Category: Fishing Ideas

  • The Last of Sea Women: Kisah Para Haenyeo, Perempuan Penyelam dari Pulau Jeju Korea Selatan

    Dalam perayaan Hari Ibu tahun ini, saya mencoba membuat rangkuman singkat satu film dokumenter AppleTV, The Last of Sea Women. Film ini menurut saya menggambarkan dengan apik suatu peristiwa, nilai dan inspirasi dari para Haenyeo, yaitu kelompok penyelam (free diver) perempuan di Pulau Jeju, Korea Selatan. Wanita-wanita ini dapat dikatakan adalah cerminan dari kekuatan dan pengorbanan yang signifikan dari perempuan, ibu, komunitas, dan pelestarian budaya.  Dan Hari Ibu itu adalah satu momen untuk mengenang dan menghormati ketangguhan, cinta tanpa syarat, dan warisan para ibu.

    Haenyeo memiliki akar sejarah dan budaya yang lekat dengan Pulau Jeju. Selama ratusan tahun atau dari generasi ke generasi, para perempuan Pulau Jeju menunjukkan ketangguhan dan kemampuan beradaptasi dengan alam laut yang penuh dinamika sebagai sumber penghidupan mereka dari sumber daya kepemilikkan bersama (the commons). Bahkan beberapa catatan menyebutkan, Haenyeo juga melakukan perlawanan terhadap eksploitasi selama masa pendudukan Jepang pada tahun 1930-an, yang tentu saja menunjukkan peran mereka sebagai simbol identitas lokal dan perlawanan. Kalau dalam film dokumenter ini, catatan  tersebut tergambar dari kasus terkini, yaitu protes mereka pada kasus Fukushima beberapa waktu lalu.

    Haenyeo telah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (the Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada tahun 2016. Dalam catatan UNESCO, para Haenyeo, yang sudah berusia senior (70-80 tahun), menyelam bahkan sampai 20 meter di bawah permukaan air tanpa masker dan tabung oksigen untuk mengumpulkan pangan laut seperti kerang, abalon dan bulu babi sebagai penghidupan mereka di Pulau Jeju. Dengan pengetahuan mereka tentang air dan kehidupan laut, Haenyeo memanen hingga tujuh jam sehari, 90 hari setahun, menahan napas kurang lebih satu menit per penyelaman dan membuat suara vokal yang aneh saat muncul ke permukaan. Tentu saja, para free divers perempuan ini sebelum menyelam memiliki tradisi dan keyakinan akan adanya suatu kekuatan di laut sehingga mereka berdoa pada dewi laut sebelum menyelam agar selamat dan mendapat hasil yang baik. Haenyeo memang berkontribusi nyata pada ekonomi lokal dengan mendukung keluarga mereka selama masa-masa sulit, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai anggota masyarakat Jeju yang penting.  Lee dkk (2022) menegaskan bahwa budaya Haenyeo adalah cerminan keseimbangan antara kemandirian ekonomi, pengelolaan lingkungan, dan pelestarian budaya. 

    Tentu berlatar keindahan alam Pulau Jeju, The Last of Sea Women memadukan cerita pribadi para penyelam dengan tradisi komunitas mereka. Film ini disajikan dalam Bahasa Korea, sehingga saya hanya menikmati sub title-nya saja, tetapi terlihat dengan jelas, film ini menyajikan secara apik ketahanan fisik, keberanian, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang melambangkan esensi keibuan. Setiap penyelaman mencerminkan pengorbanan seorang ibu yang memasuki ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.  Narasi yang dibangun menggambarkan perjuangan para haenyeo yang sejalan dengan tantangan yang umumnya yang dihadapi oleh para ibu. Sekalipun dalam film ini menonjolkan para haenyeo sebagai pencari nafkah independen, tetapi peran dalam rumah sebagai ibu menjadi teladan ketangguhan. Gaya hidup mereka sepertinya sangat beresonansi dengan perayaan hari ibu di seluruh dunia, menjadikan kisah mereka unik sekaligus universal. 

    Tentu saja, modernisasi yang luar biasa cepat dan tantangan perubahan lingkungan global mengancam cara hidup Haenyeo. Perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, dan tekanan pariwisata telah mengurangi jumlah penyelam aktif, yang menjadi ancaman besar bagi tradisi mereka. Di belahan bumi mana pun, generasi muda semakin memilih profesi modern dibandingkan kehidupan seperti Haenyeo yang sangat menuntut secara fisik, menciptakan ketegangan antara pelestarian warisan budaya dan penerimaan modernitas.  Upaya untuk melindungi tradisi Haenyeo tetap dilakukan. Tidak hanya keluarga, asosiasi haenyeo dan koperasi nelayan, pemerintahnya terus mengupayakan untuk mewariskan budaya ini. Haenyeo’s Kitchen misalnya, menjadi satu program mengintegrasikan pendidikan budaya dengan peluang ekonomi. Serving Stories through Immersive Dining, demikian tagline yang dibangun Haenyeo’s Kitchen dan diketahui bahwa telling story & branding menjadi salah satu strategi pemasaran jitu. Karena itu, The Last of Sea Women perlu disyukuri pemerintah Korea karena membantu membangun, menyebarluaskan, dan mempromosikan budaya di suatu tempat, yang pastinya memikat hati untuk bertandang. Semoga suatu saat bisa ke Jeju bertemu para haenyeo….:) 

    Kembali pada The Last of Sea Women, yang kebetulan saya tonton menjelang hari ibu, seperti sedang merayakan sifat keibuan yang beragam. Haenyeo memang tidak hanya sebagai penyedia tetapi juga sebagai pengasuh komunitas dan lingkungan mereka. Kemampuan mereka untuk beradaptasi, mengajar, dan bertahan di tengah kesulitan mencerminkan kekuatan para ibu di seluruh dunia.  Sineas dalam film ini menurut saya telah dengan indah menangkap hubungan antara perjuangan Haenyeo dan keindahan laut yang penuh tantangan. Dikombinasikan dengan musik tradisional yang khas, dokumenter ini saya dapat nikmati dengan rasa rasa kagum dan lebih utama lagi kagum akan penghormatan terhadap kehidupan para Perempuan di kepulauan. 

    Jadi, di saat kita merayakan Hari Ibu, kisah Haenyeo menawarkan pengingat bagi kita akan ketangguhan, pengorbanan, dan warisan para ibu di mana pun. Perjalanan mereka memantik dan membangkitkan rasa horma pada sifat keibuan, tidak hanya dalam artian biologis tetapi juga peran budaya dan komunitas yang dimainkan para ibu dalam membentuk dunia. Selamat merayakan Hari Ibu….

    SDG 14: Ekosistem Lautan

    SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

    Sumber Gambar: https://www.imdb.com/title/tt14093994/

  • Revolusi Industri 4.0 dan lingkungan kita

    Ketika pandemi Covid-19 yang lalu, kuliah begitu intensif dilakukan secara daring. Semua berupaya untuk beradaptasi termasuk dalam hal cara pembelajaran. Video berikut ini salah satu produk hasil pembelajaran selama Pandemi Covid-19. Akhirnya secara otodidak harus belajar menyiapkan video pembelajaran yang meungkinkan dapat diakses semua mahasiswa, salah satunya diantaranya tentang Revolusi Industri 4.0.

    Revolusi Industri 4.0 telah menjadi topik yang terus dan masih sering dibicarakan, sehingga memberikan wawasan berharga mengenai kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap berbagai industri dan kehidupan kita. Revolusi Industri dimulai pada Era Pertama, dari tahun 1761 hingga 1841, dan dimulainya produksi mekanis, didorong oleh inovasi pada mesin uap dan pembangunan rel kereta api. Perkembangan ini memberikan dampak yang besar, antara lain pada bidang pertahanan dan sumber daya pangan, seperti peningkatan kapasitas produksi perikanan. Kelanjutan abad ke-19 dan revolusi industri kedua dan ketiga sekitar tahun 1970 yang dikenal dengan penemuan teknologi listrik dan komputer. Ketiga revolusi ini membawa perkembangan besar dalam produksi industri dan elektronik, yang mengarah pada peningkatan kapasitas dan efisiensi produksi.

    Revolusi Industri Keempat seperti yang kita kenal sekarang didorong oleh digitalisasi dan inovasi seperti Internet dan kecerdasan buatan. Termasuk juga diantaranya terkait dengan kemajuan dalam robotika, pencetakan 3D, dan teknologi sensor yang lebih terjangkau dan efisien. Revolusi ini tidak hanya mengubah sektor industri, tetapi juga berdampak besar pada operasional bisnis bahkan aspek biologi seperti rekayasa genetika dan pertanian.

    Megatren pada revolusi keempat ini terbagi dalam tiga gugus utama, yaitu gugus fisik, digital, dan biologis, yang masing-masing tidak hanya memberikan kontribusi penting terhadap kemajuan teknologi dan operasional, tetapi juga berdampak luas terhadap bisnis, perekonomian, dan masyarakat, hingga ke tingkat individu.

    Tentu saja, sangat pentingnya mengintegrasikan kemajuan teknologi ini ke dalam konteks sosial dan emosional, termasuk perlunya pemahaman mendalam tentang interaksi antara teknologi dan manusia. Di bidang perikanan, misalnya, teknologi telah memungkinkan pemantauan kualitas dan distribusi ikan secara lebih efektif dan efisien. Dalam konteks global, proyek-proyek seperti Global Lighthouse Network dari Forum Ekonomi Dunia menunjukkan penerapan dan adaptasi teknologi digital dalam skala yang lebih besar, dan pentingnya kolaborasi dan inovasi dalam mengatasi tantangan industri modern.

  • Cerita Kopi

    Cerita Kopi

    Sambil #nyeruputkopi @kopikancane mengintip statistik konsumsi kopi Indonesia yang dilaporkan oleh @statista. Ternyata pertumbuhan konsumsi kopi kita sudah meningkat hampir empat kali lipat sejak tahun 1990. Angkanya lumayan besar yaitu setara dengan 4,8 juta karung kopi ukuran 60 kilogram pada tahun 2019/2020 lalu. Nampaknya konsumsi kopi masih akan terus tumbuh, termasuk ekspor kopi. Data Statista saya share di instragram ya.

    Iseng-iseng saya cek perkembangan kedai kopi sekitar kampus #ugmyogyakarta melalui google earthpro, sangat terasa dan terlihat jelas pertumbuhan pesatnya. Kalau beberapa tahun lalu mudah sekali menemukan angkringan, sekarang kedai kopi berjamuran menggantikan angkringan. Tentu saja dalam perkembangnya ada yang berhasil dan ada yang segera tutup, kalah bersaing. Pemicunya tentu saja karena pertumbuhan kelas menengah dan populasi kaum muda yang lebih kosmopolitan yang memiliki gaya hidup dan preferensi tertentu atas produk ini (apa karena ini juga pilpres rebutan suara anak muda?). Tidak hanya raksasa dunia kedai kopi yang terus melebarkan sayapnya, tetapi produk kopi lokal juga semakin populer. Bahkan sekolah penyangrai kopi (barista) juga bermunculan di kota-kota.

    Nah, cerita tentang kopi, salah satu yang paling menarik bagi saya adalah uraian Anthony Giddens, sosiolog terkemuka, untuk mengambarkan tentang imajinasi sosial. Kata Giddens, kira-kira: kopi, pada awal mulanya hanyalah minuman penyegar karena sebelum nyuruput kopi rasanya ada sesuatu yang terlewatkan (catatan pertama). Lalu kopi berkembang menjadi semacam obat karena mengandung kafein yang memberikan efek stimulasi pada otak (catatan kedua). Kalau pas mau ujian atau lembur pasti mencoba menikmati layanan kopi kan? Lalu para pengopi terhubung atau bahkan terjebak dalam serangkaian hubungan sosial dan ekonomi rumit, seperti yang mudah kita cermati di kedai-kedai kopi (catatan ketiga). Kalau sudah di kedai kopi kadang lupa waktu karena asiknya cerita dari persoalan hidup sampai sosial politik (eeh sambil main WA atau medsos😊). Sehingga tindakan menyeruput kopi menyiratkan proses pembangunan sosial dan ekonomi yang panjang (catatan keempat). Karena itu, kopi lalu menjadi salah satu produk yang menjadi inti perdebatan kontemporer mengenai globalisasi, perdagangan internasional yang adil, hak asasi manusia, dan perusakan lingkungan (catatan kelima).

