Masyarakat dan Sumberdaya Kepemilikan Bersama
Pengumuman penghargaan Nobel Ekonomi tahun ini memberikan dua kejutan. Pertama, ini merupakan kali pertama dimenangkan oleh perempuan, Elinor Ostrom dari Indiana University, USA. Kedua, tidak sepenuhnya jatuh ke tangan ekonom seperti Oliver E. Williamson salah satu dari dua penerima nobel, tetapi berbagi dengan Ostrom yang mendalami ilmu politik. Ostrom telah berkontribusi besar dalam kajian pengelolaan sumberdaya kepemilikan bersama (the commons atau common-pool resources, CPRs) seperti ikan, hutan, aliran air, dan laut. Ratusan publikasi telah ia hasilkan baik secara individu maupun bersama, baik berdasarkan studi kasus maupun eksperimen di laboratorium dengan teori permainan (game theory). Bukunya berjudul “Governing the commons: the evolution of institutions for collective action” yang dipublikasikan pada tahun 1990, menjadi rujukan utama pembelajar CPRs di seluruh belahan dunia.
Apa sesungguhnya CPRs? Sumberdaya ini memiliki dua karakter utama, yaitu: (1) kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatannya (exclusion problems), dan (2) kesulitan membagi rata sumberdaya atau keuntungan darinya (subtractability problems). Aksi penumpang gelap (free riding) akan upaya yang dilakukan oleh pihak lain dan persaingan dalam pemanfaatannya (rivalry of extraction) berimbas pada pemanfaatan secara berlebihan dan degradasi sumberdaya. Dilema ini dilabeli dengan berbagai istilah dan yang sangat terkenal adalah “The tragedy of the commons” yang ditulis oleh Garrett Hardin dalam majalah Science pada tahun 1968.
Tulisan Hardin memberikan pengaruh luas dan kuat tentang cara penyelesaian dilema CRPs. Dalam “The tragedy of the commons”, Hardin melukiskan bahwa tanpa kehadiran institusi yang dapat memaksa pengaturan CPRs maka kehancuran adalah hasil akhirnya. Penyelesaian masalah kemudian diterjemahkan dalam dua cara: (1) sumberdaya dialihkan menjadi milik pribadi atau swastanisasi, atau (2) pengelolaan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah. Sayangnya, walaupun telah diadopsi di banyak tempat, namun pilihan tersebut tidak sepenuhnya mampu menjadi jalan keluar yang efektif. Krisis sumberdaya ikan, hutan gundul, krisis air, dan berbagai bentuk perebutan serta konflik sumberdaya terjadi meluas dari tingkat lokal sampai global. Kondisi ini merupakan bukti ketidak-berdayaan pengelolaan sumberdaya melalui institusi pasar atau negara. Kondisi dan pilihan pengelolaan tersebutlah yang menjadi kritik utama Ostrom dan kelompok pendukungnya.
Masalah utama privatisasi atau pengelolaan oleh negara adalah kekurang-pahaman akan keberadaan berbagai institusi masyarakat yang berfungsi menata pemanfaatan sumberdaya tersebut. Bahkan, commons itu sendiri adalah institusi yang mengakui adanya kepemilikan secara kolektif, bukan tanpa kepemilikan sama sekali. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada CPRs telah mengadopsi beragam institusi untuk mengelola sumberdaya. Berkes dkk dalam majalah Science terbitan 1989 memberikan beberapa contoh keberhasilan institusi ini seperti: (1) komunitas Ameridian di Teluk James, Quebec, Canada dalam pengelolaan satwa liar melalui adopsi hukum adat, (2) pengelolaan lobster di Maine, USA dengan memberlakukan hak eksklusif atas wilayah dan sumberdaya, dan (3) solusi berbasis komunitas dalam menangani perikanan pukat harimau di New York Bright. Mereka juga menunjukkan kegagalan pengelolaan hutan oleh negara di Thailand yang pada saat bersamaan telah menggusur kearifan lokal. Melalui “Governing the commons”, Ostrom telah mendokumentasikan berbagai contoh keberhasilan masyarakat di berbagai negara dan menuntunnya pada formulasi prinsip-prinsip dan kelembagaan untuk pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Dengan demikian, sesungguhnya ditengah masyarakat tersedia dan berkembang beragam institusi untuk mengelola sumberdaya ikan, hutan, satwa liar, sistem irigasi dan CPRs lainnya secara berkelanjutan. Respon secara kolektif tersebut merupakan bentuk tindakan bersama (collective action) dan aksi tersebut merupakan jalan keluar menghadapi dilema dan menyelamatkan sumberdaya.
Dalam berbagai kajiannya, Ostrom menekankan dua hal pokok. Pertama, pentingnya keragaman instutisi dalam pengelolaan sumberdaya, tidak hanya terpaku pada pasar atau negara. Kedua, kebutuhan akan pemahaman tentang kondisi (faktor-faktor) yang bepengaruh terhadap keutuhan pengelolaan sumberdaya, yang ia pandang sebagai salah satu tugas pokok ilmu sosial. Secara prinsipil, pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan membutuhkan: (1) aturan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya, (2) kejelasan batasan wilayah dan pengguna (hak atas sumberdaya), (3) akutanbilitas sistem pemantauan; (4) adanya sangsi yang bersifat gradual; (5) tersedia penyelesaian konflik biaya rendah; (6) keterlibatan pihak-pihak yang terkait sehingga tercapai kesepakatan antara individu yang terlibat; dan (7) hadirnya sistem kepemimpinan yang mendukung. Desentralisasi pengelolaan diyakini memberikan kontribusi positif bagi keberlanjutan sumberdaya.
Era otonomi daerah saat ini memberikan kesempatan bagi upaya revitalisasi berbagai kearifan lokal. Gambaran ini tidak berarti bahwa pengelolaan sumberdaya dilakukan dengan menyerahkan seluruh urusan pada masyarakat, tetapi upaya bersama semakin dibutuhkan kehadirannya. Karena itu, Nobel ekonomi yang diberikan pada Ostrom memberikan sinyal kuat bahwa kita perlu menengok lagi dan merevitalisasi beragam institusi yang sesungguhnya telah menjadi bagian dari masyarakat kita seperti desa adat, subak, panglima laot, sasi laut, awiq-awiq, gotong-royong, dan beragam pranata sosial lainnya untuk melanggengkan sumber-sumber penghidupan masyarakat.