayi di bawah lima tahun yang mengalami stunting, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama  Timor Tengah Utara (TTU) dan di Timor Tengah Selatan (TTS) menempati yang tertinggi (lebih dari 40%). Untuk lebih rinci, silakan mengecek Dasboard Pemerintah terkait ini, pada laman https://dashboard.stunting.go.id/. UGM mendapat amanah melalui Program Kedaireka Kemendikbut Ristek, sinergi perguruan tinggi dan industri untuk beragam inovasi mengakselerasi penyelesaian masalah yang ada. Dan kawan-kawan menamakan program Kedaireka ini dengan singkatan: UGM CINTA NTT (Comprehensive and Integrated Action for NTT – UGM CINTA NTT). Disebut comprehensive karena program ini melibatkan lima klaster di UGM: Kesehatan, Agro dan Pangan, Sosial Humaniora, Infrastruktur, Air dan Energi, serta Ekonomi. Potongan perjalanan ke Ofu sedikit terdokumentasi diinstagram saya. Yang sangat terkesan dari perjalanan kali ini adalah, selain merasakan kembali suasana Kuliah Kerja Nyata jaman mahasiswa, kami disambut dengan upacara adat dan dilepas juga dengan upacara adat. Tentu saja, ada titipan harapan agar program ini masih akan berjalan di tahun 2022 ini dan tahun selanjutnya.

    Nah, perjalanan kedua adalah perjalanan ke ujung timur nusantara, ke Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Medan menuju kabupaten ini juga mirip-mirip dengan perjalanan pertama. Infrastruktur jalan ada yang sudah bagus, ada yang rusak, dan ada ang sedang dibangun. Butuh waktu paling cepat enam jam untuk mencapai Bintuni, dari ibu kota provinsi atau dari Manokwari. Sepanjang perjalanannya banyak pemandangan yang indah, dan salah satu spot untuk persinggahan yang asik itu bernama Gunung Botak, Manokwari Selatan. Perjalanan kedua ini karena undangan dari pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni, untuk menjadi narasumber terkait dengan pengembangan sektor kelautan dan perikanan di daerah. Sebagai catatan, ada tiga hal terkait sektor ini di Bintuni, satu, di dasar lautnya terkandung sumber gas yang luar biasa besar, sehingga raksasa produsen gas kita salah satunya ada di kabupaten ini. Silakan googling kata LNG Tangguh, pasti akan diarahkan kesana. Yang kedua, dalam sejarah perikanan nasional kita, kabupaten ini tercatat sebagai rumah bagi perusahaan perikanan tangkap skala besar dan ternama, yang dikenal dengan Jayanti Group (lama sudah tidak dengar kabarnya), di jaman pak Harto. Yang ketiga, Bintuni adalah rumah terbesar bagi ekosistem mangrove Indonesia, dan kedua terbesar di dunia, setelah amazon. Jadi, saya merasa beruntung bisa sampai di kabupaten ini. Namun ketidak beruntungan bagi kabupaten Bintuni ini adalah menjadi kabupaten terkaya (berdasarkan PDB per kapita), tapi termasuk yang tinggi angka kemiskinannya. Menarik bukan? Teori tetesan ke bawah itu semakin sulit ditemukan bisa menjadi solusi persoalan ketimpangan…

    Namun demikian, perjalanan kedua ini begitu mengasikkan karena bisa reuni dengan kawan berpetualangan, setelah agak lama tidak berkumpul. Empat Sekawan, yang kebetulan baru saja foot printnya di unggah di facebooknya om Subejo, bisa kumpul lagi dan bahkan bisa saling bertukar gagasan di lapangan melalui podcast saat berkunjung, yang teaser-nya pernah saya unggah di instagram saya. Selamat menikmati perbincangan kami di tengah ekosistem Mangrove terbesar kedua dunia (mari kita jaga) dan di Bukit Botak Manokwari Selatan (dari Youtube om Aris Kaban BIG) saat perjalanan pulang dari Bintuni. Semoga bermanfaat dan salam sehat! #fishingideas

    Petualangan bersama Om Aris, Om Subejo & Om Awal

  • Cerita Bagus dari kediri: optimalisasi lahan pekarangan untuk produksI pangan LESTARI

    Cerita Bagus dari kediri: optimalisasi lahan pekarangan untuk produksI pangan LESTARI

    Seperti yang telah diunggah di IG @suadi, menjelang Hari Ibu, tanggal 22 Desember lalu, saya mendapat tugas menjadi juri, lomba yang sesungguhnya bukan bidang saya. Lomba itu bernama lomba pekarangan pangan lestari. Tempat lombanya lumayan jauh dari Jogja, yaitu di Kabupaten Kediri:).

    Saya sebenarnya keberatan untuk menjadi juri tersebut, tapi rupanya #labpekarangan,  hastag yang biasa dipakai pada unggahan diinstagram saya, dijadikan rujukan. Apalagi ada satu kawan yang mampu mengarahkan mata salah satu kepala dinas, saat suatu acara bersama pemda Kediri, untuk menengok unggahan-unggahan #labpekarangan tersebut?.  Tapi akhirnya saya datang ke Kediri juga dan mengelilingi beberapa lokasi kegiatan pertanian pekarangan di Kediri.

    Sungguh, perjalanan ke #kabupatenkediri kali ini sangat menarik dan saya kira menjadi salah satu perjalanan belajar yang menarik di akhir Desember, bukan sekadar menjadi juri. Salah satu cerita menariknya adalah bagaimana para ibu-ibu yang tergabung dalam KWT, Kelompok Wanita Tani berinovasi memanfaatkan pekarangan, yang sesungguhnya berawal bukan karena lomba. Para peserta lomba, yang pada putaran akhir yang saya nilai ini, tersebar di tiga kecamatan di empat desa. Profil kegiatan KWT yang dikunjungi bisa dicek di IG berikut ya: Pertanian Pekarangan

    Tanaman sayuran di pekarangan, semuanya dipelihara tanpa pestisida. Walaupun mungkin bukan organik, tetapi merupakan pangan sehat. Hasilnya tidak hanya dinikmati sendiri oleh keluarga, tetapi juga dijual. Salah satu kelompok bahkan sudah membangun kontrak dengan supermarket lokal untuk suplai sayuran dari pekarangan. Sayurannya pun ada yang sudah disertifikasi oleh dinas setempat, sebagai sayuran pangan sehat. Lebih dari itu, ada kelompok yang lain yang dikunjungi, menjadikan produk sayurannya sebagai bagian dari kegiatan sosial desa. Oleh warga desa, anggota KWT, setiap jumat pada tiga perempatan desa-nya dilakukan program rutin Jumat berkah, yang didalamnya sayuran dari pekarangan disajikan. Nah, disini menariknya cerita petani pekarangan. Produksi sayuran ya untuk pangan di rumah, ya untuk dijual, ya untuk kegiatan sosial, dan pekarangan pun lebih asri.

    Kembali sedikit ke nama kegiatan pertanian pekarangan yang dikunjungi kali ini, yaitu: Pekarangan Pangan Lestari atau biasa disebut P2L. Nama ini merupakan salah satu nama program atau proyek atau kegiatan di Kementerian Pertanian. Kata “Lestari” dari program ini menarik secara definisi, karena memiliki dimensi keberlanjutaan untuk generasi saat ini dan generasi mendatang. Kita akan menyaksikan beberapa waktu ke depan apakah program ini mampu bertahan atau tidak. Tetapi dari dimensi kegiatan yang dipraktekkan oleh beberapa kelompok di Kediri menunjukkan kemungkinan untuk itu. Substansi lain dari contoh kasus dalam cerita ini adalah kosa kata “Lestari” memiliki makna yang lebih mendalam, dalam artian spiritualitas, yaitu untuk keberkahan bagi yang lain melalui kegiatan berbagi sayuran. Karenanya, melalui pertanian pekarangan, pegiatnya berusaha mendapatkan apa yang selalu menjadi doa setiap hari, yaitu do’a sapu jagat:  kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Itulah makna “lestari: yang abadi….
    #fishingideas

  • Tenggelamkan, Bangun Perikanan Baru!

    Tenggelamkan, Bangun Perikanan Baru!

