Kawasan Ekonomi Garam

Tambak Garam di Kabupaten Bima, NTB

Awal minggu ini (5/11) mendapat undangan untuk berdiskusi pergaraman nasional, di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diskusi dihadiri oleh pemda-pemda penghasil garam dan melaporkan status usaha garam di daerah masing-masing. 

Bagi pembelajar kelautan dan perikanan akan sangat memahami bahwa garam itu sudah berubah dan berkembang jauh, atau berevolusi, dari sekadar penyedap rasa masakan, menjadi komoditas strategis dalam dunia usaha. Dikatakan strategis karena garam selain menjadi barang konsumsi manusia, juga menjadi bahan baku aneka industri, dan cepat atau lambat barangkali menjadi komoditas politik (pastinya pergaraman akan menjadi fokus perhatian ketika isunya sekelas isu perberasan).

Kebutuhan akan garam terus meningkat, tapi suplai dalam negeri sering tidak menentu baik dari sisi jumlah apalagi kualitas garam, dan karenanya impor selalu jadi pilihan. Kebijakan impor garam bahkan sudah mulai sering mengundang perdebatan, bahkan di antara pengambil kebijakan. Awal tahun 2018 ini, kita membaca dua rekomendasi angka yang berbeda antar kementerian teknis terkait impor garam, sampai akhirnya PP No. 9/2018 menetapkan impor garam 2.370.054,45 ton.

Selain kebutuhan akan kuantitas, kualitas garam juga sangat bermasalah. Mutu garam rakyat masih memerlukan proses pengolahan yang sangat memadai sehingga memenuhi stadar kebutuhan industri (misal kadar NaCl > 94%). Industri pengolahan garam masih sangat terbatas jumlahnya, salah satu diantaranya karena untuk memenuhi kualitas tersebut, dan tentunya juga terkait daya saing harga. Indonesia kini penjadi pengimpor nomor empat garam di dunia (6,1% total impor garam dunia), dengan nilai mencapai US$232,7 million. Australia menjadi penyumbang garam impor di tanah air, bahkan dengan kontribusi lebih dari 80% total impor Indonesia (sumbangan Australia di pasar ekspor dunia hanya 0.1%, impor Indonesia dari Australia tumbuh 19% per tahun).

Jawa penghasil utama garam nasional, menyumbang 89,6% produksi garam tahun 2015. Selanjutnya, Nusa Tenggara (6%) dan Sulawesi menyumbang 3,3%.Produksi garam nasional cenderung berfluktuasi. Capaian tertinggi dalam 5 tahun terakhir pada tahun 2015 (2,9 juta ton), namun anjlok pada tahun berikutnya karena sulitnya memanen garam disebabkan faktor cuaca, bahkan hanya mencapai 144.000 ton tahun 2016. Sampai kini, capaian produksi nasional dan impor garam selalu hampir sama nilainya, karena kebutuhan lebih dari 4 juta ton dan produksi hanya 2 juta ton.

Penurunan secara gradual ketergantungan pada impor garam dapat dilakukan dengan revitalisasi usaha pergaraman rakyat dan pengembangan kawasan ekonomi garam baru.
Revitalisasi usaha pegaramaman perlu dikaji, misal melalui pengelolaan berbasis hamparan (skala suaha perlu dihitung) yang dipadukan dengan pengembangan usaha pasca produksi baik yang menyangkut pergudangan, pengolahan garam, maupun distribusi dan logisitik.

Sekilas membuat slide presentasi terkait ini. Silakan jika berminat bisa mengakses kesini.