Berkaca pada Peristiwa Kematian Nelayan di Wilayah Perbatasan

Tentang kematian nelayan yang melakukan ekspansi perikanan ke daerah perbatasan dengan wilayah negara tetangga, di bulan Agustus yang lalu ada dua peristiwa yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita. Pertama tentu datang dari negeri kita sendiri, yaitu kematian Mulyadi, seorang anak buah kapal ikan (ABK) Buana Jaya, yang tertembak oleh angkatan bersenjata Papua New Guinea (PNG). Sedangkan peristiwa kedua adalah kematian Mitshuhiro Morita, nelayan penangkap kepiting (crab) dari Hokkaido-Jepang, oleh patroli pantai Rusia. Dua peristiwa ini sama bercerita tentang kematian nelayan di daerah perbatasan, namun keduanya memiliki kelanjutan cerita yang nampak sangat berbeda.

Kematian Mulyadi dan penahanan 9 orang nelayan lainnya pada Selasa, 9 Agustus yang lalu, tentu saja menuai protes keras dari pihak Indonesia terutama karena penggunaan kekerasan secara berlebihan dan ketidakjelasan akan kebenaran posisi kapal melanggar wilayah perbatasan atau tidak. Juru bicara Departemen Luar Negeri Desra Percaya seperti dilansir Kompas (8/10) bahkan memanggil Dubes PNG untuk menyerahkan nota protes tersebut. Setelah jasad Mulyadi diserahkan ke pihak keluarga di Papua lebih awal pada hari Kamis, kesembilan rekannya baik yang terluka maupun yang selamat dibebaskan oleh Pengadilan Wilayah Vanimo dengan membayar denda masing-masing sebesar 200 kina PNG (setara Rp 650.000) seminggu kemudian (Senin, 15 Agustus). Seperti diungkap pihak kepolisian Provinsi Sandaun kepada the National 16 Agustus yang lalu, nilai denda ini tentu sangat kecil karena pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan-nelayan ini hanya dianggap sebagai pelanggaran keimigrasian, walaupun penangkapan ikan secara ilegal dipandang sebagai kejahatan serius, apalagi acap kali nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayahnya melakukan kekerasan terhadap polisi patroli PNG yang menggunakan kapal motor ukuran kecil.

Seperti halnya kematian Mulyadi, kematian Morita, tepat sehari setelah pembebasan kawan-kawan Mulyadi (16 Agustus), juga mengundang protes keras dari pihak Jepang karena penggunaan senjata dalam penanganan kasus semacam ini. Apalagi Jepang berpandangan bahwa wilayah dimana terjadi penembakan tersebut adalah wilayah yang sejak lama (di akhir Perang Dunia II) menjadi sengketa antara kedua negara ini. Segera Deplu Jepang juga meminta agar kapal ikan besera dua ABK dan kapten kapal yang selamat dilepas. Namun proses yang akan dilalui oleh nelayan Jepang ini tidak akan semudah nelayan Indonesia di PNG. Seperti dilansir oleh BBC, walaupun Rusia merasa perlu meminta maaf atas penembakan tersebut, namun mereka tetap tidak dapat mentolerir penangkapan ikan di wilayah kedaulatnnya secara ilegal. Ketika utusan Jepang, Yasuhisa Shiozaki (Wakil Senior Kementerian Luar Negeri) menemui Alexander Alexeyev (Deputi Kementerian Luar Negeri) di Moscow, pihak Moscow seperti dilansir The Japan Times menjanjikan pertimbangan kemanusiaan yang terpenting dalam penyelesaiaan kasus ini. Namun, Rusia hanya melepas dua ABK Kisshin Maru pada tanggal 30 Agustus yang lalu, sementara kapten kapalnya tetap ditahan dan akan dibawa kemeja hijau.
Apakah pelanggaran batas wilayah sebagai penyebab utama kekerasan yang berakhir kematian yang menimpa nelayan di luar wilayah negerinya berkurang dimasa yang akan datang? Nampaknya sangat sulit berharap berkurang karena salah satu faktor penting yang menyebabkan nelayan melakukan ekspansi ke daerah penangkapan ikan yang baru (new fishing ground) salah satunya adalah karena semakin sulitnya menangkap ikan di wilayah terdekat dan tentu juga ada harapan besar untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik di daerah yang baru. Untuk kasus Jepang menurut catatan Yomiuri, sejak akhir PD II sampai akhir 2004 yang lalu tercatat 1330 kasus penangkapan kapal ikan Jepang oleh Rusia. Pelanggaran batas wilayah ini diperkirakan masih akan meningkat karena daya tarik sumberdaya ikan di wilayah yang menjadi sengketa ini. Bahkan setelah kasus penembakan Morita pelanggaran garis batas ini seperti dilansir The Japan Times, 26 Agustus lalu, masih terjadi dan mengundang protes pihak Rusia. Pelanggaran serupa juga masih dilakukan oleh nelayan Indonesia pasca kematian Mulyadi ketika 26 Agustus yang lalu Angkatan Laut PNG kembali menangkap empat kapal ikan Indonesia dan menahan 17 awaknya.

Ketidaktahuan nelayan akan batas wilayah negara sendiri masih sering kita pegang sebagai alasan utama pelanggaran wilayah satu negara. Alasan ini juga yang dikemukan oleh dua nelayan Jepang saat dilepas oleh pihak Rusia. Namun demikian, ekspansi perikanan seperti ini tentu memiliki akar permasalahan di negeri atau wilayah di mana nelayan biasa melakukan penangkapan ikan. Salah satu permasalahan itu adalah semakin menurun sumberdaya ikan di daerah penangkapan ikan terdekat. Ketika nelayan berhadapan dengan sumberdaya dengan kondisi seperti ini, kemungkinan pilihan adaptasinya adalah 1) melakukan ekspansi ke daerah penangkapan ikan yang baru dan (atau bersamaan dengan itu) 2) memodifikasi alat tangkap supaya lebih efisien. Dua temuan ini yang saya lihat dilakukan oleh nelayan Sape, Nusa Tenggara Barat atau nelayan Cilacap, Jawa Tengah dalam beberapa kali saya mengujungi mereka beberapa tahun silam. Hal serupa juga dikemukan oleh Butcher (2005) dalam studi sejarah tentang perikanan di Asia Tenggara seperti tertuang dalam bukunya “The Closing of the Frontier, A History of the Marine Fisheries of Southeast Asia C. 1850-2000”. Lebih jauh Butcher menilai bahwa perikanan kini (khususnya di Asia Tenggara) telah atau sedang menuju batas pertumbuhan karena tiga dimensi dari daerah penangkapan ikan telah dimanfaatkan secara intensif. Tentu saja sumberdaya ini dimanfaatkan tidak hanya oleh nelayan lokal tapi juga oleh nelayan dari daerah lain, pulau lain, bahkan negara lain. Sehingga, jika kita tidak cermat atau bijakasana mengelola sumberdaya di sekitar kita, di dekat daerah kita, atau di negeri kita, bukan tidak mungkin ekspansi perikanan ke daerah lain atau ke pulau lain saja akan berdampak buruk bagi kita. Karena kita sudah melihat banyak konflik perikanan atau konflik antar nelayan lahir dari kisah perluasan daerah penangkapan seperti ini. Walahu’alam.

Ami-machi, 4 September 2006

Suadi

(suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id)

Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality