Seperempat Abat Perikanan Laut DIY

Restrukturisasi kelembagaan yang ditetapkan dengan Perda No. 7 tahun 1980 dari Seksi Perikanan Darat Dinas Pertanian Rakyat menjadi Dinas Perikanan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi titik awal ghirah membangun perikanan dan kelautan di DIY. Sejarah yang mengawali pembangunan ini memiliki kemiripan dengan kelahiran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melalui Keppres 136/1999, yaitu organisasi yang berdiri dari institusi di bawah Departemen Pertanian menjadi institusi yang independen dan setara dengan induknya. Tidaklah salah jika tahun ini seperempat abad sudah pengembangan perikanan dan kelautan di provinsi ini.


Perubahan yang sedang melanda sebagian wilayah pesisir selatan Jawa (pansel) terutama dalam dekade terakhir menarik untuk diperbincangkan baik dalam konteks sejarah, budaya, maupun ekonomi, apalagi jika perubahan ini dipersandingkan dengan sejarah masyarakat di pesisir lain di utara Jawa (pantura). Jika di utara kita menemukan peran penting wilayah pesisir, tidaklah mudah kita jumpai hal yang serupa di pansel, kecuali di beberapa wilayah seperti Cilacap yang sudah dikenal sejak abad ke-19. Wilayah utara telah dikenal sebagai sentral kekuasaan politik kerajaan ternama dan secara ekonomi sebagai sentral perdagangan dan industri perkapalan. Abad ke-15 sampai ke-17 telah menjadi periode emas ekonomi pesisir, tidak hanya di Jawa tetapi di seluruh nusantara. Pasang surut wilayah ini seperti dikemukan Houben (1994) dalam tulisannya “Trade and State Formation in
Central Java 17th-19th Century” tidak terlepas dari tarik-menarik politik antara pesisir-perdagangan dan pedalaman-pertanian. Dalam kontek sejarah inilah, provinsi DIY pernah dikenal sebagi pusat kekuasaan kerajaan yang berbasis di pedalaman yang sangat terkenal yaitu Kerajaan Mataram.


Dari Petani Menjadi Nelayan

Berbicara tentang kekinian, daya tarik ekonomi sumberdaya kelautan serta berbagai kelangkaan sumberdaya di darat telah memicu komunitas pesisir DIY dan sebagian pesisir lainnya di pansel untuk terjun ke laut. Perubahan yang terjadi dalam dekade ini, dalam perspektif sosio-historis dapat dikatakan revolusioner, tidak hanya karena masyarakat ini lebih dominan berkarakter agraris-pedalaman, tetapi juga karena mereka harus melawan tabir kultural dimana laut dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan mistis. Dalam komunitas ini laut dipandang berada di bawah kekuasaan seorang ratu yang oleh Whitten dkk (1999) dalam bukunya “Ecology of Java” digambarkan sebagai isteri gaib dan pelindung penguasa-penguasa mataram dan pewarisnya, sehingga Ia, mengutip Lombard (2000) dalam bukunya “Nusa Jawa” dikatakan perlu selalu disenangkan hatinya. Ritual labuhan dan kiriman sesajen dalam berbagai tradisi di selatan Jawa terutama dalam mengawali peluncuran perdana kapal ikan merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kepercayaan ini. Di beberapa wilayah, Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon adalah hari pantangan untuk melaut yang juga merupakan salah satu bentuk penghormatan tersebut. Tentu, patut dicatat bahwa nelayan-nelayan ini harus melawan kondisi hidrooseanografi Samudra Hindia dengan gelombang besar, jalur perairan dangkal yang sempit dan langsung jatuh ke kedalaman Samudra Hindia, serta berbagai keterbatasan lokasi yang memadai untuk pendaratan kapal ikan mereka.


Pemerintah daerah tentu sangat dominan dalam mengakselerasi perkembangan kegiatan perikanan dan kelautan di DIY. Usaha ini pertama kali diintroduksi pada awal 1980 melalui serangkaian kerjasama antara pemda dengan nelayan dari Cilacap terutama untuk mengenalkan teknik penangkapan ikan. Di tahun 1984,
lima unit perahu motor tempel (PMT) dijadikan kapal latih dengan melibatkan nelayan-nelayan Cilacap tersebut. Kapal ikan tersebut masing-masing diintroduksi di Pantai Samas-Kabupaten Bantul, Congot-Kulon Progo, dan Baron-Gunungkidul. Sayangnya, usaha ini dalam dekade 1980an hanya berlanjut di wilayah yang terakhir, sehingga tidaklah salah jika Baron diidentikkan sebagai perintis perikanan DIY. Setelah pelabuhan perikanan Sadeng-Gunungkidul, selesai di bangun tahun 1992, usaha perikanan mulai berkembang di beberapa wilayah lainnya khususnya di kabupaten yang sama. Namun demikian, dalam perkembangnya pelabuhan ini dibelit permasalahan aksesibilitas, fasilitas pendukung, ketidak-sepadanan teknologi, dan keterbatasan budaya masyarakat sehingga menjadikan Sadeng sarat akan pasang-surut yang ditunjukkan oleh produksi ikan dari 130 ton pada tahun 1995 menjadi 50 ton di tahun 1997, walaupun meningkat dalam tahun-tahun terakhir.


Perkembangan Pesat dalam Era Otonomi

Depresiasi rupiah di pertengahan 1997 dan diikuti dengan naiknya harga ikan, seperti lobster naik dari 50.000-150.000 rupiah per kilogram menjadi sekitar 250.000 rupiah per kilogram (Suadi 2002), yang kemudian diikuti oleh gelombang otonomi daerah di tahun 1999 mendorong peningkatan pesat investasi perikanan. Jika pada tahun 1997 jumlah total perahu hanya 139 unit, pada tahun 1999 meningkat menjadi 310 unit, dan saat ini telah menjadi 524 unit. Lokasi pendaratan ikan juga terus bertambah karena adanya investasi baru baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah daerah dan diperkirakan tidak kurang dari 19 TPI saat ini, atau secara rata-rata 5.6 km per 1 pendaratan ikan.


Kontribusi positif pembangunan perikanan terhadap ekonomi di pesisirpun sangat nampak seperti pendapatan nelayan yang melebihi UMP DIY, perumahan maupun pendidikan anak yang membaik, termasuk partisipasi wanita yang sangat menonjol. Usaha ini juga menjadi triger lahirnya berbagai aktivitas ekonomi di pesisir, terutama pariwisata yang dimotori para istri nelayan. Pemerintah daerah terus mengembangkan usaha ini dan sejak otonomi daerah bergulir di tahun 1999, pemerintah telah mencanangkan lahirnya pelabuhan berbasis perikanan samudra, bukan hanya perikanan pantai. Ketika isu pelabuhan ini bergulir ketiga kabupaten pesisir yang telah disebutkan sebelumnya berlomba untuk menjadi lokasi pembangunan sarana perikanan tersebut, walaupun akhirnya Pelabuhan Glagah, Kulon Progo nampak mendapat prioritas dengan peletakan batu pertama di tahun 2005. Namun demikian, pembangunan pelabuhan ini masih akan alot karena permasalahan AMDAL (Kedaulatan Rakyat, 14-12-2005).


”Precautionary Approach” Pengembangan Perikanan

Patut kiranya dikedepankan prinsip dan pendekatan kehati-hatian (”precautinary approach”) dalam pengembangan perikanan di wilayah ini, karena satu kenyataan yang dihadapi perikanan dunia saat ini adalah laju penurunan produktivitas perikanan dan berbagai ancaman kerusakan sumberdaya. Garcia dan Moreno (1999) dalam papernya tentang status perikanan dunia, melaporkan lebih dari 60% perikanan saat ini telah dieksploitasi secara berlebihan dan tidak lebih dari 5% yang berhasil pulih kembali melalui berbagai program rehabilitasi. Beberapa wilayah pantai di Indonesia juga diidentifikasi telah tereksploitasi secara berlebihan seperti di Selat Malaka dan Pantai Utara Jawa, bahkan di wilayah yang terakhir diperkirakan habitat ikan telah mengalami kerusakan berat. Indikasi pemanfaatan yang semakin intensif disebabkan investasi perikanan yang meningkat pesat juga mulai nampak di selatan DIY seperti ditunjukkan oleh produktivitas perikanan dari 50 kg per trip sebelum tahun 1997 menjadi kurang lebih 20 kg per trip dalam tahun-tahun terakhir (Suadi dkk. 2003). Indikasi semacam ini mengingatkan akan pentingnya pengelolaan perikanan secara bijaksana apalagi sebagai sumberdaya yang kepemilikannya masih dikenal sebagai sumberdaya kepemilikan bersama dan bersifat terbuka, kekurang hati-hatian akan mendorong perikanan pada apa yang dikhawatirkan oleh Hardin (1968) sebagai “the tragedy of the commons”.


