Pengembangan Jogja Seed Center Perikanan di DIY

Usaha perikanan dunia masih mengandalkan perikanan tangkap baik di perairan umum maupun perairan laut. Produksi perikanan tangkap diperkirakan mencapai 92,0 juta ton (64% dari total produksi), sedangkan budidaya ikan menyumbang 51,7 juta ton. Namun demikian, di berbagai belahan dunia kegiatan perikanan tangkap menghadapi permasalahan ekploitasi sumberdaya secara berlebihan (FAO 2008). Butcher (2004) mengambarkan kondisi ini dengan istilah the closing of the frontier, untuk menunjukkan bahkan lahan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap, khususnya di Asia Tenggara sudah semakin terbatas. Kegiatan perikanan di wilayah perairan nusantara juga mengalami nasib serupa seperti ditunjukkan dengan semakin menurunnya laju pertumbuhan produksi, produktivitas perikanan, dan kerusakan habitat dalam beberapa dekade terakhir (Suadi 2008). Karena itu, dengan semakin menipisnya suplai ikan dari kegiatan penangkapan, pengembangan perikanan budidaya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ikan dunia yang terus meningkat yang dipekirakan akan mendekati angka 250 juta ton di tahun 2030 mendatang (Josupeit dan Franz 2003).

Ketersediaan benih ikan, baik dalam jumlah maupun kualitas yang memadai, merupakan kunci utama keberhasilan usaha perikanan budidaya. Karena itu, sangatlah tepat Laporan Master Plan JSC Provinsi DIY (2008) menyebut “”tanpa benih aktivitas budidaya tak dapat berjalan”. Tidak hanya untuk kegiatan produksi ikan melalui budidaya, kemampuan memproduksi benih yang memadai juga menentukan keberhasilan upaya konservasi sumberdaya ikan, khususnya melalui kegiatan pengkayaan stok sumberdaya ikan (restocking atau stock enhancement). Kegiatan restocking menjadi sangat penting dilakukan saat ini karena ekploitasi berlebihan dan kerusakan habitat telah menyebabkan deplesi sumberdaya ikan, sehingga diharapkan melalui kegiatan tersebut sumberdaya dapat dipulihkan kembali. Selain itu, seiring dengan meningkatnya minat khusus seperti pemancingan, maka penebaran benih ikan di perairan juga menjadi kebutuhan untuk mendukung berkembangnya kegiatan tersebut. Karena itu, pengembangan perbenihan ikan memiliki tiga fungsi utama yaitu menfasilitasi pengembangan kegiatan: (1) budidaya ikan, (2) konservasi sumberdaya ikan, dan (3) minat khusus seperti hobi dan sport fishing. Dengan demikian, pilihan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengembangkan Jogja Seed Center (JSC) Perikanan sangat tepat untuk pengembangan usaha, peningkatan konsumsi ikan, dan pembangunan wilayah di masa yang akan datang.

Potensi pengembangan perikanan di DIY masih terbuka lebar. Dari sisi pasar, kegiatan perikanan saat ini belum mampu memenuhi permintaan ikan yang terus meningkat. Sementara, pemanfataan sumberdaya perikanan yang ada masih terbatas. Pemerintah melaui Program Minapolitan telah menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai lebih dari 3 kali produksi saat ini pada tahun 2014. Target utama peningkatan produksi diharapkan dari perikanan budidaya, karena itu diperlukan ketersediaan benih dalam jumlah besar untuk tujuan tersebut. Sayangnya, unit-unit perbenihan ikan nasional dan daerah (UPT dan UPTD) kemampuan produksi induk dan benihnya masih sangat rendah saat ini (hanya 53 % dari kapasitas produksi total). Di Provinsi DIY, kontribusi UPTD perbenihan hanya 2% dari total produksi benih DIY sekitar 830 juta ekor atau 98% dihasilkan oleh unit perbenihan rakyat (UPR). Permintaan benih ikan di DIY sampai saat ini masih sangat tinggi. Para pembenih ikan bahkan tidak mampu mencukupi permintaan benih yang terus meningkat dari waktu ke waktu baik dari dalam maupun luar wilayah DIY.

Beberapa keuntungan pengembangan perbenihan ikan diantaranta, yaitu: (1) dapat dilakukan di lahan sempit/terbatas dan lahan-lahan marginal, (2) cashflow yang berputar lebih cepat karena jangka waktu produksi yang pendek, (3) produk (ukuran benih) yang dihasilkan dan diperdagangkan beragam, dan (4) pelaku usaha yang terlibat cukup banyak dan didominasi usaha perbenihan rakyat. Pengembangan usaha ini juga menghasilkan berbagai inovasi sosial, seperti (5) kegiatan usaha berbasis kelompok dan (6) terbangunnya jejaring sosial dan bisnis yang luas baik antara sesama pembenih ikan maupun dengan konsumen benih yang berada di dalam maupun di luar wilayah DIY, bahkan luar pulau Jawa (living with and in network). Keragaman produk yang dihasilkan oleh kegiatan perbenihan telah menggairahkan perekonomian desa. Sebagai ilustrasi, pembenih lele di Kecamatan Ponjong, Gunungkidul, tidak saja berhasil mengembangkan kegiatan usaha dalam kelompok (kegiatan berbasis kelompok), tetapi kelompok tersebut berhasil menyebarkan kegiatan pembenihan untuk masyarakat di luar kelompok di dalam wilayah Gunungkidul. Benih lele yang dihasilkan oleh kelompok di Ponjong dibesarkan hanya pada ukuran 1-3 cm, lalu dijual ke kelompok lainnya di luar Ponjong. Setelah benih dibesarkan mencapai ukuran 5-7 cm, benih kembali dibeli oleh pembenih di Ponjong untuk kemudian dipasarkan untuk kegiatan pembesaran baik di Gunungkidul dan DIY maupun di wilayah lain di luar DIY. Contoh lain, pembenih Gurami di Kulon Progo telah merasakan manfaat besar dari peralihan kegiatan usaha yang mereka lakukan sejak tiga tahun yang lalu dari kegiatan pembesaran menjadi pembenihan. Pembenih gurami mampu memperoleh beberapa keuntungan, tidak hanya keuntungan finansial yang lebih tinggi dibandingkan pembesaran, tetapi juga keragaman produk dan perluasan jaringan usaha yang cukup berhasil (pembenih menyebut perluasan usaha melalui jaringan silaturahmi).

Walaupun kegiatan perbenihan ikan di DIY terus mengalami pertumbuhan yang positif, namun beberapa tantangan perlu diantisipasi. Ketersediaan induk baik dari segi jumlah maupun kualitas masih dirasakan menjadi masalah. Ketersediaan induk berkualitas tentu saja akan menentukkan keberhasilan produksi benih ikan bermutu. Pada saat bersamaan ketersediaan pakan alami, seperti cacing sutra (Tubifex xp), yang menjadi fase kritis (bottleneck) kegiatan perbenihan masih belum ditemukan jalan keluarnya karena selama ini pengadaan pakan tersebut hanya mengandalkan pengambilan dari alam. Dua contoh tersebut sesungguhnya secara eksplisit menekankan pentingnya riset dasar tentang genetika dan pemuliaan serta upaya budidaya pakan alami. Air juga menjadi isu penting bagi pengembangan usaha perbenihan dan usaha perikanan secara umum di beberapa wilayah. Perebutan pemanfaatan air terjadi antara usaha perikanan dan pertanian serta kebutuhan rumah tangga seperti yang terjadi di Minggir dan Moyudan, Sleman yang memanfaatkan saluran Selokan Mataram sebagai sumber air utama kegiatan budidaya ikan. Di samping itu, perlu disadari bahwa walaupun kegiatan pembenihan merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan, tetapi juga memiliki resiko kegagalan yang juga tinggi.

Pengembangan kegiatan pembenihan ikan ke depan membutuhkan keterlibatan tiga pemangku kepentingan utama: (1) pelaku di sektor publik yang meliputi pemerintah dan termasuk di dalamanya perguruan tinggi dan lembaga riset, (2) pelaku di sektor swasta, dan (3) komunitas yaitu representasi dari para pelaku usaha perbenihan seperti pembenih ikan berpengalaman. Ketiga komponen tersebut diharapkan dapat mendesain secara bersama berbagai kegiatan pengembangan pembenihan ikan di DIY. Terdapat tiga kegiatan pokok yang dapat dikembangkan: (1) pengembangan sistem informasi pembenihan yang memberikan informasi tentang peta dan zonasi perbenihan ikan, agroekologi kegiatan perbenihan, pelaku usaha, dan pemasaran; (2) sinergi kegiatan riset dan pengembangan serta penghiliran hasil riset perbenihan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk diseminasikan dalam berbagai program pendidikan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat; dan (3) pengembangan varietas dan komoditas baru. Pada akhirnya, melalui pengembangan tersebut diharapkan dapat terproduksi benih yang sesuai baik dari sisi jumlah maupun mutu guna peningkatan produksi hasil perikanan dan pengembangan berbagai kegiatan perikanan lainnya seperti penebaran di perairan umum, konservasi dan minat khusus.

Suadi
Jurusan Perikanan UGM
suadi@ugm.ac.id