The Last of Sea Women: Kisah Para Haenyeo, Perempuan Penyelam dari Pulau Jeju Korea Selatan

Dalam perayaan Hari Ibu tahun ini, saya mencoba membuat rangkuman singkat satu film dokumenter AppleTV, The Last of Sea Women. Film ini menurut saya mengambarkan dengan apik suatu peristiwa, nilai dan inspirasi dari para Haenyeo, yaitu kelompok penyelam (free diver) perempuan di Pulau Jeju, Korea Selatan. Wanita-wanita ini dapat dikatakan adalah cerminan dari kekuatan dan pengorbanan yang signifikan dari perempuan, ibu, komunitas, dan pelestarian budaya.  Dan Hari Ibu itu adalah satu momen untuk mengenang dan menghormati ketangguhan, cinta tanpa syarat, dan warisan para ibu.

Haenyeo memiliki akar sejarah dan budaya yang lekat dengan Pulau Jeju. Selama ratusan tahun atau dari generasi ke generasi, para perempuan Pulau Jeju menunjukkan ketangguhan dan kemampuan beradaptasi dengan alam laut yang penuh dinamika sebagai sumber penghidupan mereka dari sumber daya kepemilikkan bersama (the commons). Bahkan beberapa catatan menyebutkan, Haenyeo juga melakukan perlawanan terhadap eksploitasi selama masa pendudukan Jepang pada tahun 1930-an, yang tentu saja menunjukkan peran mereka sebagai simbol identitas lokal dan perlawanan. Kalau dalam film dokumenter ini, catatan  tersebut tergambar dari kasus terkini, yaitu protes mereka pada kasus Fukushima beberapa waktu lalu.

Haenyeo telah tercatat sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan (the Intangible Cultural Heritage of Humanity) oleh UNESCO pada tahun 2016. Dalam catatan UNESCO, para Haenyeo, yang sudah berusia senior (70-80 tahun), menyelam bahkan sampai 20 meter di bawah permukaan air tanpa masker dan tabung oksigen untuk mengumpulkan pangan laut seperti kerang, abalon dan bulu babi sebagai penghidupan mereka di Pulau Jeju. Dengan pengetahuan mereka tentang air dan kehidupan laut, Haenyeo memanen hingga tujuh jam sehari, 90 hari setahun, menahan napas kurang lebih satu menit per penyelaman dan membuat suara vokal yang aneh saat muncul ke permukaan. Tentu saja, para free divers perempuan ini sebelum menyelam memiliki tradisi dan keyakinan akan adanya suatu kekuatan di laut sehingga mereka berdoa pada dewi laut sebelum menyelam agar selamat dan mendapat hasil yang baik. Haenyeo memang berkontribusi nyata pada ekonomi lokal dengan mendukung keluarga mereka selama masa-masa sulit, sehingga memperkuat posisi mereka sebagai anggota masyarakat Jeju yang penting.  Lee dkk (2022) menegaskan bahwa budaya Haenyeo adalah cerminan keseimbangan antara kemandirian ekonomi, pengelolaan lingkungan, dan pelestarian budaya. 

Tentu berlatar keindahan alam Pulau Jeju, The Last of Sea Women memadukan cerita pribadi para penyelam dengan tradisi komunitas mereka. Film ini disajikan dalam Bahasa Korea, sehingga saya hanya menikmati sub title-nya saja, tetapi terlihat dengan jelas, film ini menyajikan secara apik ketahanan fisik, keberanian, dan kebijaksanaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang melambangkan esensi keibuan. Setiap penyelaman mencerminkan pengorbanan seorang ibu yang memasuki ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya.  Narasi yang dibangun menggambarkan perjuangan para haenyeo yang sejalan dengan tantangan yang umumnya yang dihadapi oleh para ibu. Sekalipun dalam film ini menonjolkan para haenyeo sebagai pencari nafkah independen, tetapi peran dalam rumah sebagai ibu menjadi teladan ketangguhan. Gaya hidup mereka sepertinya sangat beresonansi dengan perayaan hari ibu di seluruh dunia, menjadikan kisah mereka unik sekaligus universal. 

Tentu saja, modernisasi yang luar biasa cepat dan tantangan perubahan lingkungan global mengancam cara hidup Haenyeo. Perubahan iklim, penangkapan ikan berlebihan, dan tekanan pariwisata telah mengurangi jumlah penyelam aktif, yang menjadi ancaman besar bagi tradisi mereka. Di belahan bumi mana pun, generasi muda semakin memilih profesi modern dibandingkan kehidupan seperti Haenyeo yang sangat menuntut secara fisik, menciptakan ketegangan antara pelestarian warisan budaya dan penerimaan modernitas.  Upaya untuk melindungi tradisi Haenyeo tetap dilakukan. Tidak hanya keluarga, asosiasi haenyeo dan koperasi nelayan, pemerintahnya terus mengupayakan untuk mewariskan budaya ini. Haenyeo’s Kitchen misalnya, menjadi satu program mengintegrasikan pendidikan budaya dengan peluang ekonomi. Serving Stories through Immersive Dining, demikian tagline yang dibangun Haenyeo’s Kitchen dan diketahui bahwa telling story & branding menjadi salah satu strategi pemasaran jitu. Karena itu, The Last of Sea Women perlu disyukuri pemerintah Korea karena membantu membangun, menyebarluaskan, dan mempromosikan budaya di suatu tempat, yang pastinya memikat hati untuk bertandang. Semoga suatu saat bisa ke Jeju bertemu para haenyeo….:) 

Kembali pada The Last of Sea Women, yang kebetulan saya tonton menjelang hari ibu, seperti sedang merayakan sifat keibuan yang beragam. Haenyeo memang tidak hanya sebagai penyedia tetapi juga sebagai pengasuh komunitas dan lingkungan mereka. Kemampuan mereka untuk beradaptasi, mengajar, dan bertahan di tengah kesulitan mencerminkan kekuatan para ibu di seluruh dunia.  Sineas dalam film ini menurut saya telah dengan indah menangkap hubungan antara perjuangan Haenyeo dan keindahan laut yang penuh tantangan. Dikombinasikan dengan musik tradisional yang khas, dokumenter ini saya dapat nikmati dengan rasa rasa kagum dan lebih utama lagi kagum akan penghormatan terhadap kehidupan para Perempuan di kepulauan. 

Jadi, di saat kita merayakan Hari Ibu, kisah Haenyeo menawarkan pengingat bagi kita akan ketangguhan, pengorbanan, dan warisan para ibu di mana pun. Perjalanan mereka memantik dan membangkitkan rasa horma pada sifat keibuan, tidak hanya dalam artian biologis tetapi juga peran budaya dan komunitas yang dimainkan para ibu dalam membentuk dunia. Selamat merayakan Hari Ibu….

SDG 14: Ekosistem Lautan

SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera

Sumber Gambar: https://www.imdb.com/title/tt14093994/