    “By chance” saja mendapat kesempatan, yang bagi saya istimewa, bisa berbincang dengan punggawa salah satu kapal pengawas perikanan kita. Entah, saya merasa begitu senang bisa berbincang dengan anak-anak muda di kapal ini, bahkan saya minta ijin untuk berpose bersama. Saya harus katakan bahwa untuk urusan lain di luar pengawasan ikan, kebijakan kelautan perikanan dalam periode menteri Susi, bagi saya, penuh tanda tanya dan bisa diperdebatkan, baik dengan data kualitatif maupun kuantitatif. Tapi, untuk urusan pengawasan, apalagi menyangkut pencurian ikan oleh nelayan asing, sudah tidak ada tanda koma, tapi titik, SETUJU!. Kawan-kawan pengawas perikanan ini telah menjadi garda terdepan melawan “illegal fishing”, bahkan kapal yang mereka tangkap “saking” banyaknya sampai mereka sendiri tidak punya tempat untuk melabuhkan kapal pengawas di pelabuhannya sendiri. Kalau merujuk statistik perikanan yang ada, misal Laporan Realisasi kegiatan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan selama periode 2015-2017 telah diperiksa 3.727 kapal, menangkap 567 kapal ikan illegal, dan 488 kapal ikan illegal ditenggelamkan, yang kerseluruhan bermuara pada menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (selain misi menjaga kedaulatan). Negara-negara tetangga kita sering menjadi pelaku pencurian ikan, seperti Vietnam dan Thailand.

    Mengawasi laut seluas 2/3 wilayah negeri ini, tentulah bukan pekerjaan kategori biasa, apalagi bumbu-bumbu cerita etika birokrasi dan perilaku pelaku usaha besar sudah sering berseliweran. Karenanya kata “saya tenggelamkan” masih relevan untuk perikanan ke depan, tinggal teknisnya jangan sampai juga berdampak merusak lingkungan tempat ikan hidup.  Untuk mengurangi pencurian ikan, tentu tidak akan cukup hanya mengandalkan terus operasi pengawasan. Bangun perikanan nasional yang setangguh tetangga kita atau sebaik negara-negara perikanan dunia dan itu seperti menjadi keharusan. Perikanan nasional yang kuat itu penting agar kita dapat menikmati sumberdaya ikan yang terus dilaporkan meningkat jumlahnya.  Perikanan baru itu tentu saja berprinsip pada perikanan berkelanjutan yang diidamkan kementerian saat ini, tapi tidak hanya membatasi penangkapan ikan, apalagi ketika stok ikan tersedia. Perikanan baru harus juga memperhatikan keberlanjutan komunitas dan industri pasca panennya, termasuk keberlanjutan dari proyek-proyek yang sudah dibangun pemerintah (baca: bukan “proyek berkelanjutan”), termasuk sentra-sentra perikanan terpadu atau SKPT yang saat ini telah dan sedang dibangun, semisal yang ada di Natuna. Perikanan baru tentunya bukan hanya berorientasi menghasilkan ikan sebagai bahan baku, tetapi perikanan bernilai tambah. Nilai tambah itu tidak hanya dipahami sebagai beragam olahan ikan yang siap saji, tapi termasuk mengurangi sumberdaya ikan terbuang mulai dari saat di ikan di atas kapal, di pendaratan ikan, sampai di tempat proses pengolahannya, bahkan memproduksi ikan hidup juga adalah nilai tambah. (SJ)

    Selamat berkahir pekan!

  • Central Mecca Fish Market: Tak Diduga Ada pasar ikan dan Bisa Berkunjung (cerita haji)

    Central Mecca Fish Market: Tak Diduga Ada pasar ikan dan Bisa Berkunjung (cerita haji)

    Pasca Armuzna atau Armina (Arofah, Mudzdalifah dan Mina) sebagai rangkaian prosesi puncak ibadah haji, tidak sengaja waktu naik bis solawat dari hotel ke masjidil haram, terlihat tulisan cukup mencolok dari atas jembatan layang,  Central Mecca Fish Market (pasar ikan sentral kota Makkah). Wah, seperti mengingatkan bahwa setiap bertandang ke suatu kota agar tidak melewatkan yang namanya pasar tradisional, khususnya pasar ikan.

    Kesampaian juga, pagi itu, berdua istri, berjalan 20an menit dari hotel kami di area Jarwal ke pasar tersebut. Sayang pasar belum buka, tetapi juga ada untungnya kesana jadi bisa keliling pasar sekitar, yang juga ternyata adalah pasar buah, sayuran, dan aneka kebutuhan pokok.

    Penasaran pagi gagal melihat aktvitas pasar ikan, malam selepas isya kami kembali lagi. Dan akhirnya menemukan aktivitas pasar yang menarik. Komunikasi awal dengan pedagang terkait cara bertransaksi dapat dikatakan gagal, namun hanya sekadar tebakan, ya lumayan tebakan mendekati benar?. Beruntung bertemu sahabat muslim dari Afrika yang baru rampung berbelanja dan ternyata berbahasa Inggris sangat fasih menjelaskan cara bertransaksi di pasar tersebut. Akhirnya kami kembali ke lapak yang pertama yang kami datangi. Jadilah kami bertransaksi dan mendspatkan kira-kira Satu ekor kerapu sunu dan 1/2 kg udang putih.

    Nah, setelah beli ikan segar lalu bagaimana agar segera bisa disantap? Ternyata pasar ikan ini memiliki sistem yang unik. Pertama, anda datang ke toko atau lapak ikan, yang semua lapaknya bersih kinclong dan dengan sistem rantai dingin yang baik, lalu pilih ikan yang disukai. Saya coba tanya harga beberapa jenis ikan, lalu ditunjukan angka harganya dengan kalkulator☺️, saat itu harga untuk beberapa jenis ikan berkisar 14-25 real.  Setelah ikan dipilih dan dibayar, selanjutnya kami harus membawa ikan tersebut ke bagian pembersihan ikan. Entah apa yang ditawarkan, saya hanya bilang “clean” dan dia bilang biayanya 4 real. Setelah ikan dibersihkan, kami membawa ikan yang telah dibersihkan ke bagian masak memasak, yang ada di los bagian paling depan dari pasar ini. Saya hanya pesan dimasak dan ternyata digoreng, dan biaya masaknya 5,6 real.

    Jadilah kami menikmati masakan ikan khas kota Makkah. Setelah sedikit berselancar di bagian lainnya, ternyata ada juga resto ikan, yang menyajikan ikan segar dan dapat dimasak untuk disantap di tempat. Untuk yang di pasar ikan, pembeli datang memarkir kendaraan di depan pasar, membeli ikan cukup banyak, dibersihkan dan dimasak di bagian masak baru dibawa pergi. Nampaknya pembeli yang datang membeli volume besar, tentu tidak seperti kami. Sistem yang menarik…

    #ayomakanikan☺️

     

  • Oleh-oleh menyUsur puLau kecIl

    Oleh-oleh menyUsur puLau kecIl

    Menyusur pulau barangcaddi dan samalona (photo pemandangan di pinggiran pulau barangcaddi oleh suadi)

    Beberapa waktu yang lalu menyusur beberapa pulau kecil di depan pusat kota makkasar, di kaki pulau sulawesi. Gugusan kepulauan spermonde yang cantik. Rasanya terakhir berkunjung ke salah satu pulau itu saat masih kuliah s1, lebih dari dua atau hampir tiga dekade lalu (ternyata sudah tua..:)). Dan menyusur gugusan pulau-pulau kecil terakhir mungkin 2 tahun lalu di maluku tengah….

    Pulau yang dikunjungi kali ini, barangcadi  hanya cukup dikelililngi kurang lebih dengan 7.000 langkah kaki. Pulau kecil ini penuh pemukiman. Namun rasannya membanggakan melihat kebersihan pulaunya dan kerapian kampungnya. Di satu pojokkan pulau dengan mudah menemukan IPAL Komunal dan bahkan Bank Sampah. Disisi lain dari pulau juga ada unit destilasi air laut menjadi air tawar yang sudah tidak berfungsi, konon tinggalan proyek JICA, dan yang baru. Berkeliling di pinggir dan bagian tengah pulau, mudah menemukan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat, dari mengelola ikan, warung, pedagang keliling, sampai kemahiran menghasilkan perahu fiber, dengan lukisan dinding yang dahsyat cantiknya. Ragam tanaman pun tumbuh, menandakan pulau yang subur, dan favorit saya adalah pohon kelor (parongge, dalam bahasa Bima).

    Mendengarkan cerita salah satu tokoh, bahwa pulau ini sudah semakin rentan diterjan gelombang tinggi. Bahkan terakhir air masuk cukup jauh dan tinggi ke tengah pulau.  Nampak ada potongan bangunan pemecah gelombang di salah satu sisi pulau, tapi pastinya belum mampu melindungi pulau kalau ada  cuaca laut ekstrim lagi. Obrolan di kunjungan awal yang juga menarik adalah terkait dengan bagaimana hasil laut pulau kecill terkoneksi dengan intens dengan sentra pasar ikan dan selanjutnya industri pengolahan ikan, yang kemudian menghubungkan hasil laut pulau dengan negara-negara di dunia. Bahkan yang cukup menarik, hari itu mendengarkan penyampaian narasumber kami kalau mau bakar ikan pada  hari itu, maka harus ke paotere, pasar ikan sentral kota makassar atau di pulau utama. Jadi ikan yang ditangkap nelayan dengan segera akan bergeser dari pulau kecil ke pasar utamanya di luar pulau setiap harinya. Cerita tentang perjalanan ikan ini mengingatkan pada tulisan Berkes dkk. di Majalah Sciense edisi 17 Maret 2006 tentang Globalization, Roving Bandits, and Marine Resources atau cerita Kopi dalam perspektif analisis sosiologisnya Anthony Giddens. Ya, pulau kecil dinamikanya tidak berdiri sendiri atau oleh lingkungan di sekitarnya, tapi bahkan negeri yang jauh di belahan bumi lainnya. 

    Sepertinya kinjungan pertama ini telah memikat untuk kembali dengan kunjungan berikutnya. Pesona pulau kecil, dimanapun selalu menggoda untuk didatangi lagi dan lagi….#lautmasadepan

    Jika mau melihat sekilah video pendeknya silakan cek tautan ini

  • Catatan Perjalanan Burkina Faso

    Satu persatu seluruh peserta memperkenalkan diri, setelah Prof. Tanaka dari Hokudai dan Prof. Maiga dari 2iE memberikan sambutan pendek. Symposium ini bukanlah symposium besar, tetapi hanya diikuti sekitar 30 orang peserta dan merupakan sharing dan laporan kegiatan pendidikan dan penelitian di masing-masing lembaga yang menggalang aliansi dalam bidang sustainability science. Saya, sebagai undangan, dari UGM memberikan presentasi tentang kegiatan pemberdayaan masyarakat di UGM, terutama kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN)dan pengalaman pendampingan serta riset yang saya lakukan. Sharing pengalaman di UGM tersebut ternyata menarik diskusi cukup panjang, sehingga melebihi jatah waktu 25 menit, bahkan harus berlanjut di meja makan saat istirahat makan siang. Sudah sepantasnya UGM terus meningkatkan proses transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ke pengguna terbesar, yaitu masyarakat.

    Lebih lanjut: https://majalah-elfata.com/index.php/oleh-oleh-manca/143-catatan-perjalanan-di-burkina-faso

    dan

    https://majalah-elfata.com/index.php/oleh-oleh-manca/155-catatan-perjalanan-di-burkina-faso-bag-2

  • Pengembangan Jogja Seed Center Perikanan di DIY

    Pengembangan Jogja Seed Center Perikanan di DIY

    Usaha perikanan dunia masih mengandalkan perikanan tangkap baik di perairan umum maupun perairan laut. Produksi perikanan tangkap diperkirakan mencapai 92,0 juta ton (64% dari total produksi), sedangkan budidaya ikan menyumbang 51,7 juta ton. Namun demikian, di berbagai belahan dunia kegiatan perikanan tangkap menghadapi permasalahan ekploitasi sumberdaya secara berlebihan (FAO 2008). Butcher (2004) mengambarkan kondisi ini dengan istilah the closing of the frontier, untuk menunjukkan bahkan lahan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap, khususnya di Asia Tenggara sudah semakin terbatas. Kegiatan perikanan di wilayah perairan nusantara juga mengalami nasib serupa seperti ditunjukkan dengan semakin menurunnya laju pertumbuhan produksi, produktivitas perikanan, dan kerusakan habitat dalam beberapa dekade terakhir (Suadi 2008). Karena itu, dengan semakin menipisnya suplai ikan dari kegiatan penangkapan, pengembangan perikanan budidaya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ikan dunia yang terus meningkat yang dipekirakan akan mendekati angka 250 juta ton di tahun 2030 mendatang (Josupeit dan Franz 2003).

    Ketersediaan benih ikan, baik dalam jumlah maupun kualitas yang memadai, merupakan kunci utama keberhasilan usaha perikanan budidaya. Karena itu, sangatlah tepat Laporan Master Plan JSC Provinsi DIY (2008) menyebut “”tanpa benih aktivitas budidaya tak dapat berjalan”. Tidak hanya untuk kegiatan produksi ikan melalui budidaya, kemampuan memproduksi benih yang memadai juga menentukan keberhasilan upaya konservasi sumberdaya ikan, khususnya melalui kegiatan pengkayaan stok sumberdaya ikan (restocking atau stock enhancement). Kegiatan restocking menjadi sangat penting dilakukan saat ini karena ekploitasi berlebihan dan kerusakan habitat telah menyebabkan deplesi sumberdaya ikan, sehingga diharapkan melalui kegiatan tersebut sumberdaya dapat dipulihkan kembali. Selain itu, seiring dengan meningkatnya minat khusus seperti pemancingan, maka penebaran benih ikan di perairan juga menjadi kebutuhan untuk mendukung berkembangnya kegiatan tersebut. Karena itu, pengembangan perbenihan ikan memiliki tiga fungsi utama yaitu menfasilitasi pengembangan kegiatan: (1) budidaya ikan, (2) konservasi sumberdaya ikan, dan (3) minat khusus seperti hobi dan sport fishing. Dengan demikian, pilihan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengembangkan Jogja Seed Center (JSC) Perikanan sangat tepat untuk pengembangan usaha, peningkatan konsumsi ikan, dan pembangunan wilayah di masa yang akan datang.

    Potensi pengembangan perikanan di DIY masih terbuka lebar. Dari sisi pasar, kegiatan perikanan saat ini belum mampu memenuhi permintaan ikan yang terus meningkat. Sementara, pemanfataan sumberdaya perikanan yang ada masih terbatas. Pemerintah melaui Program Minapolitan telah menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai lebih dari 3 kali produksi saat ini pada tahun 2014. Target utama peningkatan produksi diharapkan dari perikanan budidaya, karena itu diperlukan ketersediaan benih dalam jumlah besar untuk tujuan tersebut. Sayangnya, unit-unit perbenihan ikan nasional dan daerah (UPT dan UPTD) kemampuan produksi induk dan benihnya masih sangat rendah saat ini (hanya 53 % dari kapasitas produksi total). Di Provinsi DIY, kontribusi UPTD perbenihan hanya 2% dari total produksi benih DIY sekitar 830 juta ekor atau 98% dihasilkan oleh unit perbenihan rakyat (UPR). Permintaan benih ikan di DIY sampai saat ini masih sangat tinggi. Para pembenih ikan bahkan tidak mampu mencukupi permintaan benih yang terus meningkat dari waktu ke waktu baik dari dalam maupun luar wilayah DIY.