Beberapa metode pengelolaan konvensional seperti pembatasan jumlah investasi baru, pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, serta quota penangkapan ikan telah dan sedang digunakan di beberapa negara seperti
Australia, Jepang, dan Amerika. Bahkan kini, seperti dipaparkan oleh Clark dkk. (2005) dalam Jurnal Environmental Economics and Management, sedang dipromosikan program “buy back access capacity” yaitu suatu program subsidi untuk membeli kelebihan investasi perikanan untuk menjaga usaha ini agar berkelanjutan. Di Jepang selain berbagai program pengaturan, promosi rehabilitasi perikanan melalui program pengkayaan stok ikan (“stock enhancement”) juga sangat maju. Program seperti ini di Jepang bisa berjalan karena pemerintah, masyarakat dan industri sangat mendukung terutama dengan berbagai keberhasilan dari lembaga penelitian memproduksi secara masal benih ikan untuk kebutuhan pengkayaan stok.


Beberapa potongan catatan berikut dapat menjadi pertimbangan pengembangan perikanan laut DIY. Pertama, untuk menghidari kemunduran produktivitas perikanan, pembatasan “new comers” sudah sepatutnya dipikirkan. Upaya ini tentu perlu dipadukan dengan diversifikasi pemanfaatan sumberdaya saat ini yaitu dari dominasi perikanan demersal (dasar) ke jenis lainnya terutama ikan pelagis (permukaan). Kedua, pemerintah daerah telah menetapkan pengembangan perikanan dari berbasis pantai ke samudra melalui penyediaan sarana pelabuhan perikanan, pembangunan ini tentu sangat berguna untuk mengurangi tekanan berlebihan eksploitasi sumberdaya di pantai dan memperluas perikanan saat ini termasuk untuk menyediakan lapangan kerja baru. Namun demikian, pengalaman pembangunan fasilitas sejenis di Sadeng patut menjadi pelajaran berharga, dimana penyediaan fasilitas perikanan beserta teknologi terkait lainnya tidak hanya terkait dengan masalah teknis, tetapi juga menyangkut persiapan dan rekayasa sosial. Sebelum fasilitas tersebut berdiri tegak, pengetahuan yang memadai akan status sumberdaya ikan di selatan Jawa atau samudera Hindia secara umum juga perlu mendapat porsi kajian yang memadai. Ketiga, sebagai produk yang bersifat cepat rusak, pengembangan teknologi pasca panen khususnya untuk mememelihara mutu produk perikanan dibutuhkan salah satunya untuk menjamin keamanan pangan. Kehandalan kualitas produk ikani dapat menjadi salah satu isu terdepan komoditi pariwisata di desa pesisir DIY. Keempat, untuk pengembangan program rehabilitasi sumberdaya ikan, DIY berpeluang sebagai perintis di
Indonesia karena fasilitas UPTD Perikanan Laut tersedia dan kegiatan penelitan sumberdaya ikan lokal sudah dimulai di unit ini misalnya UGM dengan penelitian lobster dan upaya pembenihannya. Tentu saja, seiring dengan berkembangan usaha berbasis kelompok baik budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwata termasuk usaha berbasis wanita menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan kedalam pembangunan desa secara menyeluruh.


Penutup

Belajar dari perkembangan pesisir di nusantara, patut kiranya dicatat bahwa pasang surut pesisir tidak terlepas dari faktor ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan. Faktor itu juga yang dicatat oleh Masyhuri (1996) dalam bukunya Menyisir Pantai Utara Jawa, yang juga menentukan pasang-surut perikanan di Utara Jawa. Pesisir pernah mencapai periode emas dimasa lampau karena sekurang-kurangnya karena ketersediaan sumberdaya alam yang memadai, keterkaitan hubungan antara daerah pedalaman dengan pesisir terutama dalam perdagangan hasil-hasil pertanian, kemampuan dalam teknologi perkapalan sehingga memudahkan hubungan antar wilayah, serta adanya dukungan secara kelembagaan yang sangat memadai. Tentu harapan bersama, pembanguan pesisir di DIY atau Indonesia secara umum akan menuju arah yang berkelanjutan. Bagi DIY, upaya ini terbuka apalagi penguasa laut selatan yang ditakutipun telah berubah menjadi bersahabat, dengan menyediaan wilayah kekuasaannya untuk kesejahteraan rakyat. Tinggal menunggu kemauan semua pihak mewujudkannya.

Suadi
e-mail: suadi(at)ugm
(dot)ac(dot)id

Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality