Tampilan perikanan tahun ini menunjukkan gejala yang tidak mengembirakan. Ekspor perikanan mengalami penurunan luar biasa dari 926.478 ton pada tahun 2006 menjadi 480.281 tahun ini, atau turun lebih dari separuh capaian tahun sebelumnya. Dalam pandangan pemerintah kemunduran performa perikanan tahun ini merupakan imbas dari faktor eksternal perikanan seperti kebijakan kenaikan harga BBM, berkurangnya operasi kapal ikan asing, dan dampak aturan perdagangan global khususnya antibiotik pada industri budidaya udang. Pendapat seperti ini tentu saja menguatkan anggapan bahwa para pengambil kebijakan saat ini tetap kokoh pada keyakinannya bahwa sumberdaya ikan tersedia melimpah untuk pertumbuhan ekonomi. Sehingga tidaklah mengherankan dalam setiap wacana dan rencana pembangunan tahunan perikanan akan terbaca berbagai data target baik produksi maupun pendapatan yang selalu lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Dengan memberikan prioritas utama pada komoditas terbatas yaitu udang, rumput laut, dan tuna, kebijakan revitalisasi perikanan sebenarnya tidak terlalu mendapat sokongan kuat dari industri nasional. Untuk komoditas udang, industri budidaya sangat tergantung pada spesies hasil introduksi khususnya Vanamei. Sementara dengan berbagai kelemahan mendasar pada struktur industri perikanan tangkap nasional, perikanan tuna menjadi tergantung pada investasi asing. Sayangnya untuk perikanan ini sangat sulit dibedakan antara yang berijin dengan yang yang tidak, antara yang legal dengan yang mencuri. Pemerintahpun menjadi dilematis dalam pengaturannya karena disatu sisi berharap sumbangan yang besar dari perikanan asing, disisi lain kebijakan memperketat ijin secara langsung berimbas pada berkurangnya kontribusi perikanan ini Dalam industri tuna juga muncul dilema lain yang cukup pelik seperti yang dipaparkan oleh Michael Heazle dan John G. Butcher (2007) dalam Jurnal Marine Policy yaitu pertarungan kepentingan antara para pencari keuntungan dari perikanan termasuk dari dalam tubuh kalangan militer dan birokrasi. Sementara permasalahan ketimpangan yang sangat mencolok pada struktur perikanan yang telah lama diketahui tidak banyak mendapat perhatian. Program pembangunan perikanan rakyatpun hanya didominasi oleh bantuan perahu, tambahan alat tangkat, dan proyek yang bermuara hanya pada pencapaian produksi perikanan.
Faktor eksternal seperti yang dipaparkan pemerintah tidak dapat dipungkiri sangat memukul posisi industri perikanan, walau tidak secara keseluruhan menurunkan minat terhadap investasi perikanan. Dalam beberapa kasus ekspansi budidaya udang Vanamei semakin meluas di beberapa daerah. Jumlah armada perikanan tangkap juga mengalami pertumbuhan positif, seperti dalam periode 2001-2005 tumbuh mencapai 4.4% per tahun. Namun demikian, yang patut menjadi perhatian saat ini adalah faktor internal sumberdaya ikan. Faktor ini perlu mendapat porsi perhatian lebih besar karena pertumbuhan produksi ikan laut justru terus melambat akhir-akhir ini, jauh di bawah pertumbuhan kapal ikan. Dalam periode 2001-2005 produksi ikan hanya tumbuh 2,7% per tahun, atau terendah yang pernah dicapai dalam periode lima tahunan sejak 1961. Pada saat bersamaan penurunan dan kerusakan habitat sumberdaya ikan juga terjadi dimana-mana, bahkan kini potensi lestari perikanan tangkap dilaporkan hanya tersisa 20% yang bisa dimanfaatkan. Ekspansi nelayan kita yang memasuki wilayah negara tetangga juga semakin sering diberitakan dan diantaranya tidak jarang berujung pada pembakaran kapal ikan mereka, penahanan dan penembakan nelayan oleh otoritas di wilayah negeri seberang. Di dalam negeri intensitas konflik karena perebutan sumberdaya ikan juga semakin meningkat. Berdasarkan laporan beberapa media Dalam periode antara 2000 dan 2006 tidak kurang ditemukan 30 berita tentang kasus konflik perikanan baik berupa penahanan kapal, pembakaran kapal ikan, penembakkan nelayan, perkelahian dan pembunuhan, dan demonstrasi nelayan.
Orientasi pembangunan perikanan dengan demikian perlu segera berubah dari kebiasaan mengejar target dan berorientasi ke luar kearah perbaikan kualitas hidup nelayan dan penyelamatan sumberdaya ikan. Perpaduan berbagai pola pengelolaan dengan demikian dibutuhkan. Pada tingkat lokal, pola pengelolaan berbasis masyarakat dapat diadopsi atau lebih diberdayakan. Pengakuan hak atas sumberdaya ikan dalam hal ini diperlukan atau dengan kata lain akses terhadap sumberdaya ikan oleh siapapun (open access) sudah saatnya dibatasi. Upaya ini perlu dipadukan dengan pengembangan industri pembenihan ikan untuk kebutuhan pengkayaan sumberdaya ikan dan pengembangan industri budidaya. Kerjasama antara daerah dan regional juga juga perlu diperkuat untuk menghindari berbagai konflik perikanan. Berkah sumberdaya yang masih tersedia dan beragam hanya membutuhkan kemauan dan kemampuan kita mengelola secara sungguh-sungguh, tidak hanya mengandalkan diri pada satu atau dua komoditi saja.
Ami machi, 10 Januari 2008
Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality