Author: Suadi

  • Kawasan Ekonomi Garam

    Kawasan Ekonomi Garam

    Tambak Garam di Kabupaten Bima, NTB

    Awal minggu ini (5/11) mendapat undangan untuk berdiskusi pergaraman nasional, di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diskusi dihadiri oleh pemda-pemda penghasil garam dan melaporkan status usaha garam di daerah masing-masing. 

    Bagi pembelajar kelautan dan perikanan akan sangat memahami bahwa garam itu sudah berubah dan berkembang jauh, atau berevolusi, dari sekadar penyedap rasa masakan, menjadi komoditas strategis dalam dunia usaha. Dikatakan strategis karena garam selain menjadi barang konsumsi manusia, juga menjadi bahan baku aneka industri, dan cepat atau lambat barangkali menjadi komoditas politik (pastinya pergaraman akan menjadi fokus perhatian ketika isunya sekelas isu perberasan).

    Kebutuhan akan garam terus meningkat, tapi suplai dalam negeri sering tidak menentu baik dari sisi jumlah apalagi kualitas garam, dan karenanya impor selalu jadi pilihan. Kebijakan impor garam bahkan sudah mulai sering mengundang perdebatan, bahkan di antara pengambil kebijakan. Awal tahun 2018 ini, kita membaca dua rekomendasi angka yang berbeda antar kementerian teknis terkait impor garam, sampai akhirnya PP No. 9/2018 menetapkan impor garam 2.370.054,45 ton.

    Selain kebutuhan akan kuantitas, kualitas garam juga sangat bermasalah. Mutu garam rakyat masih memerlukan proses pengolahan yang sangat memadai sehingga memenuhi stadar kebutuhan industri (misal kadar NaCl > 94%). Industri pengolahan garam masih sangat terbatas jumlahnya, salah satu diantaranya karena untuk memenuhi kualitas tersebut, dan tentunya juga terkait daya saing harga. Indonesia kini penjadi pengimpor nomor empat garam di dunia (6,1% total impor garam dunia), dengan nilai mencapai US$232,7 million. Australia menjadi penyumbang garam impor di tanah air, bahkan dengan kontribusi lebih dari 80% total impor Indonesia (sumbangan Australia di pasar ekspor dunia hanya 0.1%, impor Indonesia dari Australia tumbuh 19% per tahun).

    Jawa penghasil utama garam nasional, menyumbang 89,6% produksi garam tahun 2015. Selanjutnya, Nusa Tenggara (6%) dan Sulawesi menyumbang 3,3%.Produksi garam nasional cenderung berfluktuasi. Capaian tertinggi dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2015 (2,9 juta ton), namun anjlok pada tahun berikutnya karena sulitnya memanen garam disebabkan faktor cuaca, bahkan hanya mencapai 144.000 ton tahun 2016. Sampai kini, capaian produksi nasional dan impor garam selalu hampir sama nilainya, karena kebutuhan lebih dari 4 juta ton dan produksi hanya 2 juta ton.

    Penurunan secara gradual ketergantungan pada impor garam dapat dilakukan dengan revitalisasi usaha pergaraman rakyat dan pengembangan kawasan ekonomi garam baru.
    Revitalisasi usaha pegaramaman perlu dikaji, misal melalui pengelolaan berbasis hamparan (skala suaha perlu dihitung) yang dipadukan dengan pengembangan usaha pasca produksi baik yang menyangkut pergudangan, pengolahan garam, maupun distribusi dan logisitik.

    Sekilas membuat slide presentasi terkait ini. Silakan jika berminat bisa mengakses kesini.

  • 50 Tahun Tragedi Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    50 Tahun Tragedi Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    Seorang peternak yang baru memiliki beberapa ekor sapi, dan memiliki kemampuan untuk menambah beberapa ekor sapi lagi, ketika melihat padang rumput yang luas lagi subur dan diperkenankan mengembala di padang rumput tersebut, pasti akan berpikiran untuk segera menambah ternak untuk digembala, agar mendapat manfaat dari padang rumput tersebut. Sama seperti peternak ini, peternak lainnya ketika melihat padang rumput tersebut juga akan berpikiran untuk menambah ternak di padang rumput tersebut. Jika di lokasi pengembalaan terdapat 100 pengembala, maka 100 orang tersebut akan memiliki pandangan atau minimal niat serupa, yaitu menambah ternak di padang rumput tersebut. Serupa dengan para peternak, jika seorang nelayan, apabila dengan 1 (satu) kapal yang dioperasikan hasil tangkapan masih menjanjikan, kemungkinan besar akan berpikiran untuk menambah kapal baru atau jumlah alat tangkap atau trip menangkap ikan. Nelayan lainnya pun dipastikan akan perpikiran sama, menambah dan pergi melaut menangkap ikan sebanyak mungkin. Mirip dengan dua contoh kasus tersebut, jika saya misalnya, pengusaha industri pengolahan yang memiliki pabrik di pinggir suatu sungai, yang menghasikan limbah cair sisa proses produksi, maka saya akan berpikiran untuk membuang segera limbah itu ke sungai tersebut. Apa yang saya lakukan dengan limbah tersebut, kemungkinan besar juga akan dilakukan oleh pelaku usaha sejenis lainnya, ketika akan membuang limbah sisa produksinya.

    Para peternak yang rasional pasti akan berfikir untuk menambahkan ternaknya untuk meningkatkan keuntungan secara maksimal, walaupun pada saatnya padang rumput sumber pakan ternak tersebut akan habis karena kelebihan ternak. Demikian halnya para nelayan, mereka akan terus menambah usaha penangkapan ketika menikmati keuntungan dari tambahan usaha penangkapannya, sampai pada saatnya ikan semakin sulit ditangkap. Pun para pembuang limbah ke sungai, tetap saja membuang limbahnya sampai sungai menjadi sangat bau, berubah warna, bahkan tercemar berat. Cerita kiasan tersebut merupakan abstraksi dari narasi yang ditulis oleh Garret Hardin, pada Majalah Science 50 tahun yang lalu, untuk mendeskripsikan bagaimana tragedi sumberdaya kepemilikkan bersama (tragedy of the commons) terjadi. Hardin menggunakan kata tragedi pada kisah tersebut karena kisahnya memunculkan ketidakbahagiaan. Tragedi dalam KBBI pun salah satunya diartikan sebagai bentuk drama yang memiliki karakter serius dan berakhir dengan ketidakbahagiaan. Hardin mengambarkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak/nelayan/pelaku usaha dalam kisah ini sesungguhnya adalah untuk mereka masing-masing sebagai individu atau entitas bisnis, namun demikian kerugian akibat penambahan usaha/pembuangan limbah akan dirasakan oleh semua pelaku usaha tersebut atau bahkan anggota masyarakat lainnya. Pada bagian itulah cerita ketidakbahagiaan tersebut muncul, yaitu ketika tambahan keuntungan dari setiap tambahan aktivitas pada sumberdaya kepemilikkan bersama, berakhir dengan kerugian bagi semua. Bahkan, Hardin dalam tulisannya menegaskan bahwa sikap bebas pada akhirnya menimbulkan kehancuran. Kehancuran sebagai imbas dari kebebasan mengekploitasi sumberdaya untuk tujuan memenuhi kepentingan individual, yaitu memaksimalkan perolehan/keuntungan individu tertentu, sedangkan dampak dari eksploitasi sumberdaya tersebut akan dirasakan oleh banyak orang.

    Catatan Garret Hardin, 50 tahun yang lalu tersebut, tentu tetap relevan dengan kondisi saat ini jika mencermati kondisi dan perkembangan sumberdaya, lingkungan, dan tata kelolanya. Majalah The Economist edisi 4 Agustus 2018, misalnya, pada sampulnya terpampang judul besar “In the line of fire: Losing the war again climate change”. Majalah rujukan para pembelajar ekonomi ini menyajikan fakta-fakta terbaru seperti kebakaran yang terjadi di belahan bumi utara, antara lain yang terburuk dalam sejarah Amerika Serikat yaitu yang terjadi di California, yang bahkan membuat semacam cuaca tersendiri di sekitarnya. The Economist juga mencatat kebakaran terburuk yang menewaskan 91 orang di Athena, Yunani, minggu lalu dan juga kematian 125 orang karena lemas akibat gelombang panas yang melanda Jepang. “The world is losing the war again climate change” tegas The Economist. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa akar permasalahan yang sekalipun telah diketahui bersama, belum tentu akan semakin memperkuat aksi bersama untuk menyelesaikannya. Seperti halnya para peternak, para nelayan, atau para pencemar lingkungan pada tulisan Hardin, sekali pun akan mengetahui konsekuensi dari tindakan tetap menambah unit produksi untuk kemanfaatan masing-masing dari sumberdaya bersama, tempat mereka bergantung. “Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons” tulis Hardin. Lebih lanjut Hardin menegaskan kebebasan pada sumberdaya kepemilikan bersama (“commons”) membawa kehancuran bagi semua.

    Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah bersama tersebut? Para ahli memiliki cara pandang beragam. Mengenang Elinor Ostrom, penerima hadiah Nobel tahun 2009, saya pernah mencatat keragaman cara pandang tersebut (lihat http://suadi.net/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html atau http://suadi.staff.ugm.ac.id/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html). Hardin telah memberikan beberapa solusi untuk menghindari atau menyelesaikan permasalahan tragedy of the commons, dan jauh hari menegaskan tidak ada (atau keterbatasan) solusi teknis atas permasalahan bersama tersebut. Bagi Hardin, karena kebebasan pada “commons” berakhir pada kehancuran maka tentu solusinya adalah mengurangi atau menghilangkan kebebasan tersebut. Ide tentang privatisasi atau pengalihan kepemilikan sumberdaya milik bersama menjadi sumberdaya kepemilikan individu (swasta) kemudian menguat. Ide lainnya yang muncul adalah tata aturan yang memaksa atau dengan mekanisme pajak, yang menunjukkan perlunya peran negara/pemerintah yang lebih besar dan lebih kuat untuk mengatur. Sayangnya, seperti saya tulis pada tautan di atas, walaupun telah diadopsi di banyak tempat, namun pilihan tersebut tidak sepenuhnya mampu menjadi jalan keluar yang efektif. Krisis sumberdaya ikan, hutan, air, dan berbagai bentuk perebutan serta konflik sumberdaya terjadi dan masih meluas dari tingkat lokal sampai global. Namun demikian, tetap peringatan Garret Hardin selalu relevan untuk ditemukenali secara lebih baik jalan keluarnya.

    Karena tidak ada solusi teknis, barangkali aspek lain dari kosakata “commons” perlu didalami kembali. Seperti ditulis oleh Tabeta Masahiro, “commons” sebenarnya adalah sumberdaya yang dikategorikan ke dalam sektor non-uang, dan secara turun temurun memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas sosial, budaya, bahkan agama. Sebagai ilustrasi, Subak, sistem pengelolaan irigasi di Bali, tidak hanya dipandang sebagai usaha berbagi air secara adil dan demokratis untuk aktivitas pertanian khususnya persawahan yang menghasilkan uang, tetapi ia juga lengket dengan aktivitas “Pure” atau keagamaan. Pun, ditengah masyarakat kita sesungguhnya tersedia dan berkembang beragam institusi untuk mengelola sumberdaya ikan, hutan, satwa liar, sistem irigasi dan sumberdaya kepemilikkan bersama lainnya secara berkelanjutan. Respon secara kolektif tersebut barangkali merupakan bentuk tindakan bersama (collective action), yang dibutuhkan sebagai bagian jalan keluar menghadapi dilema dan menyelamatkan sumberdaya kepemilikkan bersama, di luar arus utama solusi privatisasi atau aturan negara yang memaksa. Tabik!

    Warungboto, 4 Agustus 2018 for ©suadi.net

  • Simposium Internasional Hasil Penelitian Perikanan & Kelautan di UGM

    Departemen Perikanan Universitas Gadjah Mada menggelar International Symposium on Marine and Fisheries Research (ISMFR) pada tanggal 24-25 Juli 2017 di Eastparc Hotel. Tema simposium kali ini adalah tropical marine and fisheries resources in a changing environment dan terdiri dari empat sesi, yaitu Ilmu Kelautan, Manajemen Sumberdaya Perikanan, Budidaya, dan Teknologi Pengolahan Ikan.

    “Simposium internasional ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan Seminar Nasional Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan (Semnaskan) UGM yang rutin dilakukan setiap tahun oleh Departemen Perikanan UGM, dan tahun ini merupakan tahun ke-14,” kata Suadi, anggota scientific committe ISMFR Senin (24/7/2017).

    Lebih lanjut: http://ekonomi.kompas.com/read/2017/07/25/050000826/majukan-perikanan-global-departemen-perikanan-ugm-gelar-simposium

  • Diskusi Terbatas: “Mendayagunakan potensi maritim sebagai langkah membangun peradaban bahari.”

    Yogyakarta – Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPR-RI) bekerjasama dengan lembaga mitra di tingkat lokal atau provinsi selenggarakan dikusi terbatas dengan tema “Mendayagunakan Potensi Maritim Langkah Membangun Peradaban Bahari”. Pembicara adalah budayawan M. Sobary, Staf Jurusan Sejarah FIB UGM DR. Abdul Wahid, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY dr. Andung Prihadi, Ahli Kelautan dari UGM DR. Suadi. Moderator La Ode Idris, Wakil Pemimpin Redaksi Majalah Kabare. Hadir Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, anggota DPD-RI, para akademisi, budayawan, aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat Jogja.

    Lebih lanjut: http://kabare.co/welcome/article/menggali-potensi-maritim-dan-peradaban-bahari

  • Urun rembug dalam Diskusi IORA: Samudera Hindia dalam Perspektif DIY

    Seminar Sosialisasi IORA merupakan hasil kerja sama Kementerian Luar Negeri RI, Pemerintah Daerah DIY dan Universitas Gadjah Mada. Seminar menghadirkan empat pembicara, yaitu Riaz Saehu, Dit. KSI ASPASAF, Kemlu RI, yang mengangkat topik “IORA dan Kekuatan Indonesia 2015-2017, Prof. dr. M. Abdul Karim, M.A, UIN Sunan Kalijaga, mengupas “Memahami Pengaruh Budaya dari Negara-Negara Lingkar Samudera Hindia dalam Kontekstualisasi Budaya dan Kearifan Lokal DIY”, Totok Prianamto, Kepala BKPM DIY, mengupas “Menilik Potensi Pengembangan Investasi di DIY dengan Negara Anggota IORA” dan Suadi, Ph.D., yang mengurai tentang “Pemanfaatan Kekayaan Laut di Kawasan Samudera Hindia: Perspektif DIY”.

    Lebih lanjut: https://ugm.ac.id/id/berita/11746-mengoptimalkan.samudera.hindia.untuk.pembangunan.maritim.indonesia

  • Penguatan SDM Kelautan Mutlak Perlu

    Perkembangan industri kelautan dan perikanan yang menggembirakan ini harus diimbangi dengan ketersediaan sumber daya manusia yang handal, agar pertumbuhannya berkelanjutan,” kata Suadi, Akademisi dari Jurusan Perikanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta saat dihubungi Selasa (3/5/2016).

    Lebih lanjut: http://ekonomi.kompas.com/read/2016/05/03/125014626/Industri.Kelautan.dan.Perikanan.Butuh.Banyak.SDM.Handal


    Masyarakat belajar di Perikanan UGM

  • Percepatan Pengembangan Pendidikan Kelautan dan Perikanan *

    Percepatan Pengembangan Pendidikan Kelautan dan Perikanan *

    Pengantar 

    Indonesia seperti menjadi miniatur dari planet biru, karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Wilayah perairan laut Indonesia mencapai 70% dari total luas wilayah negara atau dengan luas perairan mencapai 5,8 juta km2. Indonesia juga memiliki pulau lebih dari 17.000 pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km atau terpanjang ke empat di dunia setelah Rusia, USA, dan Canada. Dengan posisi geografis Indonesia di antara dua benua, dua samudra, dan transisi garis Wallacea wilayah tropis serta wilayah perairan yang luas, Indonesia mempunyai potensi sumberdaya kelautan yang besar dan beragam. Tidak hanya dari sisi sumberdaya, posisi Indonesia di antara dua samudera dan dua benua tersebut juga sangat strategis secara geopolitik. Karena itu, potensi sektor kemaritiman tersebut perlu dioptimalkan untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Apalagi telah disadari bahwa 60% penduduk Indonesia hidup dan tergantung pada sumberdaya dan aktivitas berbasis wilayah pesisir dan laut (Bappenas 2004).

    Wilayah pesisir dan laut sesungguhnya memiliki beragam ekosistem yang sangat subur dan kaya sumberdaya hanyati seperti sumberdaya ikan, ekosistem wetlands, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun maupun sumberdaya non hayati seperti energi, mineral, dan berbagai peninggalan sejarah. Terdapat sebelas sektor ekonomi kematiman yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) industri kelautan, (8) jasa maritim, (9) pengembangan pulau-pulau kecil, (10) potensi sumber daya non konvensional, dan (11) pengembangan sumberdaya manusia (pendidikan, pelatihan, dan penelitian).

    Pemanfaatan potensi kelautan masih dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya karena kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang terbatas dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang masih rendah. Orientasi pembangunan nasional selama ini masih bercokol kuat di wilayah daratan. Di sisi lain, ekosistem pesisir dan laut juga semakin rapuh dan terus terancam oleh berbagai perubahan lingkungan baik lokal maupun global. Di bawah rezim perubahan iklim yang diperkirakan berakibat pada kenaikan permukaan air laut (sea level rise) akan mendorong terjadinya banjir dan instrusi air laut, pengurangan luas daratan yang akan mengancam pemukiman, infrastruktur, dan berbagai livelihood assets di wilayah pesisir. Bahkan diperkirakan sekitar 80% terumbu karang Indonesia akan terancam hilang dalam 30 tahun ke depan karena perubahan iklim tersebut. Rudianto (2010) mengestimasi sekitar 2000 pulau akan hilang dan kawasan-kawasan pertanian produktif akan terendam di masa yang akan datang karena perubahan iklim.

    Pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia sesungguhnya semakin gencar dilakukan, terutama setelah dibentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 1999. Alokasi anggaran untuk pembangunan perikanan dan kelautan bahkan meningkat fantastis dari hanya Rp 70 miliar sebelum tahun 1999, menjadi lebih dari Rp 2 trilium sejak tahun 2004 dan terus meningkat setelah periode tersebut. Seiring dengan besarnya dukungan secara kelembagaan tersebut, dalam dekade terakhir usaha perikanan, yang menjadi salah satu sektor ekonomi kelautan, juga mengalami perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh produksi perikanan yang terus meningkat dengan capaian lebih dari 10 juta ton saat ini (tumbuh mendekatati 10% per tahunnya), dengan pertumbuhan tertinggi pada perikanan budidaya, yaitu mencapai lebih dari 20% per tahun (KKP 2011). Penguatan pembangunan di sektor kelautan dan dan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengguna sumberdaya dan menjawab tuntutan kebutuhan pangan ikani dunia yang terus meningkat. Apalagi FAO (2010) memperkirakan permintaan ikan dunia di masa yang akan datang masih terus meningkat untuk mencukupi kebutuhan nutrisi, khususnya sumber protein dengan kualitas tinggi dan harga terjangkau. Bahkan beberapa proyeksi menunjukkan terdapat kecenderungan permintaan ikan melampaui penyediaanya. Selain itu, FAO Food Outlook 2014, menunjukkan karena pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa serta pertumbuhan negara-negara kekuatan ekonomi baru telah mendorong pertumbuhan pesat permintaan akan ikan, yang diikuti kenaikan cepat harga ikan. Pertumbuhan konsumsi ikan dunia saat ini telah mencapai sekitar 2% per tahun, dengan rata konsumsi 20 kg per kapita.

    Untuk mengelola sektor kemaritiman dibutuhkan para profesional, pendidik, dan peneliti yang memahami dan menguasai kebutuhan, keragaman dan dinamika sektor tersebut. Penguatan pendidikan kemaritiman perlu diperkuat dan dirancang untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia profesional dan mengembangan ilmu dan teknologi berbasis kemaritiman, yang pada akhirnya diharapkan akan memperkuat budaya maritim nusantara. Saat ini Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mengembangan program studi di bidang kelautan dan perikanan baru berjumlah 50 Perguruan tinggi dengan level organisasi yang sangat beragam. Pada masing-masing PTN tersebut, bidang kelautan dan perikanan baru sebatas menjadi laboratorium, program studi atau hanya jurusan. Jumlah Fakultas Kelautan dan Perikanan di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga untuk memanfaatkan potensi yang ada masih sangat kurang (kekurangan lebib besar pada bidang keteknikan, ekonomi, hukum, dan sosial politik kemaritiman). Tidak hanya pada masalah jumlah, produk pendidikan kelautan dan perikanan juga masih tidak kompetitif. Pada industri pelayaran, misalnya, kebutuhannya lulusan tidak pernah dapat dipenuhi apalagi untuk pelayaran internasional karena pelaut Indonesia tidak atau kurang memiliki berbagai keahlian dan keterampilan (practical skills, onboard experience, and communication skills, and personality). Saat ini, Indonesia hanya mampu menghasilkan kelas ratings atau kelas terendah (tanpa sertifikat) dalam struktur karir kepelautan (81,4% kelas rating dan sisanya officer dari total pelaut Indonesia yang mencapai 41.750 pelaut di pasar industri kepelautan dunia) (McLaughlin 2012). Sementara, BIMCO/ISF (2010) mencatat industri kepelautan dunia kekurangan tenaga officer mencapai 13.000 orang. Karena itu, sebagai negara kepulauan pendidikan kelautan menjadi kebutuhan mendasar untuk dikembangkan.

    Kondisi Pendidikan Kelautan dan Perikanan Saat Ini

    Pendidikan kelautan dan perikanan telah ada dikembangkan pada 50an perguruan tinggi negeri (selain perguruan tinggi swasta) dengan berbagai level organisiasi pengelolaan terkait bidang ilmu.

    Secara organisasi, bidang ilmu kelautan dan perikanan yang telah dikembangkan saat ini tergabung dalam program studi atara lain: (1) Manajemen Sumberdaya Perikanan/Perairan, (2) Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, (3) Budidaya Perikanan, (4) Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, (5) Sosial Ekonomi Perikanan, (6) Ilmu Kelautan, dan (7) Teknik (Teknik Perkapalan atau nama lainnya). Kajian lainnya tersebar baik pada level laboratorium maupun tema penelitian. Untuk level institut atau universitas yang secara langsung berorientasi kemaritiman dapat dikatakan tidak ada (hanya 1-2).

    Walaupun, secara kuantitatif perguruan tinggi negeri di bidang kelautan dan perikanan telah ada, tetapi persebarannya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Perguruan-tinggi besar (ex. BHMN yang semuanya ada di Pulau Jawa) hanya sedikit yang mengembangkan bidang kelautan dan perikanan. Selain masalah persebaran, kualitas pendidikan juga sangat timpang antar wilayah.

    Pendidikan kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan yang kurang kuat dengan industri kemaritiman. Proses dan program pembelajaran cenderung terfokus pada konten (content-based curriculum) daripada kompetensi yang diharapkan (competence-based curriculum), termasuk oleh pengguna lulusan. Bahkan, kemunduran atau kemandekan industri perkapalan (terutama perkapalan tradisional), tidak terlepas dari permasalahan pendidikan, selain masalah dukungan kebijakan, kelembagaan, kelangkaan bahan pembuatan kapal, dan permodalan).

    Inovasi dalam pengembangan program pendidikan kelautan dan perikanan sehingga menarik generasi muda untuk mendalaminya masih rendah. Orientasi pendidikan kelautan dan perikanan berbasis kompetensi (yang bersinergi dengan industri) yang diharapkan oleh dunia internasional belum dikembangkan dengan baik. Inovasi tersebut dibutuhkan karena image industri kelautan dan perikanan cenderung kurang baik/negatif (berbahaya, kasar, kotor, keras, dan tidak menyenangkan).

    Kegiatan riset di bidang kelautan dan perikanan telah dilakukan baik oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian kelautan dan perikanan yang dikelola oleh pemerintah (LIPI, BRKP, BPPT, dan Perguruan Tinggi). Kerjasama penelitian antar berbagai lembaga sangat jarang. Pertukaran kegiatan atau mutasi peneliti antar lembaga sulit/tidak dapat dilakukan. Dewan Kelautan Indonesia, sebagai lembaga kordinasi telah telah ada tetapi kurang terkait dengan kebijakan dan kegiatan pendidikan dan penelitian.

    Bidang penelitian kelautan dan perikanan meliputi: (1) perikanan: perikanan tangkap, budidaya, pasca panen dan sosial ekonon perikanan; (2) pariwisata, (3) biotek kelautan dan farmasi, (5) konservasi laut, (6) energi terbarukan, (7) teknik (pantai, perkapalan, dll) serta (8) oseanografi. Penelitian-penelitian kelautan dan perikanan masih terbatas menghasilkan produk siap diproduksi secara masal (hilirisasi riset masih sangat terbatas). Penelitian dasar dan penelitian terapan di bidang kelautan juga masih terbatas dari sisi jumlah.

    Penelitian kelautan dan perikanan cenderung membutuhkan biaya yang besar dan dana penelitian serta sarana prasana penelitian masih sangat terbatas. Perguruan tinggi yang mengelola produk kelautan dan perikanan tidak memiliki kapal riset dan hanya mengandalkan kapal komersial. Kapal riset juga jumlahnya sangat terbatas baik dari segi tonase maupun unit, sehingga daya jangkau penelitian terbatas di laut territorial atau bahkan hanya di wilayah perairan pantai.

    Kerjasama penelitian dengan negara maju telah dilakukan, tetapi posisi Indonesia masih lemah terkait hak atas kelayaan intelektul. Negara-negara majupun semakin protektif dalam hal iptek kelautan dan perikanan. Sehingga hasil penelitian lebih dinikmati oleh mitra asing memanfaatkannya.

    Kompetisi dalam pendidikan dan penelitian kelautan dengan negara lain akan semakin tinggi, seiring dengan terbukanya hubungan antar negara atau antar kawasan dalam penyelenggaraan pendidikan.

    Pengembangan Kapasitas SDM Perikanan dan Kelautan, Pendidikan dan Penelitian

    Investasi untuk peningkatan kesadaran tentang Indonesia sebagai Negara kepulauan. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 25 “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Peningkatan kesadaran salah satunya melalui program pendidikan dari pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi dalam bidang kelautan dan perikanan. Percepatan pengembangan pendidikan kelautan dan perikanan menjadi upaya sistematis untuk peningkatan kesadaran dan upaya pemberdayaan berbagai potensi sumberdaya dan revitalisasi budaya maritim.

    Peningkatan jumlah, sebaran, dan status kelembagaaan serta kualitas penyelenggaraan pendidikan kelautan dan perikanan. Pemetaan kompetensi perguruan tinggi dapat menjadi arahan kebijakan pengembangan keilmuan di masing-masing perguruan tinggi/wilayah.

    Pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat/standar internasional. Pendidikan kemaritiman karena banyak bersentuhan dengan dunia internasional harus memiliki sense, kerangka pengembangan dan berorientasi internasional (internationally-recognised).

    Inovasi pendidikan untuk meningkatkan daya saing (pendidikan dan lulusan) melalui penguatan pendidikan berbasis kompetensi. Keterkaitan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri kemaritiman perlu diformulasikan dengan berbagai pemangku kepentingan. Karena itu, orientasi pendidikan tinggi kelautan dan perikanan memadukan dengan baik kebutuhan pengembangan keilmuan, teknologi dan kebutuhan pasar.

    Penguatan fasilitas dan peralatan, desain kurikulum, metode pembelajaran, tenaga pendidik dan kependidikan yang berkualifikasi, dan suasana akademik yang mendukung untuk menghasilkan lulusan yang sesuai kompetensi.

    Pengembangan bidang-bidang ilmu yang meningkatkan daya tarik anak-anak muda dalam pendidikan kelautan. Bidang-bidang ilmu kelautan dan perikanan seperti teknologi informasi kelautan, ekonomika kelautan, hukum dan politik kelautan, manajemen sumberdaya perikanan, aquaculture, budaya maritim dan teknik kelautan, serta pasca panen hasil perikanan dan bioteknologi kelautan perlu diperkuat dalam pengembangan pendidikan kelautan dan perikanan. Upaya pengembangan bidang ilmu tersebut dapat dilakukan pada berbagai level, baik S1, S2, dan S3

    Pendidikan dan penelitian kelautan dan perikanan diperkuat dengan konsep dan penyelenggaraan pengelolaan pesisir dan laut terpadu.

    Dukungan secara kelembagaan (insentif dan anggaran) untuk penelitian-penelitian dasar dan terapan di bidang kelautan (baik untuk sumberdaya hayati, non hayati, maupun kemasyarakatan). Pendidikan dan penelitian mampu menghasilkan berbagai inovasi (proses maupun produk) maupun jiwa dan praktek kewirausahaan (enterpreneuship).

    Peningkatan sarana prasarana pendidikan dan penelitian kelautan termasuk diantaranya kapal riset dan berbagai simulator untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan.

    Memperkuat dan merevitalisasi atau recreating budaya maritime melalui pendidikan dan budaya industri maritime melalui penguatan kapasitas industri kemaritan.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (dipersiapkan untuk bahan Buku Putih UGM Pembangunan Maritim Indonesia (Oktober 2014).

  • Mencermati RUU Kelautan

    Menurut Suadi, pembangunan kelautan masih membutuhkan operasionalisasi dari berbagai rancangan, perumusan dan pelaksanaan dari delapan kebijakan, antara lain kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, kebijakan pengembangan SDM, kebijakan pengamanan wilayah kedaulatan, kebijakan tatakelola dan kelembagaan, kebijakan peningkatan kesejahteraan, kebijakan ekonomi kelautan, kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan laut, dan kebijakan budaya bahari. “Beberapa kebijakan tersebut, masih memerlukan turunan produk hukum. Sinkronisasi dari berbagai produk hukum turunan menjadi kebutuhan, karena berbagai perangkat peraturan tumpang tindih,” ujar Suadi.

    Lebih lanjut: http://www.dpr.go.id/berita/detail/id/8787/t/UU+Kelautan+Diharapkan+Mampu+Jamin+Tatakelola+Laut+Berkelanjutan

  • Melihat Indonesia dari Laut: Beberapa Catatan Atas RUU Kelautan *

    Melihat Indonesia dari Laut: Beberapa Catatan Atas RUU Kelautan *

    Pentingnya ocean policy bagi Negera Kepulauan

    UUD 1945, BAB IXA tentang Wilayah Negara, pasal 25A menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

    Posisi strategis Indonesia secara geografis (geopolitik dan ekonomi di laut): (1) antara dua benua yaitu Asia dan Australia dan (2) dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta (3) transisi garis Wallacea wilayah tropis. Indonesia dengan posisi tersebut memiliki wilayah yang berbatasan dengan banyak Negara (sepuluh negara tetangga), karenanya Indonesia harus menetapkan batas maritim (pulau dan perairan). Dengan posisi tersebut, Indonesia juga menjadi alur pelayaran internasional, yang berarti kepentingan internasional (yang dilindungi oleh ketentuan internasional) atas perairan laut Indonesia sangat tinggi. Posisi pada wilayah tropis memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumberdaaya hayati maupun non-hayati. Kepentingan internasional yang dilindungi ketentuan internasional, tidak hanya alur pelayaran, juga menyangkut sumberdaya hayati, terutama sumberdaya ikan migrasi (terutama trans-boundary fish species seperti berbagai jenis tuna, yang memililki nilai ekonomi tinggi).

    Potensi sumberdaya kelautan untuk pembangunan ekonomi meliputi tiga dimensi wilayah laut: (1) permukaan laut – industri jasa kelautan (pelayaran, termasuk pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), pariwisata, olah raga, dll); (2) dalam laut atau kolom perairan (sumberdaya ikan dan sumber-sumber pangan lainnya, serta jasa kelautan), dan (3) dasar laut (energi, mineral, terumbu karang, bahan obat, jasa kelautan, dll). Terdapat sebelas sektor ekonomi kelautan yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) jasa maritim, (8) pengembangan pulau-pulau kecil, (9) potensi sumber daya non konvensional, dan (10) pengembangan sumberdaya manusia (pendidikan, pelatihan, dan penelitian).

    Kebijakan kelautan (ocean policy) sangat diperlukan untuk mempertegas: (1) keberpihakan (kedaulatan di laut, memperjuangkan cita-cita perjuangan bangsa, sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan amanat UUD 1945 Pasal 25 dan (2) kepastian (menentukan peta jalan, arah kebijakan dan pembangunan kelautan). Perlu dicatat, naskah Akademik RUU Kelautan menyebutkan: “Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan di bidang kelautan saat ini sudah terbagi habis dan ditangani lebih dari satu kementerian yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda”. Karenanya, laut sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin, 46 tahun silam, sebagai “the tragedy of the commons”.

    RUU Kelautan ini diharapkan dapat menjadi arahan national ocean policy, sehingga sektor kelautan dapat menjadi arus utama pembangunan nasional dan terjadi percepatan pembangunan kelautan nasional, serta terhindarnya tumpang tindih dan konflik kepentingan antara berbagai pemangku kepentingan di laut.

    Catatan terhadap RUU Kelautan

    Bab III RUU menguraikan 7 aspek dasar pengaturan dan pengelolaan di sektor kelautan: (1) wilayah laut; (2) pembangunan kelautan; (3) pengelolaan kelautan; (4) pengembangan kelautan; (5) penataan ruang dan pelindungan lingkungan laut; (6) penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut; dan (7) tata kelola dan kelembagaan. Terkait 7 aspek tersebut apakah telah diatur dalam tata peraturan perundangan lain dan bagaimana posisinya dalam hirarki sistem perundangan kita perlu dicermati. Terminologi RUU dan undang-undang yang telah ada perlu disesuaikan, sehingga tidak menimbulkan tafsir beragam. Sebagai contoh: terminologi yurisdiksi nasional (dalam RUU, pasal 4) perlu diselaraskan dengan terminologi Wilayah Yurisdiksi dalam Undang-Undang No. 43/2008 tentang Wilayah Negara (Pasal 1 dan Pasal 8). RUU ini telah memberikan dasar hukum bagi pengelolaan perairan di zona tambahan (pasal 5), di laut lepas maupun di kawasan dasar laut internasional (RUU menyebut sebagai “laut yang berada di luar yurisdiksi nasional”, pada pasal 6).

    Pembangunan kelautan masih membutuhkan operasionalisasi dari berbagai rancangan, perumusan dan pelaksanaan dari 8 kebijakan (Pasal 8): (1) kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, (2) kebijakan pengembangan sumber daya manusia, (3) kebijakan pengamanan wilayah kedaulatan, (4) kebijakan tata kelola dan kelembagaan, (5) kebijakan peningkatan kesejahteraan, (6) kebijakan ekonomi kelautan, (7) kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan laut, dan (8) kebijakan budaya bahari. Berbagai kebijakan tersebut masih memerlukan turunan produk hukum (ex. Peraturan Pemerintah). Sinkronisasi dengan produk hukum yang telah ada dan turunan produk hukumnya menjadi kebutuhan, karena berbagai perangkat peraturan tumpang tindih (seperti ditegaskan dalam Naskah Akademik). Prioritas kebijakan kelautan, dalam rangka mendorong penguatan pembangunan kelautan minimal dua aspek: (1) budaya bahari, salah satunya melalui penguatan sistem pendidikan dan penelitian yang berorientasi kelautan (ex. pendidikan tinggi kelautan yang lebih tersedia dan dukungan penelitian bidang kelautan), dan (2) pengembangan industri kelautan (melalui pemanfaatan sumberdaya konvensional, nonkonvensional, maupun jasa kelautan). RUU telah memberikan kepastian hukum dan dukungan politik anggaran untuk menjadikan kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi bangsa, baik di tingkat pusat maupun daerah (pasal 10).

    Bab IV, Bagian Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan (Pagargraf 1 sampai 5) menjelaskan lima sumberdaya kelautan dan pemanfaatannya, yaitu: (1) Perikanan (Pasal 11 sampai Pasal 15), (2) Energi dan Sumber Daya Mineral (Pasal 16 dan 17), (3) Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 18), (4) Hutan Bakau (Pasal 19), dan (5) Sumber Daya Alam Nonkonvensional belum (Pasal 20 dan 21). Definisi sumberdaya yang dimaksud perlu dijelaskan dalam Penjelasan sehingga tidak tumpang tindih satu dengan yang lain. Sebagai contoh: Undang-Undang Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Undang-Undang 1/2014, pasal 1 menyebutkan: “Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain…dst.” Terminologi hutan bakau (Pasal 19) perlu disesuaikan agar tidak dimaknai sebagai bakau (dari marga Rhizopora saja), tetapi ekosistem/hutan mangrove. Selain lima sumberdaya yang dimaksud dalam RUU, sumberdaya terumbu karang, perlu diwadahi dalam RUU ini karena terumbu karang menjadi sumberdaya yang sangat penting dan menjadi perhatian dunia saat ini. Indonesia telah menjadi inisiator bagi terbentuknya Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) bersama lima negara lain pada tahun 2009.

    Dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan perlu mempertimbangan dinamika tata kelola di tingkat internasional. Sebagai contoh, pada bagian Perikanan (pasal 11-15), pengelolaan sumberdaya ikan-ikan tertentu yang bermigrasi lintas Negara (ex. Tuna) semakin dominan dilakukan oleh komunitas masyarakat dunia. RUU perlu mempertegas bahwa Indonesia harus berpartisipasi aktif dan mengklaim hak atas sumberdaya dalam tata kelola tersebut untuk mendapatkan manfaat lebih dari sumberdaya ikan (terkait permasalahan pada uraian ini salah satu contoh adalah: CCSBT menetapkan kuota Indonesia hanya 700-750 ton per tahun sementara Taiwan dan Korea Selatan lebih dari 1000 ton dan Australia serta Jepang mencapai 3400-5500 ton per tahun untuk tuna sirip biru dari selatan atau SBT/southern bluefin tuna, salah satu ikan termahal saat ini, yang habitatnya juga sebagian ada di Indonesia è diplomasi laut). Pengelolaan sumberdaya perikanan juga perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia.

    Pengelolaan dan pengembangan industri kelautan seperti dijelaskan pada Bab IV Bagian Kedua (Pengusahaan Sumberdaya Kelautan) sangat penting karena mempertegas pentingnya integrasi pengembangan industri kelautan dengan kebijakan pengelolaan dan pengembangan industri nasional. Dua isu terkait industri kelautan, yaitu: pertama, definisi industri kelautan dan industri maritim perlu dirumuskan secara lebih jelas dan disepakati (definisi tersebut perlu dimasukan pada Bagian Penjelasan). Sebagai pembanding, pengantar Blackwell companions to contemporary economics, menuliskan “maritime economics is the economics of maritime transportation, i.e., an economic analysis of its users (shippers and passengers), primary service providers (transportation carriers and ports), secondary service providers (e.g., ship pilots and towage, ship agents, stevedores and freight forwarders) and resources (e.g., labor, infrastructure and mobile capital such as ships)” (Talley (), 2012). Industri kemaritiman karenanya cenderung memiliki makna industri terkait transportasi dan perhubungan laut serta jasa-jasanya. Disisi lain, Surıs-Regueiro et al. (2013), dalam tulisannya berjudul “Marine economy: A proposal for its definition in the European Union” secara rinci menjelaskan klasifikasi sektor ekonomi kelautan dan indutrinya di Eropa. Berdasarkan Surıs-Regueiro terdapat 9 sektor ekonomi kelautan, yang selanjutnya dibagi kedalam 32 sub-kelompok industri kelautan. Kelompok industri selanjutnya dibagi tiga, yaitu: (1) industri yang aktivitasnya sepenuhnya di laut (activities completely marine), aktivitas utama di laut (activities mainly marine), dan aktivitas sebagian di laut (activities partially marine). Kedua, pengelompokkan industri dalam RUU (pasal 9 dan pasal 22-24) telah menjelaskan tiga sub kelompok industri kelautan, yaitu: (1) industri bioteknologi, (2) industri maritim (meliputi: galangan kapal; pengadaan dan pembuatan suku cadang; peralatan kapal; dan perawatan kapal), dan (3) jasa maritim (meliputi: pendidikan dan pelatihan; pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam; pengerukan dan pembersihan alur pelayaran; reklamasi; pertolongan dan pencarian; remediasi lingkungan; jasa konstruksi; dan angkutan sungai dan pulau). Pengelompokkan industri tersebut belum secara utuh mengambarkan dan menyatukan sektor kelautan yang ada. Sebagai contoh: walaupun Perikanan telah dijabarkan dalam Pasal 11 sampai Pasal 15, dan Wisata Bahari pada Pasal 25, tetapi berdasarkan uraian industri kelautan (Pasal 22 sampai Pasal 24) keduanya tidak masuk dalam kategori industri kelautan. Padahal, keduanya termasuk dalam kelompok industri kelautan.

    Terkait Pengembangan Kelautan (Bab VII), khususnya Bagian Kesatu (Pasal 29), Sumber Daya Manusia, RUU telah menjelaskan pentingnya pembangunan pendidikan dan kesehatan. Aspek ini sangat penting bagi sektor kelautan. Jika fokus pada sektor kelautan menjadi prioritas saat ini dan ke depan, strategi pengembangan SDM perlu lebih dapat operasionalkan. Sebagai gambaran: Pendidikan kelautan dan perikanan telah ada dikembangkan pada 50an perguruan tinggi negeri (selain perguruan tinggi swasta) dengan berbagai level organisiasi pengelolaan terkait bidang ilmu. Saat ini terdapat 119 Program Studi Perikanan, 46 Prodi Kelautan, 26 Prodi Kepelayaran (di PTN dan PTS). Secara organisasi, bidang ilmu kelautan dan perikanan yang telah dikembangkan saat ini tergabung dalam program studi atara lain: (1) Manajemen Sumberdaya Perikanan/Perairan, (2) Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, (3) Budidaya Perikanan, (4) Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, (5) Sosial Ekonomi Perikanan, (6) Ilmu Kelautan, dan (7) Teknik (Teknik Perkapalan atau nama lainnya) serta (8) Kepelayaran, dan nama yang lainnya. Perguruan tinggi atau Fakultas Kelautan perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dan menjadi kewajiban yang diatur dalam RUU, termasuk di perguruan-perguruan tinggi besar dan ternama, sehingga dapat menjadi bagian strategi menuju Budaya Bahari.

    Terkait Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, RUU memberikan landasan yuridis yang penting terkait pengembangan IPTEK Kelautan. Pasal 33 juga telah mengatur peran pemerintah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing, yaitu dengan melaporkan hasil penelitian kepada negara. RUU perlu mempertegas peran Negara dalam mengatur kegiatan riset, sehingga tidak hanya melaporkan hasil. Butir 11 UU 17/1985 mengamanatkan: “….kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut Teritorial atau Perairan Kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanakan dalam Laut Teritorial/Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.”

    Aspek Penataan Ruang dan Pelindungan Lingkungan Laut menjadi aspek yang sangat penting dalam tata kelola laut sebagai milik Negara (milik bersama). Penataan tersebut telah menyangkut bagian permukaan laut, kolom laut, dan dasar laut untuk menghindari berbagai konflik kepentingan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah memberikan 4 amanat terkait pengelolaan wilayah pesisir, yang meliputi Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi, tetapi hanya beberapa daerah saja memiliki rencana-rencana tersebut. Bab VIII RUU ini perlu secara sinergis dirumuskan dengan perundangan yang sebelumnya ada. Butir 3, Ruang Lingkup, Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 menguraikan: “Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan”. Karenanya, wilayah perairan yang belum tercangkup di dalam peraturan yang ada perlu diatur tatagunanya.

    Penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan (Bab IX) telah diuraikan dengan prinsip, terkoordinasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali. Lembaga koordinasi tersebut perlu dijamin mampu dan dapat melakukan fungsinya.

    Peran Serta Masyarakat telah dijelaskan dalam Bab XI, yang meliputi: (a) partisipasi dalam pelestarian nilai-nilai budaya, wawasan bahari, dan merevitalisasi hukum adat dan kearifan local di bidang kelautan; atau (b) partisipasi dalam pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi. Ketegasan tentang Pengakuan dan Penetapan Hak Masyarakat atas Sumberdaya, terutama hak adat perlu secara eksplisit diatur.

    Penutup

    RUU Kelautan sangat penting untuk memberi landasan yuridis, menjadi payung dan penuntun arah kebijakan kelautan nasional. RUU ini telah dihasilkan dari kajian akademis yang komprehensif, namun demikian perlu secara seksama memperhatikan berbagai perangkat perundangan yang ada. Hal ini penting karena seperti telah diuraikan dokumen Naskah Akademik, terdapat banyaknya perangkat perundangan yang terkait kelaut dan laut seolah “terbagi habis” dengan adanya banyak ketentuan tersebut.

    Undang-Undang Kelautan sebagaimana diharapkan banyak pihak harus mampu menjamin tatakelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan, memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan (ocean economy), dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang segani.

    Mengatur kewenangan yang sangat banyak dan tumpang tindih di sektor kelautan membutuhkan lembaga koordinasi yang kuat dan tangguh. Lembaga yang secara operasional dapat bekerja dan mengatur dengan baik menjadi kebutuhan. Lembaga koordinasi tersebut juga sangat penting dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut.

    Semoga Indonesia semakin jaya dan disegani di laut.

    Daftar Rujukan

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara

    Talley, W.K., (ed.), 2012. The Blackwell companion to maritime economics. Blackwell Publishing Ltd.

    Surı´s-Regueiro, J.C., M.D. Garza-Gil, M.M. Varela-Lafuente, 2013. Marine economy: A proposal for its definition in the European Union. Marine Policy 42: 111–124.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (disampaikan pada Konsultasi Publik & Jaring Pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 18 September 2014 di UGM).

  • Daulat Pangan dari Sumberdaya Perikanan Laut *

    Daulat Pangan dari Sumberdaya Perikanan Laut *

    Pengantar

    Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan sumber protein utama bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.

    Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan indirect human consumption seperti bahan baku pakan ikan dan ternak.

    Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam pecaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara, untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang luas dan sumberdaya ikan yang kaya yang belum dimanfaatkan secara optimal.

    Total produksi ikan Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari hanya 7 juta ton pada tahun 2006 menjadi lebih dari 11 juta ton saat ini. Peran perikanan budidaya semakin besar, bahkan sumbangan produksinya telah setara atau bahkan lebih dari perikanan tangkap saat ini. Kecenderungan peningkatan kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang, dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.

    Peningkatan cepat produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat. Komsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012, dengan total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan ikan ke depan. Josupeit dan Frans (2003) memperkirakan permintaan ikan untuk konsumsi langsung (direct consumption) pada tahun 2030, mencapai lebih dari 120 juta ton atau 3 juta ton lebih tinggi dari jumlah saat ini. Melihat perkembangan permintaan ikan yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat, maka akan terjadi defisiensi suplai ikan ke depan.

    Perikanan merupakan komoditas yang kegiatan produksinya sangat berorientasi pasar. Total nilai ekspor produk perikanan dunia mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus menaik (2012-2013 naik 5%). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) terus mengalami peningkatan, yaitu dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan mencapai US$35.3 miliar pada tahun 2012. Perkembangan nilai perdagangan komoditas perikanan tersebut jauh melalmpaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula, pisang, teh, tembakau, beras, daging dan susu). Kecenderungan yang sama juga dapat dilihat pada trend ekpor produk pertanian Indonesia, yang menunjukkan ekpor perikanan yang melampaui eskpor komoditas pangan pertanian lainnya.

    Seiring dengan permintaan ikan yang terus meningkat, berbagai data juga menunjukkan harga komoditas perikanan (baik segar maupun olahan) juga terus meningkat, bahkan melampaui harga komoditas pertanian lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun 2002-2004 dengan nilai 100, FAO Fish Price Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun 2012-2013) (FAO 2014). Peningatan harga tersebut berkait erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi baik produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokan.

    Kemampuan memproduksi ikan untuk kebutuhan dalam negeri menjadi satu faktor penting untuk menjaga ketahanan/kedaulatan pangan, baik ikan sebagai sumber protein utama maupun produk perikanan lainnya sebagai sumber karbohidrat seperti rumput laut. Adanya kecenderungan impor ikan dengan laju pertumbuhan yang meningkat dalam decade terakhir, khususnya ikan untuk diolah lebih lanjut oleh industry pengolahan memberikan sinyal pentingnya pengelolaan sumber perikanan untuk menjaga kedaulatan pangan protein nasional.

    Produksi ikan dapat dilakukan melalui dua kegiatan utama, yaitu (1) perikanan tangkap dan (2) perikanan budidaya. Laut menyediakan ruang produksi yang sangat luas baik untuk kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya.

     

    Permasalahan Pengelolaan Perikanan

    Peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitatif produksinya mencapai lebih dari separuh total produksi ikan di Indonesia. Di sisi lain, penurunan laju produksi ikan dan habitatnya semakin meningkat, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Trade-off antara kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Perikanan sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin sebagai “the tragedy of the commons”.

    Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal dan terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya baik berdasarkan komoditas maupun wilayah. Armada perikanan Indonesia juga sangat timpang, dengan 70% adalah armada perikanan tradisional (lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan hanya mengandalkan kapal-kapal kecil). Kapal ikan berukuran di atas 30 GT masih sangat terbatas, apalagi kapal ikan di atas 100GT. Pelabuhan perikanan sebagai sarana pendaratan ikan juga sangat terbatas. Sehingga perluasan usaha perikanan di lepas pantai (luar 12 mil dan ZEEI) masih sangat terbatas.

    Maraknya praktek perikanan IUU (ilegal, unreported and uregulated fishing) telah merugikan negara sangat besar (diperkirakan dengan nilai mencapai lebih dari Rp30 triliun) dan mengancam ketersediaan sumberdaya ikan untuk masa yang akan datang.

    Konflik perikanan juga menjadi berita setelah di era 1970an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.

    SDM perikanan masih sangat lemah, dengan tingkat pendidikan 70% hanya SD atau tidak lulus SD. Perguruan tinggi yang memiliki fakultas kelautan dan perikanan juga masih terbatas. Pada saat bersamaan ipteks yang adaptif (lokasi, sosial dan ekonomi) juga masih terbatas.

    Upaya untuk Pengelolaan Perikanan

    Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok Agraria No. 5/1960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (pasal 47), walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak ada. Belajar dari pengalaman pengelolaan perikanan di Negara lain sepeti Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan program pengkayaan stok ikan. Pengakuan hak pengelolaan sumberdaya perikana dan penguatan intitusi local (masyarakat atau masyarakat adat) akan memberikan ruang bagi partisiapasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan.

    Orientasi pembangunan perikanan perlu segera berubah dari kebiasaan mengejar target dan berorientasi ke luar kearah perbaikan kualitas hidup nelayan dan penyelamatan sumberdaya ikan. Perpaduan berbagai pola pengelolaan dengan demikian dibutuhkan. Pada tingkat lokal, pola pengelolaan berbasis masyarakat dapat diadopsi atau lebih diberdayakan. Pengakuan hak atas sumberdaya ikan dalam hal ini diperlukan atau dengan kata lain akses terhadap sumberdaya ikan oleh siapapun (open access) sudah saatnya dibatasi. Upaya ini perlu dipadukan dengan pengembangan industri pembenihan ikan untuk kebutuhan pengkayaan sumberdaya ikan dan pengembangan industri budidaya. Kerjasama antara daerah dan regional juga juga perlu diperkuat untuk menghindari berbagai konflik perikanan.

    Pemerintah mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan (”total allowable catch”, TAC) melalui SK Menteri Pertanian No. 473/Kpts/IK.250/6/1985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie (ZEEI). Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perikanan yang baru No. 34/2004 juncto UU 45/2009. Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 9/1985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.

    Seiring dengan semakin menipisnya stok sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi perlu diintroduksi. Produksi masal benih ikan menjadi kunci pengembangan program pengkayaan stok dan harapan untuk ini sangat terbuka dengan keberhasilan produksi benih jenis-jenis ikan yang terancam misalnya kerapu. Keberhasilan perbenihan juga mejadi kunci pengembangan budidaya, walaupun saat ini budidaya sedang berbalik ke spesies introduksi misalnya udang vannamei. Upaya ini dipadukan dengan upaya rehabilitasi habitat ikan yang rusak karena berbagai aktivitas manusia.

    Pengembangan secara berkelanjutan industry budidaya ikan, yang sinergis dengan industri penangkapan, untuk mencukupi kebutuhan pangan dan indutri. Pendekatan pengembangan kegiatan produksi perikanan berbasis ekosistem (berbasis penataan ruang) perlu diintroduksi dan diperkuat untuk mengurangi sekat-sekat administrative dalam pengelolaan.

    Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan.

    Untuk meningkatkan kemampuan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai sumber pangan bergizi, mata pencaharian, dan lapangan kerja diperlukan berbagai upaya strategis melalui (1) penguatan industry perikanan nasional melalui penguatan armada perikanan (percepatan perubahan struktur armada perikanan yang timpang), sarana prasarana perikanan dasar (pendaratan, pelabuhan, listrik, air, es, dan BBM), dukungan pembiayaan, dan pengembangan SDM. Upaya ini juga menjadi bagian dari upaya mengurangi atau bahkan menghentikan impor pangan, termasuk ikan; (2) politik perikanan/kelautan termasuk diantara anggaran untuk pengembangan industri perikanan secara berkelanjutan, dengan penguatan ekonomi biru; (3) insentif permodalan, kelembagaan dan pemasaran untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan; (4) penguatan sistem logisitik perikanan nasional, (5) jaminan kepastian hukum dan keamanan usaha, termasuk diantaranya adalah tata ruang laut yang lebih jelas; (6) pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pendekatan ekonomi biru.

    Perikanan Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang besar dengan potensi sumberdaya yang ada, tetapi masih lemah dalam keunggulan kompetitif. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah penguatan kapasitas SDM dan teknologi kelautan dan perikanan. Industri yang bernilai tambah (baik produk perikanan maupun produk kelautan lainnya termasuk bioteknologi kelautan) dalam perikanan hanya dapat dikembangnkan jika didukung ketersediaan teknologi dan SDM yang memadai, selain factor-faktor lain yang telah disebutkan sebelumnya. Daya saing yang rendah juga karena jiwa enterpreneuship yang lemah.

    Keterlibatan masyarakat internasional melalui berbagai lembaga internasional (contoh: IMO, IOTC, CCSBT) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kuat mempengaruhi pola pengelolaan industri perikanan laut kita. Walaupun Indonesia menjadi habitat (tempat bereproduksi dan beruaya) sumberdaya ikan ekonomis penting, tetapi belum tentu dapat menikmatinya karena berbagai batasan oleh regulasi internasional. Sebagai contoh, dalam pengelolaan tuna sirip biru dari selatan (SBT), CCSBT hanya memberi kuota Indonesia kurang lebih 800 ton per tahun, di bawah kuota Korea Selatan dan Taiwan yang masing-masing lebih dari 1.000 ton per tahun atau Jepang dan Australia lebih dari 3000 ton per tahun. Karena itu, politik perikanan (termasuk diantaranya loby dan adu argumentasi) menjadi sesuatu yang harus diperkuat dan bahkan dikuasai oleh Indonesia.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (dipersiapkan untuk bahan Buku Putih UGM Pembangunan Maritim Indonesia (Agustus 2014).