Author: Suadi

  • Kebebasan Akademik ala Prof. Denis Rancourt

    Perseteruan antara Prof. Denis Rancourt dengan Universitas Ottawa (U&O) berakhir dengan diPHKnya sang professor, demikian dilansir diwebsite U&O 6 Februari lalu. Tidak hanya dipecat tapi ia juga tidak diperkenankan berada di universitas tersebut. Theglobeandmail.com melaporkan Rancourt digelandang polisi ketika akan menghadiri pertemuan film dokumenternya di U&O. Kenapa di negara yang memiliki tradisi kebebasan akademik muncul kasus Rancourt? Kebebasan akademik seperti apa yang Rancourt harap dan tawarkan? Kasus ini berawal dari kegelisahan Rancourt tentang sistem pendidikan yang bersifat transfer ilmu dan menghasilkan orang-orang “manut”, bukan ilmuan, atau Rancourt menyebut “scientists, not automatons”. Ia juga menjadi pesiar berbagai ketidakadilan termasuk kritikus perilaku Israil. Kesadaran Rancourt mengantarkannya pada aksi untuk mengenalkan sistem yang ia yakini membebaskan dan demokratis yang ia sebut “academic squatting”. Beliau juga menggugat sistem penilaian konvensional, A-E, dan menganjurkan sistem Lulus/Tidak Lulus. Sebagai guru pegiat (“activist teacher”), Rancourt menawarkan konsepnya ke U&O. Tidak mendapat tempat bagi idenya membuat ia “membangkang”. Di tahun 2005 Rancourt mengumumkan nilai A pada semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya, ilmu fisika dan lingkungan, sebelum kuliah dimulai. Dari kasus inilah perseteruan dimulai dan terus meruncing. Sang profesor semakin melawan arus, bahkan mengundang masyarakat mengikuti perkuliahannya termasuk meregistrasi bocah kembar usia 10 tahunan dan ibunya. Materi kuliahpun meluas, bukan hanya ilmu fisika, tetapi juga sosial politik. Akibatnya ia dihadiahi nilai F, alias “fired”.

    Tiga hal mencuri perhatian dari kasus Rancourt, yaitu (1) bidang ilmu, (2) pilihan sistem penilaian, dan (3) sistem pembelajaran. Lalu bagaimana dengan sikap universitas? Adalah pilihan politis ketika universitas yang diwakili oleh para pemegang pucuk pimpinan mengambil tindakan apapun sesuai dengan kaidah yang diyakininya dan dan kepentingan universitas tersebut. Apakah dengan memecat Rancourt kebebasan akademik terlukai? Perbedaan sudut pandang masih akan terus menjadi perdebatan. Jikapun keduanya akan terus bersengketa, pengadilanlah yang akan menyelesaikannya.

    Rancourt adalah seorang profesor terpandang di bidangnya, ilmu fisika. Melalui mesin pencari google scholar dengan mudah ditemukan karya ilmiahnya. Sebagai profesor fisika, apakah Rancourt telah keluar dari bingkai keilmuannya dengan menginisiasi topik-topik sosial politik ke dalam kuliah fisika? Isu sosial dan politik memang menarik bagi siapapun, apalagi informasi tersedia dan dengan mudah diperoleh. Sekali waktu Rancourt menulis “kuliah sosial dan politik semakin dibutuhkan dalam bidang sains”. Jika demikian masalahnya, apakah kita sedang menyaksikan kenyataan bahwa sekat-sekat bidang ilmu itu kokoh? Hal yang tidak sulit untuk ditemukan di kampus-kampus kita. Pagar fisik antara fakultas menjadi cerminan kuliah lintas bidang dan ilmu adalah hal yang juga sulit.

    Kedua, pilihan sistem penilaian yang menjadi alasan utama Rancourt dipecat. Menjadi diskusi panjang pilihan mana yang memberikan kualitas terbaik dan kesuksesan anak didik. Dalam pengantar buku Paulo Freire (1999) “Menggugat pendidikan: fundamentalis, konservatif, liberal, anarkis”, diceritakan tentang Hitler yang cukup baik dan manis semasa kecilnya, tetapi kejam ketika dewasa. Adakah pendidikan bertanggung jawab untuk ini? Tawaran Rancourt akan tepat untuk kondisi interaksi pengajar dan anak didik yang cukup baik. Dengan intensitas itu bukanlah hal yang sulit meluluskan atau tidak seorang mahasiswa. Tetapi dengan kenyataan perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada pendidikan masal, mungkinkah meninggalkan sistem konvensional? Kesuksesan di masa datang memang bukan beban tanggung jawab sekolah, tetapi melalui pendidikan diharapkan terbuka jalan bagi pembebasan.

    Ketika Rancourt mengumumkan nilai A untuk seluruh mahasiswanya, sesungguhnya bukanlah berarti mahasiswa tanpa beban. Seorang mahasiswanya mengatakan harus menjalankan tugas yang membutuhkan kreativitas. Target Rancourt dengan “academic squatting” adalah pendidikan pedagogik yang lebih demokratis dan membebaskan dan bidang sains memerlukannya. Dalam kelasnya di tahun 2005, di awal kelas mahasiswa disyaratkan membuat proyek untuk terjun lapangan dan Rancourt melihat antusiasme mahasiswa. Karena mahasiswa dengan sendirinya bertanggung jawab atas proses belajarnya, Rancourt berkesimpulan bahwa sistem penilaian sesungguhnya tidak lagi diperlukan. Pembelajaran yang membuka ruang bagi peran lebih banyak bagi peserta didik (“student centered”) memang semakin dibutuhkan, tapi tidak berarti pendidik melepas tanggungjawabnya.

    Pendidikan kita memang sedang menghadapi banyak tantangan. Namun, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) berpesan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5). Pendidikan bermutu tentu melalui proses interaksi yang baik antara kampus, pendidik, anak didik dan lingkungannya. Interaksi yang baik bisa terselenggara jika ruang interaksi yang egaliter dan partisipatif tersedia. Sekat-sekat jurusan dan fakultas perlu dikurangi dengan memberikan peluang bagi proses belajar dan riset lintas bidang. Proses pembelajaran juga perlu terus mendekatkan mahasiswa dengan permasalahan sesungguhnya dalam masyarakat. Patut dihargai beberapa universitas mempertahankan program berorientasi pada terbangunnya interaski mahasiswa dan masyarakat seperti kuliah kerja nyata, misalnya. Seperti kata Rancourt, mendalami masalah sosial di sekitar lingkungan kita adalah sama pentingnya dengan pelajaran fisika. Semoga pendidikan kita lebih memerdekakan dengan anggaran yang akan mulai terealisasi sesuai amanat UUD. Wahalu ‘alam.

    Davis, California, 9 Maret 2009

  • Apa itu komunitas? (Kutipan)

    They could not put a roof over their heads without the cooperation of others. They could not get in their harvests without the help of others. They could not deliver their children or doctor their sick without good relations with others. They had no savings system except investments in goodwill with others. They had no welfare or old age protection but the assistance of others. They had no public safety or defense against human enemies and natural disaster but the collaboration of others. (Encyclopedia of Community)

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Menuju Setengah Abad Baru – Golden Year of Friendship 2008 Indonesia-Japan

    Berbagai perayaan masih terus berlangsung memasuki setengah abad hubungan persahatan Indonesia-Jepang. Judul tulisan di atas adalah salah satu tema dalam poster yang dibuat oleh Panitia 50 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia Jepang. Seperti telah diketahui, Indonesia dan Jepang pada tanggal 20 Januari 1958 menandatangai satu perjanjian damai dan menandai perbaikan hubungan kedua negara.

    Memasuki setengah abat hubungan diplomatik/ekonomi tersebut, telah disepakati pembukaan kerjasama baru, yang diberi nama “JIEPA” (Japan-Indonesia Partnership Agreement). JIEPA telah bergulir sejak awal kepemimpinan SBY dan hari ini, tanggal 1 Juli 2008 kesepakatan tersebut mulai berlaku. Tentu saja, mulai hari ini list barang/komoditi yang termasuk dalam kelompok A seperti tertera dalam Artilce 20 kesepakatan JIEPA akan gratis masuk Jepang atau Indonesia. Untuk produk perikanan dan yang terkait dengan perikanan terdapat 51 komoditi yang termasuk dalam kelompok ini dengan 36 komoditi diataranya adalah hasil perikanan dan sisanya berupa alat produksi perikanan. Indonesia tentu bisa mengoptimalkan peluang pada 36 komoditi, sambil mempersiapkan peluang pasar yang terus terbuka dengan biaya masuk nol 10-15 tahun mendatang.

    Memasuki era baru hubungan kedua negara dalam perikanan, saya mencoba membuat kilas balik dalam sektor perikanan selama lima dekade terakhir. Untuk selengkapnya silakan baca Inovasi yang terbit hari ini (http://io.ppi-jepang.org). Semoga berguna

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Karena BBM, Perahupun disandarkan

    Harga minyak dunia yang terus meningkat dan melampui angka US$140 per barel dalam hari-hari terakhir semakin memberikan pukulan berat bagi sektor perikanan. Apalagi telah diketahui bahwa 40-50% biaya operasional kapal ikan adalah untuk bahan bakar. Di Jepang, lebih dari 200.000 kapal ikan berencana untuk tidak melaut pada tanggal 15 Juli mendatang sebagai ungkapan protes terhadap kenaikan harga harga BBM dan upaya mendapatkan dukungan pemerintah atas permasalahan yang dihadapi nelayan (Asahi Shinbun 26/6/08). Seminggu sebelumnya juga telah dilaporkan oleh banyak media tentang berhenti beroperasinya 3.000 kapal penangkap cumi selama dua hari sebagai protes atas permasalahan tersebut. Protes dengan cara yang yang lebih kasar juga telah dilakukan oleh nelayan Perancis, yaitu dengan memblokade pelabuhan dan depot BBM (Reuters, 25/6/2008). Riak kenaikan harga minyak dunia nampak akan terus meluas dibanyak tempat, apalagi dalam waktu mendatang sangat dikhawatirkan harga minyak akan menyentuh US$ 200 per barel.

    Industri perikanan di tanah airpun sudah barang tentu menghadapi dilemma yang sama. Namun demikian, tidak banyak pilihan yang dapat dilakukan oleh nelayan kita kecuali tetap melaut. Memilih protes dengan mensandarkan perahu seperti yang dilakukan oleh nelayan Jepang sama artinya dengan kehilangan peluang pendapatan untuk menghidupi keluarga. Apalagi industri perikanan kita sebenarnya tidak hanya dihadapkan pada masalah kenaikan harga BBM, tetapi juga semakin sulitnya mencari ikan. Kondisi ini dalam jangka pendek tentu saja membuat pilihan strategi adaptasi menjadi semakin terbatas. Karena itu, peran pemerintah untuk menyediakan bahan bakar dengan harga yang dapat dijangkau oleh industri perikanan skala kecil/menengah yang merupakan 3/4 dari total industri perikanan nasional kita saat ini akan sangat dibutuhkan.

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • japan’s tuna fishing industry: A … – Google ブック検索

    Bagi yang tertarik dengan industri tuna Jepang. Buku ini mungkin sedikit banyak berguna. Selamat menikmati
    japan’s tuna fishing industry: A … – Google ブック検索

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Menghindari Kemunduran Performa Perikanan

    Tampilan perikanan tahun ini menunjukkan gejala yang tidak mengembirakan. Ekspor perikanan mengalami penurunan luar biasa dari 926.478 ton pada tahun 2006 menjadi 480.281 tahun ini, atau turun lebih dari separuh capaian tahun sebelumnya. Dalam pandangan pemerintah kemunduran performa perikanan tahun ini merupakan imbas dari faktor eksternal perikanan seperti kebijakan kenaikan harga BBM, berkurangnya operasi kapal ikan asing, dan dampak aturan perdagangan global khususnya antibiotik pada industri budidaya udang. Pendapat seperti ini tentu saja menguatkan anggapan bahwa para pengambil kebijakan saat ini tetap kokoh pada keyakinannya bahwa sumberdaya ikan tersedia melimpah untuk pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidaklah mengherankan dalam setiap wacana dan rencana pembangunan tahunan perikanan akan terbaca berbagai data target baik produksi maupun pendapatan yang selalu lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.

    Dengan memberikan prioritas utama pada komoditas terbatas yaitu udang, rumput laut, dan tuna, kebijakan revitalisasi perikanan sebenarnya tidak terlalu mendapat sokongan kuat dari industri nasional. Untuk komoditas udang, industri budidaya sangat tergantung pada spesies hasil introduksi khususnya Vanamei. Sementara dengan berbagai kelemahan mendasar pada struktur industri perikanan tangkap nasional, perikanan tuna menjadi tergantung pada investasi asing. Sayangnya untuk perikanan ini sangat sulit dibedakan antara yang berijin dengan yang yang tidak, antara yang legal dengan yang mencuri. Pemerintahpun menjadi dilematis dalam pengaturannya karena disatu sisi berharap sumbangan yang besar dari perikanan asing, disisi lain kebijakan memperketat ijin secara langsung berimbas pada berkurangnya kontribusi perikanan ini Dalam industri tuna juga muncul dilema lain yang cukup pelik seperti yang dipaparkan oleh Michael Heazle dan John G. Butcher (2007) dalam Jurnal Marine Policy yaitu pertarungan kepentingan antara para pencari keuntungan dari perikanan termasuk dari dalam tubuh kalangan militer dan birokrasi. Sementara permasalahan ketimpangan yang sangat mencolok pada struktur perikanan yang telah lama diketahui tidak banyak mendapat perhatian. Program pembangunan perikanan rakyatpun hanya didominasi oleh bantuan perahu, tambahan alat tangkat, dan proyek yang bermuara hanya pada pencapaian produksi perikanan.

    Faktor eksternal seperti yang dipaparkan pemerintah tidak dapat dipungkiri sangat memukul posisi industri perikanan, walau tidak secara keseluruhan menurunkan minat terhadap investasi perikanan. Dalam beberapa kasus ekspansi budidaya udang Vanamei semakin meluas di beberapa daerah. Jumlah armada perikanan tangkap juga mengalami pertumbuhan positif, seperti dalam periode 2001-2005 tumbuh mencapai 4.4% per tahun. Namun demikian, yang patut menjadi perhatian saat ini adalah faktor internal sumberdaya ikan. Faktor ini perlu mendapat porsi perhatian lebih besar karena pertumbuhan produksi ikan laut justru terus melambat akhir-akhir ini, jauh di bawah pertumbuhan kapal ikan. Dalam periode 2001-2005 produksi ikan hanya tumbuh 2,7% per tahun, atau terendah yang pernah dicapai dalam periode lima tahunan sejak 1961. Pada saat bersamaan penurunan dan kerusakan habitat sumberdaya ikan juga terjadi dimana-mana, bahkan kini potensi lestari perikanan tangkap dilaporkan hanya tersisa 20% yang bisa dimanfaatkan. Ekspansi nelayan kita yang memasuki wilayah negara tetangga juga semakin sering diberitakan dan diantaranya tidak jarang berujung pada pembakaran kapal ikan mereka, penahanan dan penembakan nelayan oleh otoritas di wilayah negeri seberang. Di dalam negeri intensitas konflik karena perebutan sumberdaya ikan juga semakin meningkat. Berdasarkan laporan beberapa media Dalam periode antara 2000 dan 2006 tidak kurang ditemukan 30 berita tentang kasus konflik perikanan baik berupa penahanan kapal, pembakaran kapal ikan, penembakkan nelayan, perkelahian dan pembunuhan, dan demonstrasi nelayan.

    Orientasi pembangunan perikanan dengan demikian perlu segera berubah dari kebiasaan mengejar target dan berorientasi ke luar kearah perbaikan kualitas hidup nelayan dan penyelamatan sumberdaya ikan. Perpaduan berbagai pola pengelolaan dengan demikian dibutuhkan. Pada tingkat lokal, pola pengelolaan berbasis masyarakat dapat diadopsi atau lebih diberdayakan. Pengakuan hak atas sumberdaya ikan dalam hal ini diperlukan atau dengan kata lain akses terhadap sumberdaya ikan oleh siapapun (open access) sudah saatnya dibatasi. Upaya ini perlu dipadukan dengan pengembangan industri pembenihan ikan untuk kebutuhan pengkayaan sumberdaya ikan dan pengembangan industri budidaya. Kerjasama antara daerah dan regional juga juga perlu diperkuat untuk menghindari berbagai konflik perikanan. Berkah sumberdaya yang masih tersedia dan beragam hanya membutuhkan kemauan dan kemampuan kita mengelola secara sungguh-sungguh, tidak hanya mengandalkan diri pada satu atau dua komoditi saja.

    Ami machi, 10 Januari 2008

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Tsukiji, akhirnya nyampe juga di pasar ikan ini

    Akhirnya, setelah lama berencana ke pasar ikan ini, kesampeannya juga beberapa hari yang lalu. Cerita lengkapnya saya akan tulis pada kesempatan lain. Kali ini saya ajak untuk melihat beberapa jepretan saya di pasar ini dan untuk itu silakan klik disini. Oh yah, setelah melihat foto-fotonya silakan mampir baca websitenya pasar ikan ini disini. Nah, pasar ikan ini oleh Bestor dikatakan sebagai “The Fish Market at the Center of the the World”.
    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Pemburuan Tuna Sirip Biru Bagian II: Jepang Akhirnya Menyerah

    Pemburuan Tuna Sirip Biru Bagian II: Jepang Akhirnya Menyerah

    Di bawah bayang-bayang perebutan pengaruh dan juga sumberdaya tuna sirip biru (SBT) antara Australia dan Jepang, upaya menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan ini menemui sedikit titik terang beberapa hari yang lalu. Akhirnya Jepang menyerah dan menyatakan bersedia menerima penurunan jumlah kuotanya menjadi hanya separuh dari tahun sebelumnya, atau jatahnya kini tinggal 3000an ton di tahun 2007 nanti. The Guardian 16 Oktober yang lalu juga melaporkan setelah terjadi kesepakatan tersebut total kuota SBT juga menurun menjadi sekitar 11.000an ton dari 13.000an ton saat ini (coba perhatikan gambar di atas untuk kuota SBT untuk beberapa negara saat ini).

    Nah, kini Australia menjadi pemegang kendali dengan kuota tertinggi diantara negara-negara yang menangkap SBT saat ini. Australia tentu saja akan berperan penting dalam pengelolaan SBT. Namun demikian keuntungan yang menjanjikan dari eksploitasi ikan ini menjadi tantangan tersendiri bagi Australia, apalagi seperti pernah saya tulis sebelumnya Jepang juga sangat percaya kalo Australia juga diduga melakukan kecurangan dengan mengekspor ikan-ikan berukuran kecil. Tapi yang menjadi pertanyaan berikutnya mau diapakan armada perikanan Jepang yang telah diinvestasikan untuk perikanan ini? Saya kira Jepang tidak akan berpangku tangan, dengan berkata “ya sudah”. Nurut saya sih sangat boleh jadi negeri sakura ini akan berupaya mendekati beberapa negara potnesial untuk membuat berbagai pola kerja sama penagkapan ikan seperti yang banyak terjadi pasca negara-negara pantai mengadopsi UNCLOS di awal 1980an (yang membatasi pergerakan perikanan Jepang). Kita tunggu saja kelanjutannya.

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Pencurian Ikan, kapan akan berakhir ya?

    Pencurian Ikan, kapan akan berakhir ya?

    Gemas juga ya baca berita kalo di negeri sendiri banyak sumberdaya ikan yang dicuri, sementara nelayan nusantara tertembak di negeri orang, karena mengejar ikan yang semakin sulit ditangkap. Pada saat yang sama kita juga sering membaca, mendengar, atau melihat konflik nelayan makin sering terjadi.
    Akhir September yang lalu kapal pengawas DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan) berhasil menangkap 10 kapal ikan Thailand dan Vietnam bersama 105 awaknya ketika sedang mencuri ikan di kepulauan Natuna (suarapmbaruan.com). Nah, kapal-kapal tersebut tentu tidak seperti kapal yang dibrondongi peluru oleh tentara Papua New Guinea atau Malaysia beberapa waktu yang lalu, tetapi kapal mereka ini berteknologi canggih dengan bobot 100-400 GT (gross ton). Menurut hitungan pemerintah sih kerugian negara karena aktivitas penangkapan ikan ilegal seperti ini mencapai Rp 30 triliun per tahun, wow. Tentu angka yang fantastis dibandingkan kontribusi sektor perikanan yang tidak sampai Rp 500 miliar ke kas negara (dalam bentuk PNBP alias pendapatan negara bukan pajak).

    Sejak DKP dibentuk di tahun 1999 yang lalu, isu ini memang terus menjadi berita. Ketidakmampuan kita mengawasi laut kita karena armada pengawasan yang terbatas baik yang miliknya Angkatan Laut maupun DKP, sudah sering kita dengar. Sementara, dalam upaya mengurangi tekanan pemanfaatan sumberdaya secara ilegal ini, pemerintah juga mulai menutup ijin usaha penangkapan ikan dari negara lain kecuali jika mereka mau bekerja sama dalam skim yang telah ditetapkan pemerintah seperti membangun industri pasca panen di dalam negeri. Apakah mereka mau? Tentu bukan pekerjaan yang mudah, karena itu tentu saja akan mengorbankan industri pasca panen di negeri penangkap ikan ilegal ini.

    Alasan yang paling logis kenapa pemerintah masih tetap berharap pada armada perikanan asing ini adalah karena struktur perikanan kita sendiri masih sangat lemah. Nah, sebagai ilustrasi singkat coba deh perhatikan gambar struktur armada perikanan kita pada gambar di atas. Ternyata ya, lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan kita adalah kapal-kapal kecil. Gimana kira-kira mau bersaing dengan kapal Thailand, Korea, China atau Jepang ya? Kalopun nelayan kita akan bersaing mungkin ya bersaing diantara sesama yang kecil-kecil itu dan susahnya kalo terlalu kuat persaigannya sering berakhir dengan konflik. Sebenarnya masalah seperti ini sudah lama diketahui dan sering diungkap, tapi ya perubahannya tetap saja berjalan lambat ya. Sementara setiap tahunnya kita membaca pemerintah pasang target yang selalu lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan tentu saja sektor perikanan tangkap ini diharapkan menjadi kontributor utama. Misalnya tahun ini targetnya produksi ikan mencapai 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, dan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 3,1%. Bisakan itu dicapai dengan struktur perikanan seperti saat ini? Rasanya berat sih! Kecuali tetap berbaik hati dengan para penangkap ikan ilegal itu. Walahu’alam deh!

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality
  • Citra Satelit si Lusi (Lumpur Sidoarjo)

    Citra Satelit si Lusi (Lumpur Sidoarjo)

    Palu sudah diketuk beberapa minggu yang lalu bahwa si Lusi hasil ulah Lapindo segera akan dibuang langsung ke laut. Tapi upaya ini nampak belum terealisasi dengan baik. Setiap hari mengikuti berita tentang si Lusi ini tentu kita bisa merasakan bagaimana dampak dari kecerobohan yang dilakukan oleh Lapindo. Selain sudah jelas yang setuju, tentu masih banyak keberatan kalo si Lusi dibuang begitu saja ke laut. Kita berharap saja kebijakan yang telah diambil dapat meringankan beban masalah yang ada, bukan PEMERATAAN PENDERITAAN karena di laut bukan hanya ikan yang dikorbankan (pilih ikan apa manusia, begitu kata menteri PU), tapi tidak sedikit manusia yang bergantung padanya. Ini ada beberapa gambar dari “langit” yang dipublikasi oleh Universitas Nasional Singapura. Mari kita simak bersama-sama untuk jadi pelajaran bersama.

    Ini peta lokasinya

    Gambar ini hasil citra tanggal 6 Oktober 2005

    Nah yang ini gambar tanggal 29 Agustus 2006

    Untuk lengkapnya silakan berkunjung kesini aja.

    Let`s share knowledges, sciences, and experiences
    Technology, Partnership & Equality