    Pasti bisa membayangkan kalau pas diseduh kopi Kilimanjaro, ia pasti melalui perjalanan yang panjang, barangkali membelah Samudra Hindia untuk sampai Jogja. Pun demikian dengan kalau menyeruput kopi amungme yang terkenal dari tanah Papua. Perjalanan panjang kopi ini untuk dapat kita nikmati, didalamnya mengambarkan persoalan logistik, pembangunan ekonomi lokal, dan barangkali isu hak asasi manusia dan persoalan lingkungan hidup. Bicara tentang kopi dengan demikian, bicara tidak sekadar minuman tetapi dimensinya begitu luas. Catatan kritis lainnya disampaikan oleh Gunter Pauli, konseptor ekonomi biru, silakan kita simak bareng-bareng ketika minum kopi kira-kira berapa ampas yang dihasilkan dari secangkir kopi? Tentu tidak sekadar ajakan ayo bijak minum kopi, ternyata banyak sekali inovasi dari ampas kopi sebagai input bagi kegiatan menghasilkan produk lainnya. Jadi yuk tetap nyuruput kopi, bil khusus kopi lokal ya…:)

  • perjalanan akhir tahun ke timur nusantara

    perjalanan akhir tahun ke timur nusantara

    Menjelang akhir Desember 2021 yang baru lewat, saya mendapat pengalaman perjalanan yang menarik di dua tempat eksoktik di timur nusantara. Perjalanan pertama adalah perjalanan ke sebuah desa di pelosok Nusa Tenggara Timur. Desa itu bernama Desa Ofu, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tenggah Selatan. Perjalanan ke desa Ofu kira-kira membutuhkan waktu 5 jam, jika kondisi normal, dengan medan yang relatif berat bagi yang mabuk darat…:). Tapi pemandangan sepanjang perjalanan membuat perjalanan itu sangat berharga.

    Pagi menjelang matahari terbit, setelah beristirahat semalam, kami berjalan-jalan sedikit untuk orientasi lapangan, dan kebetulan tepat hari pasaran desa saat itu. Saat menyusur desa kami mendapatkan salah satu sisi yang sangat indah dari desa ini, yaitu bukit pengembalaan sapi, entah nama tepatnya apa, tapi sebagian menyebut bukit cinta dan saya menyebutnya bukit teletubies…:). Silakan dicek tautan pemandangan dari StreetView yang coba saya buat, mungkin bisa merasakan keindahan dari puncak bukit teletubis tersebut. Namun, dibalik keindahan alam Ofu dan sekitarnya, ada isu besar, dan isu itulah yang menuntun kami melakukan perjalanan ke desa ini, ditambah satu desa tetangganya, yang bernama Babuin. Isu besar itu adalah isu kesehatan masyarakat yang saat ini menjadi salah satu concern negara, selain yang utama yang kita sama-sama berjuang menghadapinya, Covid-19. Isu kesehatan masyarakat itu adalah stunting. 

    Stunting kita pahami bersama sebagai gangguan pertumbuhan pada anak karena malnutrisi. Kekurangan gizi ini menyebabkan anak menjadi lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya. Tentu bukan persoalan tinggi badan semata yang menjdi masalah, tetapi potensi masalah lebih lanjut terkait dengan kerentanan daya tahan tubuh, persoalan kecerdasan dan risiko terjangkit penyakit tidak menular seperti obesitas, jantung, dan  hipertensi. Karena itu, isu ini perlu perhatian dan tindakan serius. Kalau kita membuka Dashboard Pemantauan Terpadu Percepatan Pencegahan Stunting, secara nasional tercatat masih ada sekitar 27,7% bayi di bawah lima tahun yang mengalami stunting, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama  Timor Tengah Utara (TTU) dan di Timor Tengah Selatan (TTS) menempati yang tertinggi (lebih dari 40%). Untuk lebih rinci, silakan mengecek Dasboard Pemerintah terkait ini, pada laman https://dashboard.stunting.go.id/. UGM mendapat amanah melalui Program Kedaireka Kemendikbut Ristek, sinergi perguruan tinggi dan industri untuk beragam inovasi mengakselerasi penyelesaian masalah yang ada. Dan kawan-kawan menamakan program Kedaireka ini dengan singkatan: UGM CINTA NTT (Comprehensive and Integrated Action for NTT – UGM CINTA NTT). Disebut comprehensive karena program ini melibatkan lima klaster di UGM: Kesehatan, Agro dan Pangan, Sosial Humaniora, Infrastruktur, Air dan Energi, serta Ekonomi. Potongan perjalanan ke Ofu sedikit terdokumentasi diinstagram saya. Yang sangat terkesan dari perjalanan kali ini adalah, selain merasakan kembali suasana Kuliah Kerja Nyata jaman mahasiswa, kami disambut dengan upacara adat dan dilepas juga dengan upacara adat. Tentu saja, ada titipan harapan agar program ini masih akan berjalan di tahun 2022 ini dan tahun selanjutnya.

    Nah, perjalanan kedua adalah perjalanan ke ujung timur nusantara, ke Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Medan menuju kabupaten ini juga mirip-mirip dengan perjalanan pertama. Infrastruktur jalan ada yang sudah bagus, ada yang rusak, dan ada ang sedang dibangun. Butuh waktu paling cepat enam jam untuk mencapai Bintuni, dari ibu kota provinsi atau dari Manokwari. Sepanjang perjalanannya banyak pemandangan yang indah, dan salah satu spot untuk persinggahan yang asik itu bernama Gunung Botak, Manokwari Selatan. Perjalanan kedua ini karena undangan dari pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni, untuk menjadi narasumber terkait dengan pengembangan sektor kelautan dan perikanan di daerah. Sebagai catatan, ada tiga hal terkait sektor ini di Bintuni, satu, di dasar lautnya terkandung sumber gas yang luar biasa besar, sehingga raksasa produsen gas kita salah satunya ada di kabupaten ini. Silakan googling kata LNG Tangguh, pasti akan diarahkan kesana. Yang kedua, dalam sejarah perikanan nasional kita, kabupaten ini tercatat sebagai rumah bagi perusahaan perikanan tangkap skala besar dan ternama, yang dikenal dengan Jayanti Group (lama sudah tidak dengar kabarnya), di jaman pak Harto. Yang ketiga, Bintuni adalah rumah terbesar bagi ekosistem mangrove Indonesia, dan kedua terbesar di dunia, setelah amazon. Jadi, saya merasa beruntung bisa sampai di kabupaten ini. Namun ketidak beruntungan bagi kabupaten Bintuni ini adalah menjadi kabupaten terkaya (berdasarkan PDB per kapita), tapi termasuk yang tinggi angka kemiskinannya. Menarik bukan? Teori tetesan ke bawah itu semakin sulit ditemukan bisa menjadi solusi persoalan ketimpangan…

    Namun demikian, perjalanan kedua ini begitu mengasikkan karena bisa reuni dengan kawan berpetualangan, setelah agak lama tidak berkumpul. Empat Sekawan, yang kebetulan baru saja foot printnya di unggah di facebooknya om Subejo, bisa kumpul lagi dan bahkan bisa saling bertukar gagasan di lapangan melalui podcast saat berkunjung, yang teaser-nya pernah saya unggah di instagram saya. Selamat menikmati perbincangan kami di tengah ekosistem Mangrove terbesar kedua dunia (mari kita jaga) dan di Bukit Botak Manokwari Selatan (dari Youtube om Aris Kaban BIG) saat perjalanan pulang dari Bintuni. Semoga bermanfaat dan salam sehat! #fishingideas

    Petualangan bersama Om Aris, Om Subejo & Om Awal

  • Cerita Bagus dari kediri: optimalisasi lahan pekarangan untuk produksI pangan LESTARI

    Cerita Bagus dari kediri: optimalisasi lahan pekarangan untuk produksI pangan LESTARI

    Seperti yang telah diunggah di IG @suadi, menjelang Hari Ibu, tanggal 22 Desember lalu, saya mendapat tugas menjadi juri, lomba yang sesungguhnya bukan bidang saya. Lomba itu bernama lomba pekarangan pangan lestari. Tempat lombanya lumayan jauh dari Jogja, yaitu di Kabupaten Kediri:).

    Saya sebenarnya keberatan untuk menjadi juri tersebut, tapi rupanya #labpekarangan,  hastag yang biasa dipakai pada unggahan diinstagram saya, dijadikan rujukan. Apalagi ada satu kawan yang mampu mengarahkan mata salah satu kepala dinas, saat suatu acara bersama pemda Kediri, untuk menengok unggahan-unggahan #labpekarangan tersebut?.  Tapi akhirnya saya datang ke Kediri juga dan mengelilingi beberapa lokasi kegiatan pertanian pekarangan di Kediri.

    Sungguh, perjalanan ke #kabupatenkediri kali ini sangat menarik dan saya kira menjadi salah satu perjalanan belajar yang menarik di akhir Desember, bukan sekadar menjadi juri. Salah satu cerita menariknya adalah bagaimana para ibu-ibu yang tergabung dalam KWT, Kelompok Wanita Tani berinovasi memanfaatkan pekarangan, yang sesungguhnya berawal bukan karena lomba. Para peserta lomba, yang pada putaran akhir yang saya nilai ini, tersebar di tiga kecamatan di empat desa. Profil kegiatan KWT yang dikunjungi bisa dicek di IG berikut ya: Pertanian Pekarangan

    Tanaman sayuran di pekarangan, semuanya dipelihara tanpa pestisida. Walaupun mungkin bukan organik, tetapi merupakan pangan sehat. Hasilnya tidak hanya dinikmati sendiri oleh keluarga, tetapi juga dijual. Salah satu kelompok bahkan sudah membangun kontrak dengan supermarket lokal untuk suplai sayuran dari pekarangan. Sayurannya pun ada yang sudah disertifikasi oleh dinas setempat, sebagai sayuran pangan sehat. Lebih dari itu, ada kelompok yang lain yang dikunjungi, menjadikan produk sayurannya sebagai bagian dari kegiatan sosial desa. Oleh warga desa, anggota KWT, setiap jumat pada tiga perempatan desa-nya dilakukan program rutin Jumat berkah, yang didalamnya sayuran dari pekarangan disajikan. Nah, disini menariknya cerita petani pekarangan. Produksi sayuran ya untuk pangan di rumah, ya untuk dijual, ya untuk kegiatan sosial, dan pekarangan pun lebih asri.

    Kembali sedikit ke nama kegiatan pertanian pekarangan yang dikunjungi kali ini, yaitu: Pekarangan Pangan Lestari atau biasa disebut P2L. Nama ini merupakan salah satu nama program atau proyek atau kegiatan di Kementerian Pertanian. Kata “Lestari” dari program ini menarik secara definisi, karena memiliki dimensi keberlanjutaan untuk generasi saat ini dan generasi mendatang. Kita akan menyaksikan beberapa waktu ke depan apakah program ini mampu bertahan atau tidak. Tetapi dari dimensi kegiatan yang dipraktekkan oleh beberapa kelompok di Kediri menunjukkan kemungkinan untuk itu. Substansi lain dari contoh kasus dalam cerita ini adalah kosa kata “Lestari” memiliki makna yang lebih mendalam, dalam artian spiritualitas, yaitu untuk keberkahan bagi yang lain melalui kegiatan berbagi sayuran. Karenanya, melalui pertanian pekarangan, pegiatnya berusaha mendapatkan apa yang selalu menjadi doa setiap hari, yaitu do’a sapu jagat:  kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat. Itulah makna “lestari: yang abadi….
    #fishingideas

  • OaSE Perikanan Lab. SpI UGM

    OaSE Perikanan Lab. SpI UGM

    Di tengah suasana wabah Covid-19, yang kini dilabeli dengan era kenormalan baru, masing-masing kita mencoba menyesuaikan diri karena wabah ini telah mengubah sebagian besar pola kehidupan dan penghidupan kita, dari aspek kontak fisik, sosial, ekonomi, bahkan ritualitas keagamaan. Sangat berbeda dengan bencana lainnya, Covid-19 mengharuskan penangangan bencana dalam dua aspek secara bersamaan, yaitu: sebab dan akibat, sehingga sangat berat dan sulit. Jika sebab tidak tertangani maka akibat akan terus terjadi, dan akibat juga bisa terus menjadi sebab, yang mampu merambah aspek lainnya dalam kehidupan, sehingga kita tidak tahu pasti kapan berakhir.

    Karenanya, cara pikir yang bisa dan mungkin harus kita pakai dalam situasi seperti ini adalah logika tindakan bersama, atau the logic of collctive action ala Mancur Olson, bukan pola pikir yang menuntun tragedy of the commons seperti dikemukan Garret Hardin. Kenapa? Tindakan seseorang memiliki implikasi bukan hanya pada seseorang itu tapi bagi semua orang. Artinya, kalau saya menjaga diri dengan patuh pada protocol covid-19 artinya tidak saja menjaga saya, tapi juga menjaga kamu, dia, dan semua orang. Atau sebaliknya, silakan dicoba dirangkai ya…!  Tapi, berbagai dampak covid-19 telah kita lihat rasakan, Mengutip McKinsey & Company, dalam Covid-19 Briefing Materials di pertengahan April lalu, dua hal yang menjadi kewajiban kita yaitu menyelamatkan hidup kita dan menyelamatkan penghidupan kita.

    Nah, untuk terus menghidupkan aktivitas penghidupan itu, bagi sebagian tentu tersedia beberapa alternatif, walaupun sangat terbatas bagi yang lain. Pun kampus, juga sebagian memiliki alternatif dan sebagian kesulitan beraktivitas. Laboratorium kami,  Lab. Sosial Ekonomi Perikanan dan Penangkapan Ikan atau Lab. SpI UGM, telah merespon dengan aktivitas pembelajaran seperti kuliah, praktikum, dan pembimbingan daring. Untuk kembali meramaikan kegiatan laboratorium, kami menginisiasi kegiatan obrolan ringan secara daring.  Obrolan itu lalu diberi nama: OaSE Perikanan (ObrolAn Sosial Ekonomi Perikanan) Lab. SpI UGM. Ya, saya pilih kata oase atau di KBBI tesaurus adalah oasis karena memiliki makna yang bagus. Tentu bagi banyak dari kita akan membayangkan terjemahan pertama dari oase, yaitu daerah di padang pasir yang berair cukup untuk tumbuhan dan permukiman manusia (inipun makna yang bagus). Terjemahan keduanya sungguh bagi saya menarik, yaitu tempat, pengalaman, dan sebagainya yang menyenangkan di tengah-tengah suasana yang serba kalut dan tidak menyenangkan. Nah, terjemahan kedua inilah yang coba diadopsi sebagai tema kegiatan laboratorium ini, walaupun kepanjangannya bisa dipas-paskan…:).

    Sebagai agenda pertama OaSE Perikanan ini, saya mencoba mengajak dua kawan muda di negeri seberang untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait isu-isu sosial ekonomi perikanan. Dan gayut bersambung ternyata mereka bersedia berbagi, dan jadilah Sesi perdana OaSE Perikanan dimulai pada hari Kamis, 9 Juli 2020 Pukul 19:00 WIB yang lalu. Keduanya adalah mbak Ing. Hafida Fahmiasari, S.T., M.Sc, @hafidafhmsr, seorang Junior Transport Specialist di IFC, World Bank Group dan Blue Economy Researcher, yang membahas Isu-Isu Kontemporer pada Pengembangan Kebijakan Sistem Logistik Ikan dan mbak Anes Dwijayanti, M.Sc, @anes_sudarsono, Program Doktor IMAS Tasmania University berbicara tentang Perspektif Pengelolaan Lobster Australia. Dan cukup menyenangkan, bang Dirjen Zulfikar, @mzulficar, Dirjen Perikanan Tangkap KKP dengan senanghati mengiyakan memberi pengantar. Terima kasih!

    Sedikit merangkum apa yang telah diobrolkan, bang dirjen tangkap menghighlighted bahwa saat ini momen terbaik perikanan tangkap karena stok ikan yang besar sebagai hasil berbagai upaya menjaganya dan melawan IUU fishing. Perikanan skala menengah dan besar, katakanlah kapasitas 100GT, harus dibangkitkan, dan daerah misal melalui badan usahanya (BUMD) harus mengambil bagian, tidak hanya mengandalkan pemerintah pusat. Ya, perubahan struktur armada perikanan ini telah lama disuarakan,tapi nampaknya belum banyak berubah (catatan lama soal struktur armada perikanan kita). Selanjutnya mbak Hafida menyoroti persoalan sistem logistik ikan kita, dan mensarankan beberapa skenario dan prioritas termasuk 12 pusat produksi dan distribusi serta 13 pusat penyangga. Tentu saja persoalan logistik ikan begitu kompleksnya dan nampak SLIN belum turun menjadi praktek, baru sebatas di atas kertas. Anyway, isu-isu pengelolaan rantai pasok ikan pernah kami rangkum, silakan diakses disini: Indonesia Seafood Supply Chain.

    Tetkait pengelolaan lobster di Australia, mbak Anes menegaskah pentingnya pengeloaan dari sisi input, yaitu kegiatan penangkapan lobster memperhatikan bioekonominya. Ketika straegi pengelolaan lobster bergeser dari “ambil semua ukuran” ke ukuran yang lebih besar, maka nilai manfaat ekonominya meningkat lebih dari tiga kali lipat. Artinya, memberikan ruang bagi lobster untuk menjadi ukuran lebih besar baru ditangkap memberikan keuntungan jauh lebih besar daripada mengambilnya saat kecil. Jadi, solusi pengelolaan lobsternya ada pada aktivitas pemanfaatannya, dan itu perlu menjadi perhatian serius bagi kita juga saat ini. Kalau soal budidaya lobster, Anes menyampaikan bahwa Australia “tidak terlalu fokus” pada budidayanya, namun pengembangan hatchery lobster dilakukan secara konsisten selama 15-20 tahun terakhir. Cukup kuat dan sabar kah kita untuk konsisten mengembangkan pembenihan lobster kita untuk waktu sepanjang itu (walaupun kita ketahui ada yang memiliki progres baik). Sebagai catatan tambahan, dalam webinar kawan-kawan di Budidaya Perikanan Universitas Lampung pada tanggal 29 Mei 2020 yang lalu, kami tegaskan bahwa banyak kebijakan perikanan tidak berjalan sebelumnya, khususnya terkait lobster karena beberapa faktor dan itu harus menjadi perhatian, yaitu persoalan terkait: (1) proses perumusan kebijakan; (2)substansi kebijakan; dan (3) monitoring kebijakan yang tidak berjalan baik. Karenanya kebijakan baru perikanan lobster saat ini harus betul-betul dicermati baik-baik.

    Silakan diunduh bahan obrolan OaSE Perikanan Sesi Perdana dari mbak Hafida Fahmiasari dan Anes Dwijayanti, serta yang kami sampaikan pada forum lain sebelumnya, Suadi dan Anes Dwijayanti, pada tautan nama-nama masing-masing kontributor.

    Salam sehat selalu, senang bisa kembali menjadi blogger lagi…:).

  • Tenggelamkan, Bangun Perikanan Baru!

    Tenggelamkan, Bangun Perikanan Baru!

    “By chance” saja mendapat kesempatan, yang bagi saya istimewa, bisa berbincang dengan punggawa salah satu kapal pengawas perikanan kita. Entah, saya merasa begitu senang bisa berbincang dengan anak-anak muda di kapal ini, bahkan saya minta ijin untuk berpose bersama. Saya harus katakan bahwa untuk urusan lain di luar pengawasan ikan, kebijakan kelautan perikanan dalam periode menteri Susi, bagi saya, penuh tanda tanya dan bisa diperdebatkan, baik dengan data kualitatif maupun kuantitatif. Tapi, untuk urusan pengawasan, apalagi menyangkut pencurian ikan oleh nelayan asing, sudah tidak ada tanda koma, tapi titik, SETUJU!. Kawan-kawan pengawas perikanan ini telah menjadi garda terdepan melawan “illegal fishing”, bahkan kapal yang mereka tangkap “saking” banyaknya sampai mereka sendiri tidak punya tempat untuk melabuhkan kapal pengawas di pelabuhannya sendiri. Kalau merujuk statistik perikanan yang ada, misal Laporan Realisasi kegiatan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan selama periode 2015-2017 telah diperiksa 3.727 kapal, menangkap 567 kapal ikan illegal, dan 488 kapal ikan illegal ditenggelamkan, yang kerseluruhan bermuara pada menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (selain misi menjaga kedaulatan). Negara-negara tetangga kita sering menjadi pelaku pencurian ikan, seperti Vietnam dan Thailand.

    Mengawasi laut seluas 2/3 wilayah negeri ini, tentulah bukan pekerjaan kategori biasa, apalagi bumbu-bumbu cerita etika birokrasi dan perilaku pelaku usaha besar sudah sering berseliweran. Karenanya kata “saya tenggelamkan” masih relevan untuk perikanan ke depan, tinggal teknisnya jangan sampai juga berdampak merusak lingkungan tempat ikan hidup.  Untuk mengurangi pencurian ikan, tentu tidak akan cukup hanya mengandalkan terus operasi pengawasan. Bangun perikanan nasional yang setangguh tetangga kita atau sebaik negara-negara perikanan dunia dan itu seperti menjadi keharusan. Perikanan nasional yang kuat itu penting agar kita dapat menikmati sumberdaya ikan yang terus dilaporkan meningkat jumlahnya.  Perikanan baru itu tentu saja berprinsip pada perikanan berkelanjutan yang diidamkan kementerian saat ini, tapi tidak hanya membatasi penangkapan ikan, apalagi ketika stok ikan tersedia. Perikanan baru harus juga memperhatikan keberlanjutan komunitas dan industri pasca panennya, termasuk keberlanjutan dari proyek-proyek yang sudah dibangun pemerintah (baca: bukan “proyek berkelanjutan”), termasuk sentra-sentra perikanan terpadu atau SKPT yang saat ini telah dan sedang dibangun, semisal yang ada di Natuna. Perikanan baru tentunya bukan hanya berorientasi menghasilkan ikan sebagai bahan baku, tetapi perikanan bernilai tambah. Nilai tambah itu tidak hanya dipahami sebagai beragam olahan ikan yang siap saji, tapi termasuk mengurangi sumberdaya ikan terbuang mulai dari saat di ikan di atas kapal, di pendaratan ikan, sampai di tempat proses pengolahannya, bahkan memproduksi ikan hidup juga adalah nilai tambah. (SJ)

    Selamat berkahir pekan!

  • Oleh-oleh menyUsur puLau kecIl

    Oleh-oleh menyUsur puLau kecIl

    Menyusur pulau barangcaddi dan samalona (photo pemandangan di pinggiran pulau barangcaddi oleh suadi)

    Beberapa waktu yang lalu menyusur beberapa pulau kecil di depan pusat kota makkasar, di kaki pulau sulawesi. Gugusan kepulauan spermonde yang cantik. Rasanya terakhir berkunjung ke salah satu pulau itu saat masih kuliah s1, lebih dari dua atau hampir tiga dekade lalu (ternyata sudah tua..:)). Dan menyusur gugusan pulau-pulau kecil terakhir mungkin 2 tahun lalu di maluku tengah….

    Pulau yang dikunjungi kali ini, barangcadi  hanya cukup dikelililngi kurang lebih dengan 7.000 langkah kaki. Pulau kecil ini penuh pemukiman. Namun rasannya membanggakan melihat kebersihan pulaunya dan kerapian kampungnya. Di satu pojokkan pulau dengan mudah menemukan IPAL Komunal dan bahkan Bank Sampah. Disisi lain dari pulau juga ada unit destilasi air laut menjadi air tawar yang sudah tidak berfungsi, konon tinggalan proyek JICA, dan yang baru. Berkeliling di pinggir dan bagian tengah pulau, mudah menemukan berbagai aktivitas ekonomi masyarakat, dari mengelola ikan, warung, pedagang keliling, sampai kemahiran menghasilkan perahu fiber, dengan lukisan dinding yang dahsyat cantiknya. Ragam tanaman pun tumbuh, menandakan pulau yang subur, dan favorit saya adalah pohon kelor (parongge, dalam bahasa Bima).

    Mendengarkan cerita salah satu tokoh, bahwa pulau ini sudah semakin rentan diterjan gelombang tinggi. Bahkan terakhir air masuk cukup jauh dan tinggi ke tengah pulau.  Nampak ada potongan bangunan pemecah gelombang di salah satu sisi pulau, tapi pastinya belum mampu melindungi pulau kalau ada  cuaca laut ekstrim lagi. Obrolan di kunjungan awal yang juga menarik adalah terkait dengan bagaimana hasil laut pulau kecill terkoneksi dengan intens dengan sentra pasar ikan dan selanjutnya industri pengolahan ikan, yang kemudian menghubungkan hasil laut pulau dengan negara-negara di dunia. Bahkan yang cukup menarik, hari itu mendengarkan penyampaian narasumber kami kalau mau bakar ikan pada  hari itu, maka harus ke paotere, pasar ikan sentral kota makassar atau di pulau utama. Jadi ikan yang ditangkap nelayan dengan segera akan bergeser dari pulau kecil ke pasar utamanya di luar pulau setiap harinya. Cerita tentang perjalanan ikan ini mengingatkan pada tulisan Berkes dkk. di Majalah Sciense edisi 17 Maret 2006 tentang Globalization, Roving Bandits, and Marine Resources atau cerita Kopi dalam perspektif analisis sosiologisnya Anthony Giddens. Ya, pulau kecil dinamikanya tidak berdiri sendiri atau oleh lingkungan di sekitarnya, tapi bahkan negeri yang jauh di belahan bumi lainnya. 

    Sepertinya kinjungan pertama ini telah memikat untuk kembali dengan kunjungan berikutnya. Pesona pulau kecil, dimanapun selalu menggoda untuk didatangi lagi dan lagi….#lautmasadepan

    Jika mau melihat sekilah video pendeknya silakan cek tautan ini

  • Kawasan Ekonomi Garam

    Kawasan Ekonomi Garam

    Tambak Garam di Kabupaten Bima, NTB

    Awal minggu ini (5/11) mendapat undangan untuk berdiskusi pergaraman nasional, di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diskusi dihadiri oleh pemda-pemda penghasil garam dan melaporkan status usaha garam di daerah masing-masing. 

    Bagi pembelajar kelautan dan perikanan akan sangat memahami bahwa garam itu sudah berubah dan berkembang jauh, atau berevolusi, dari sekadar penyedap rasa masakan, menjadi komoditas strategis dalam dunia usaha. Dikatakan strategis karena garam selain menjadi barang konsumsi manusia, juga menjadi bahan baku aneka industri, dan cepat atau lambat barangkali menjadi komoditas politik (pastinya pergaraman akan menjadi fokus perhatian ketika isunya sekelas isu perberasan).

    Kebutuhan akan garam terus meningkat, tapi suplai dalam negeri sering tidak menentu baik dari sisi jumlah apalagi kualitas garam, dan karenanya impor selalu jadi pilihan. Kebijakan impor garam bahkan sudah mulai sering mengundang perdebatan, bahkan di antara pengambil kebijakan. Awal tahun 2018 ini, kita membaca dua rekomendasi angka yang berbeda antar kementerian teknis terkait impor garam, sampai akhirnya PP No. 9/2018 menetapkan impor garam 2.370.054,45 ton.

    Selain kebutuhan akan kuantitas, kualitas garam juga sangat bermasalah. Mutu garam rakyat masih memerlukan proses pengolahan yang sangat memadai sehingga memenuhi stadar kebutuhan industri (misal kadar NaCl > 94%). Industri pengolahan garam masih sangat terbatas jumlahnya, salah satu diantaranya karena untuk memenuhi kualitas tersebut, dan tentunya juga terkait daya saing harga. Indonesia kini penjadi pengimpor nomor empat garam di dunia (6,1% total impor garam dunia), dengan nilai mencapai US$232,7 million. Australia menjadi penyumbang garam impor di tanah air, bahkan dengan kontribusi lebih dari 80% total impor Indonesia (sumbangan Australia di pasar ekspor dunia hanya 0.1%, impor Indonesia dari Australia tumbuh 19% per tahun).

    Jawa penghasil utama garam nasional, menyumbang 89,6% produksi garam tahun 2015. Selanjutnya, Nusa Tenggara (6%) dan Sulawesi menyumbang 3,3%.Produksi garam nasional cenderung berfluktuasi. Capaian tertinggi dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2015 (2,9 juta ton), namun anjlok pada tahun berikutnya karena sulitnya memanen garam disebabkan faktor cuaca, bahkan hanya mencapai 144.000 ton tahun 2016. Sampai kini, capaian produksi nasional dan impor garam selalu hampir sama nilainya, karena kebutuhan lebih dari 4 juta ton dan produksi hanya 2 juta ton.

    Penurunan secara gradual ketergantungan pada impor garam dapat dilakukan dengan revitalisasi usaha pergaraman rakyat dan pengembangan kawasan ekonomi garam baru.
    Revitalisasi usaha pegaramaman perlu dikaji, misal melalui pengelolaan berbasis hamparan (skala suaha perlu dihitung) yang dipadukan dengan pengembangan usaha pasca produksi baik yang menyangkut pergudangan, pengolahan garam, maupun distribusi dan logisitik.

    Sekilas membuat slide presentasi terkait ini. Silakan jika berminat bisa mengakses kesini.

  • 50 Tahun Tragedi Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    50 Tahun Tragedi Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    Seorang peternak yang baru memiliki beberapa ekor sapi, dan memiliki kemampuan untuk menambah beberapa ekor sapi lagi, ketika melihat padang rumput yang luas lagi subur dan diperkenankan mengembala di padang rumput tersebut, pasti akan berpikiran untuk segera menambah ternak untuk digembala, agar mendapat manfaat dari padang rumput tersebut. Sama seperti peternak ini, peternak lainnya ketika melihat padang rumput tersebut juga akan berpikiran untuk menambah ternak di padang rumput tersebut. Jika di lokasi pengembalaan terdapat 100 pengembala, maka 100 orang tersebut akan memiliki pandangan atau minimal niat serupa, yaitu menambah ternak di padang rumput tersebut. Serupa dengan para peternak, jika seorang nelayan, apabila dengan 1 (satu) kapal yang dioperasikan hasil tangkapan masih menjanjikan, kemungkinan besar akan berpikiran untuk menambah kapal baru atau jumlah alat tangkap atau trip menangkap ikan. Nelayan lainnya pun dipastikan akan perpikiran sama, menambah dan pergi melaut menangkap ikan sebanyak mungkin. Mirip dengan dua contoh kasus tersebut, jika saya misalnya, pengusaha industri pengolahan yang memiliki pabrik di pinggir suatu sungai, yang menghasikan limbah cair sisa proses produksi, maka saya akan berpikiran untuk membuang segera limbah itu ke sungai tersebut. Apa yang saya lakukan dengan limbah tersebut, kemungkinan besar juga akan dilakukan oleh pelaku usaha sejenis lainnya, ketika akan membuang limbah sisa produksinya.

    Para peternak yang rasional pasti akan berfikir untuk menambahkan ternaknya untuk meningkatkan keuntungan secara maksimal, walaupun pada saatnya padang rumput sumber pakan ternak tersebut akan habis karena kelebihan ternak. Demikian halnya para nelayan, mereka akan terus menambah usaha penangkapan ketika menikmati keuntungan dari tambahan usaha penangkapannya, sampai pada saatnya ikan semakin sulit ditangkap. Pun para pembuang limbah ke sungai, tetap saja membuang limbahnya sampai sungai menjadi sangat bau, berubah warna, bahkan tercemar berat. Cerita kiasan tersebut merupakan abstraksi dari narasi yang ditulis oleh Garret Hardin, pada Majalah Science 50 tahun yang lalu, untuk mendeskripsikan bagaimana tragedi sumberdaya kepemilikkan bersama (tragedy of the commons) terjadi. Hardin menggunakan kata tragedi pada kisah tersebut karena kisahnya memunculkan ketidakbahagiaan. Tragedi dalam KBBI pun salah satunya diartikan sebagai bentuk drama yang memiliki karakter serius dan berakhir dengan ketidakbahagiaan. Hardin mengambarkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak/nelayan/pelaku usaha dalam kisah ini sesungguhnya adalah untuk mereka masing-masing sebagai individu atau entitas bisnis, namun demikian kerugian akibat penambahan usaha/pembuangan limbah akan dirasakan oleh semua pelaku usaha tersebut atau bahkan anggota masyarakat lainnya. Pada bagian itulah cerita ketidakbahagiaan tersebut muncul, yaitu ketika tambahan keuntungan dari setiap tambahan aktivitas pada sumberdaya kepemilikkan bersama, berakhir dengan kerugian bagi semua. Bahkan, Hardin dalam tulisannya menegaskan bahwa sikap bebas pada akhirnya menimbulkan kehancuran. Kehancuran sebagai imbas dari kebebasan mengekploitasi sumberdaya untuk tujuan memenuhi kepentingan individual, yaitu memaksimalkan perolehan/keuntungan individu tertentu, sedangkan dampak dari eksploitasi sumberdaya tersebut akan dirasakan oleh banyak orang.

    Catatan Garret Hardin, 50 tahun yang lalu tersebut, tentu tetap relevan dengan kondisi saat ini jika mencermati kondisi dan perkembangan sumberdaya, lingkungan, dan tata kelolanya. Majalah The Economist edisi 4 Agustus 2018, misalnya, pada sampulnya terpampang judul besar “In the line of fire: Losing the war again climate change”. Majalah rujukan para pembelajar ekonomi ini menyajikan fakta-fakta terbaru seperti kebakaran yang terjadi di belahan bumi utara, antara lain yang terburuk dalam sejarah Amerika Serikat yaitu yang terjadi di California, yang bahkan membuat semacam cuaca tersendiri di sekitarnya. The Economist juga mencatat kebakaran terburuk yang menewaskan 91 orang di Athena, Yunani, minggu lalu dan juga kematian 125 orang karena lemas akibat gelombang panas yang melanda Jepang. “The world is losing the war again climate change” tegas The Economist. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa akar permasalahan yang sekalipun telah diketahui bersama, belum tentu akan semakin memperkuat aksi bersama untuk menyelesaikannya. Seperti halnya para peternak, para nelayan, atau para pencemar lingkungan pada tulisan Hardin, sekali pun akan mengetahui konsekuensi dari tindakan tetap menambah unit produksi untuk kemanfaatan masing-masing dari sumberdaya bersama, tempat mereka bergantung. “Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons” tulis Hardin. Lebih lanjut Hardin menegaskan kebebasan pada sumberdaya kepemilikan bersama (“commons”) membawa kehancuran bagi semua.

    Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah bersama tersebut? Para ahli memiliki cara pandang beragam. Mengenang Elinor Ostrom, penerima hadiah Nobel tahun 2009, saya pernah mencatat keragaman cara pandang tersebut (lihat http://suadi.net/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html atau http://suadi.staff.ugm.ac.id/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html). Hardin telah memberikan beberapa solusi untuk menghindari atau menyelesaikan permasalahan tragedy of the commons, dan jauh hari menegaskan tidak ada (atau keterbatasan) solusi teknis atas permasalahan bersama tersebut. Bagi Hardin, karena kebebasan pada “commons” berakhir pada kehancuran maka tentu solusinya adalah mengurangi atau menghilangkan kebebasan tersebut. Ide tentang privatisasi atau pengalihan kepemilikan sumberdaya milik bersama menjadi sumberdaya kepemilikan individu (swasta) kemudian menguat. Ide lainnya yang muncul adalah tata aturan yang memaksa atau dengan mekanisme pajak, yang menunjukkan perlunya peran negara/pemerintah yang lebih besar dan lebih kuat untuk mengatur. Sayangnya, seperti saya tulis pada tautan di atas, walaupun telah diadopsi di banyak tempat, namun pilihan tersebut tidak sepenuhnya mampu menjadi jalan keluar yang efektif. Krisis sumberdaya ikan, hutan, air, dan berbagai bentuk perebutan serta konflik sumberdaya terjadi dan masih meluas dari tingkat lokal sampai global. Namun demikian, tetap peringatan Garret Hardin selalu relevan untuk ditemukenali secara lebih baik jalan keluarnya.

    Karena tidak ada solusi teknis, barangkali aspek lain dari kosakata “commons” perlu didalami kembali. Seperti ditulis oleh Tabeta Masahiro, “commons” sebenarnya adalah sumberdaya yang dikategorikan ke dalam sektor non-uang, dan secara turun temurun memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas sosial, budaya, bahkan agama. Sebagai ilustrasi, Subak, sistem pengelolaan irigasi di Bali, tidak hanya dipandang sebagai usaha berbagi air secara adil dan demokratis untuk aktivitas pertanian khususnya persawahan yang menghasilkan uang, tetapi ia juga lengket dengan aktivitas “Pure” atau keagamaan. Pun, ditengah masyarakat kita sesungguhnya tersedia dan berkembang beragam institusi untuk mengelola sumberdaya ikan, hutan, satwa liar, sistem irigasi dan sumberdaya kepemilikkan bersama lainnya secara berkelanjutan. Respon secara kolektif tersebut barangkali merupakan bentuk tindakan bersama (collective action), yang dibutuhkan sebagai bagian jalan keluar menghadapi dilema dan menyelamatkan sumberdaya kepemilikkan bersama, di luar arus utama solusi privatisasi atau aturan negara yang memaksa. Tabik!

    Warungboto, 4 Agustus 2018 for ©suadi.net