perjalanan akhir tahun ke timur nusantara

Menjelang akhir Desember 2021 yang baru lewat, saya mendapat pengalaman perjalanan yang menarik di dua tempat eksoktik di timur nusantara. Perjalanan pertama adalah perjalanan ke sebuah desa di pelosok Nusa Tenggara Timur. Desa itu bernama Desa Ofu, Kecamatan Kolbano, Kabupaten Timor Tenggah Selatan. Perjalanan ke desa Ofu kira-kira membutuhkan waktu 5 jam, jika kondisi normal, dengan medan yang relatif berat bagi yang mabuk darat…:). Tapi pemandangan sepanjang perjalanan membuat perjalanan itu sangat berharga.

Pagi menjelang matahari terbit, setelah beristirahat semalam, kami berjalan-jalan sedikit untuk orientasi lapangan, dan kebetulan tepat hari pasaran desa saat itu. Saat menyusur desa kami mendapatkan salah satu sisi yang sangat indah dari desa ini, yaitu bukit pengembalaan sapi, entah nama tepatnya apa, tapi sebagian menyebut bukit cinta dan saya menyebutnya bukit teletubies…:). Silakan dicek tautan pemandangan dari StreetView yang coba saya buat, mungkin bisa merasakan keindahan dari puncak bukit teletubis tersebut. Namun, dibalik keindahan alam Ofu dan sekitarnya, ada isu besar, dan isu itulah yang menuntun kami melakukan perjalanan ke desa ini, ditambah satu desa tetangganya, yang bernama Babuin. Isu besar itu adalah isu kesehatan masyarakat yang saat ini menjadi salah satu concern negara, selain yang utama yang kita sama-sama berjuang menghadapinya, Covid-19. Isu kesehatan masyarakat itu adalah stunting. 

Stunting kita pahami bersama sebagai gangguan pertumbuhan pada anak karena malnutrisi. Kekurangan gizi ini menyebabkan anak menjadi lebih pendek dibandingkan anak lain seusianya. Tentu bukan persoalan tinggi badan semata yang menjdi masalah, tetapi potensi masalah lebih lanjut terkait dengan kerentanan daya tahan tubuh, persoalan kecerdasan dan risiko terjangkit penyakit tidak menular seperti obesitas, jantung, dan  hipertensi. Karena itu, isu ini perlu perhatian dan tindakan serius. Kalau kita membuka Dashboard Pemantauan Terpadu Percepatan Pencegahan Stunting, secara nasional tercatat masih ada sekitar 27,7% bayi di bawah lima tahun yang mengalami stunting, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama  Timor Tengah Utara (TTU) dan di Timor Tengah Selatan (TTS) menempati yang tertinggi (lebih dari 40%). Untuk lebih rinci, silakan mengecek Dasboard Pemerintah terkait ini, pada laman https://dashboard.stunting.go.id/. UGM mendapat amanah melalui Program Kedaireka Kemendikbut Ristek, sinergi perguruan tinggi dan industri untuk beragam inovasi mengakselerasi penyelesaian masalah yang ada. Dan kawan-kawan menamakan program Kedaireka ini dengan singkatan: UGM CINTA NTT (Comprehensive and Integrated Action for NTT – UGM CINTA NTT). Disebut comprehensive karena program ini melibatkan lima klaster di UGM: Kesehatan, Agro dan Pangan, Sosial Humaniora, Infrastruktur, Air dan Energi, serta Ekonomi. Potongan perjalanan ke Ofu sedikit terdokumentasi diinstagram saya. Yang sangat terkesan dari perjalanan kali ini adalah, selain merasakan kembali suasana Kuliah Kerja Nyata jaman mahasiswa, kami disambut dengan upacara adat dan dilepas juga dengan upacara adat. Tentu saja, ada titipan harapan agar program ini masih akan berjalan di tahun 2022 ini dan tahun selanjutnya.

Nah, perjalanan kedua adalah perjalanan ke ujung timur nusantara, ke Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Medan menuju kabupaten ini juga mirip-mirip dengan perjalanan pertama. Infrastruktur jalan ada yang sudah bagus, ada yang rusak, dan ada ang sedang dibangun. Butuh waktu paling cepat enam jam untuk mencapai Bintuni, dari ibu kota provinsi atau dari Manokwari. Sepanjang perjalanannya banyak pemandangan yang indah, dan salah satu spot untuk persinggahan yang asik itu bernama Gunung Botak, Manokwari Selatan. Perjalanan kedua ini karena undangan dari pemerintah daerah Kabupaten Teluk Bintuni, untuk menjadi narasumber terkait dengan pengembangan sektor kelautan dan perikanan di daerah. Sebagai catatan, ada tiga hal terkait sektor ini di Bintuni, satu, di dasar lautnya terkandung sumber gas yang luar biasa besar, sehingga raksasa produsen gas kita salah satunya ada di kabupaten ini. Silakan googling kata LNG Tangguh, pasti akan diarahkan kesana. Yang kedua, dalam sejarah perikanan nasional kita, kabupaten ini tercatat sebagai rumah bagi perusahaan perikanan tangkap skala besar dan ternama, yang dikenal dengan Jayanti Group (lama sudah tidak dengar kabarnya), di jaman pak Harto. Yang ketiga, Bintuni adalah rumah terbesar bagi ekosistem mangrove Indonesia, dan kedua terbesar di dunia, setelah amazon. Jadi, saya merasa beruntung bisa sampai di kabupaten ini. Namun ketidak beruntungan bagi kabupaten Bintuni ini adalah menjadi kabupaten terkaya (berdasarkan PDB per kapita), tapi termasuk yang tinggi angka kemiskinannya. Menarik bukan? Teori tetesan ke bawah itu semakin sulit ditemukan bisa menjadi solusi persoalan ketimpangan…

Namun demikian, perjalanan kedua ini begitu mengasikkan karena bisa reuni dengan kawan berpetualangan, setelah agak lama tidak berkumpul. Empat Sekawan, yang kebetulan baru saja foot printnya di unggah di facebooknya om Subejo, bisa kumpul lagi dan bahkan bisa saling bertukar gagasan di lapangan melalui podcast saat berkunjung, yang teaser-nya pernah saya unggah di instagram saya. Selamat menikmati perbincangan kami di tengah ekosistem Mangrove terbesar kedua dunia (mari kita jaga) dan di Bukit Botak Manokwari Selatan (dari Youtube om Aris Kaban BIG) saat perjalanan pulang dari Bintuni. Semoga bermanfaat dan salam sehat! #fishingideas

Petualangan bersama Om Aris, Om Subejo & Om Awal