    Beberapa keuntungan pengembangan perbenihan ikan diantaranta, yaitu: (1) dapat dilakukan di lahan sempit/terbatas dan lahan-lahan marginal, (2) cashflow yang berputar lebih cepat karena jangka waktu produksi yang pendek, (3) produk (ukuran benih) yang dihasilkan dan diperdagangkan beragam, dan (4) pelaku usaha yang terlibat cukup banyak dan didominasi usaha perbenihan rakyat. Pengembangan usaha ini juga menghasilkan berbagai inovasi sosial, seperti (5) kegiatan usaha berbasis kelompok dan (6) terbangunnya jejaring sosial dan bisnis yang luas baik antara sesama pembenih ikan maupun dengan konsumen benih yang berada di dalam maupun di luar wilayah DIY, bahkan luar pulau Jawa (living with and in network). Keragaman produk yang dihasilkan oleh kegiatan perbenihan telah menggairahkan perekonomian desa. Sebagai ilustrasi, pembenih lele di Kecamatan Ponjong, Gunungkidul, tidak saja berhasil mengembangkan kegiatan usaha dalam kelompok (kegiatan berbasis kelompok), tetapi kelompok tersebut berhasil menyebarkan kegiatan pembenihan untuk masyarakat di luar kelompok di dalam wilayah Gunungkidul. Benih lele yang dihasilkan oleh kelompok di Ponjong dibesarkan hanya pada ukuran 1-3 cm, lalu dijual ke kelompok lainnya di luar Ponjong. Setelah benih dibesarkan mencapai ukuran 5-7 cm, benih kembali dibeli oleh pembenih di Ponjong untuk kemudian dipasarkan untuk kegiatan pembesaran baik di Gunungkidul dan DIY maupun di wilayah lain di luar DIY. Contoh lain, pembenih Gurami di Kulon Progo telah merasakan manfaat besar dari peralihan kegiatan usaha yang mereka lakukan sejak tiga tahun yang lalu dari kegiatan pembesaran menjadi pembenihan. Pembenih gurami mampu memperoleh beberapa keuntungan, tidak hanya keuntungan finansial yang lebih tinggi dibandingkan pembesaran, tetapi juga keragaman produk dan perluasan jaringan usaha yang cukup berhasil (pembenih menyebut perluasan usaha melalui jaringan silaturahmi).

    Walaupun kegiatan perbenihan ikan di DIY terus mengalami pertumbuhan yang positif, namun beberapa tantangan perlu diantisipasi. Ketersediaan induk baik dari segi jumlah maupun kualitas masih dirasakan menjadi masalah. Ketersediaan induk berkualitas tentu saja akan menentukkan keberhasilan produksi benih ikan bermutu. Pada saat bersamaan ketersediaan pakan alami, seperti cacing sutra (Tubifex xp), yang menjadi fase kritis (bottleneck) kegiatan perbenihan masih belum ditemukan jalan keluarnya karena selama ini pengadaan pakan tersebut hanya mengandalkan pengambilan dari alam. Dua contoh tersebut sesungguhnya secara eksplisit menekankan pentingnya riset dasar tentang genetika dan pemuliaan serta upaya budidaya pakan alami. Air juga menjadi isu penting bagi pengembangan usaha perbenihan dan usaha perikanan secara umum di beberapa wilayah. Perebutan pemanfaatan air terjadi antara usaha perikanan dan pertanian serta kebutuhan rumah tangga seperti yang terjadi di Minggir dan Moyudan, Sleman yang memanfaatkan saluran Selokan Mataram sebagai sumber air utama kegiatan budidaya ikan. Di samping itu, perlu disadari bahwa walaupun kegiatan pembenihan merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan, tetapi juga memiliki resiko kegagalan yang juga tinggi.

    Pengembangan kegiatan pembenihan ikan ke depan membutuhkan keterlibatan tiga pemangku kepentingan utama: (1) pelaku di sektor publik yang meliputi pemerintah dan termasuk di dalamanya perguruan tinggi dan lembaga riset, (2) pelaku di sektor swasta, dan (3) komunitas yaitu representasi dari para pelaku usaha perbenihan seperti pembenih ikan berpengalaman. Ketiga komponen tersebut diharapkan dapat mendesain secara bersama berbagai kegiatan pengembangan pembenihan ikan di DIY. Terdapat tiga kegiatan pokok yang dapat dikembangkan: (1) pengembangan sistem informasi pembenihan yang memberikan informasi tentang peta dan zonasi perbenihan ikan, agroekologi kegiatan perbenihan, pelaku usaha, dan pemasaran; (2) sinergi kegiatan riset dan pengembangan serta penghiliran hasil riset perbenihan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk diseminasikan dalam berbagai program pendidikan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat; dan (3) pengembangan varietas dan komoditas baru. Pada akhirnya, melalui pengembangan tersebut diharapkan dapat terproduksi benih yang sesuai baik dari sisi jumlah maupun mutu guna peningkatan produksi hasil perikanan dan pengembangan berbagai kegiatan perikanan lainnya seperti penebaran di perairan umum, konservasi dan minat khusus.

    Suadi
    Jurusan Perikanan UGM
    suadi@ugm.ac.id