50 Tahun Tragedi Sumberdaya Kepemilikan Bersama
Seorang peternak yang baru memiliki beberapa ekor sapi, dan memiliki kemampuan untuk menambah beberapa ekor sapi lagi, ketika melihat padang rumput yang luas lagi subur dan diperkenankan mengembala di padang rumput tersebut, pasti akan berpikiran untuk segera menambah ternak untuk digembala, agar mendapat manfaat dari padang rumput tersebut. Sama seperti peternak ini, peternak lainnya ketika melihat padang rumput tersebut juga akan berpikiran untuk menambah ternak di padang rumput tersebut. Jika di lokasi pengembalaan terdapat 100 pengembala, maka 100 orang tersebut akan memiliki pandangan atau minimal niat serupa, yaitu menambah ternak di padang rumput tersebut. Serupa dengan para peternak, jika seorang nelayan, apabila dengan 1 (satu) kapal yang dioperasikan hasil tangkapan masih menjanjikan, kemungkinan besar akan berpikiran untuk menambah kapal baru atau jumlah alat tangkap atau trip menangkap ikan. Nelayan lainnya pun dipastikan akan perpikiran sama, menambah dan pergi melaut menangkap ikan sebanyak mungkin. Mirip dengan dua contoh kasus tersebut, jika saya misalnya, pengusaha industri pengolahan yang memiliki pabrik di pinggir suatu sungai, yang menghasikan limbah cair sisa proses produksi, maka saya akan berpikiran untuk membuang segera limbah itu ke sungai tersebut. Apa yang saya lakukan dengan limbah tersebut, kemungkinan besar juga akan dilakukan oleh pelaku usaha sejenis lainnya, ketika akan membuang limbah sisa produksinya.
Para peternak yang rasional pasti akan berfikir untuk menambahkan ternaknya untuk meningkatkan keuntungan secara maksimal, walaupun pada saatnya padang rumput sumber pakan ternak tersebut akan habis karena kelebihan ternak. Demikian halnya para nelayan, mereka akan terus menambah usaha penangkapan ketika menikmati keuntungan dari tambahan usaha penangkapannya, sampai pada saatnya ikan semakin sulit ditangkap. Pun para pembuang limbah ke sungai, tetap saja membuang limbahnya sampai sungai menjadi sangat bau, berubah warna, bahkan tercemar berat. Cerita kiasan tersebut merupakan abstraksi dari narasi yang ditulis oleh Garret Hardin, pada Majalah Science 50 tahun yang lalu, untuk mendeskripsikan bagaimana tragedi sumberdaya kepemilikkan bersama (tragedy of the commons) terjadi. Hardin menggunakan kata tragedi pada kisah tersebut karena kisahnya memunculkan ketidakbahagiaan. Tragedi dalam KBBI pun salah satunya diartikan sebagai bentuk drama yang memiliki karakter serius dan berakhir dengan ketidakbahagiaan. Hardin mengambarkan bahwa keuntungan yang diterima oleh peternak/nelayan/pelaku usaha dalam kisah ini sesungguhnya adalah untuk mereka masing-masing sebagai individu atau entitas bisnis, namun demikian kerugian akibat penambahan usaha/pembuangan limbah akan dirasakan oleh semua pelaku usaha tersebut atau bahkan anggota masyarakat lainnya. Pada bagian itulah cerita ketidakbahagiaan tersebut muncul, yaitu ketika tambahan keuntungan dari setiap tambahan aktivitas pada sumberdaya kepemilikkan bersama, berakhir dengan kerugian bagi semua. Bahkan, Hardin dalam tulisannya menegaskan bahwa sikap bebas pada akhirnya menimbulkan kehancuran. Kehancuran sebagai imbas dari kebebasan mengekploitasi sumberdaya untuk tujuan memenuhi kepentingan individual, yaitu memaksimalkan perolehan/keuntungan individu tertentu, sedangkan dampak dari eksploitasi sumberdaya tersebut akan dirasakan oleh banyak orang.
Catatan Garret Hardin, 50 tahun yang lalu tersebut, tentu tetap relevan dengan kondisi saat ini jika mencermati kondisi dan perkembangan sumberdaya, lingkungan, dan tata kelolanya. Majalah The Economist edisi 4 Agustus 2018, misalnya, pada sampulnya terpampang judul besar “In the line of fire: Losing the war again climate change”. Majalah rujukan para pembelajar ekonomi ini menyajikan fakta-fakta terbaru seperti kebakaran yang terjadi di belahan bumi utara, antara lain yang terburuk dalam sejarah Amerika Serikat yaitu yang terjadi di California, yang bahkan membuat semacam cuaca tersendiri di sekitarnya. The Economist juga mencatat kebakaran terburuk yang menewaskan 91 orang di Athena, Yunani, minggu lalu dan juga kematian 125 orang karena lemas akibat gelombang panas yang melanda Jepang. “The world is losing the war again climate change” tegas The Economist. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa akar permasalahan yang sekalipun telah diketahui bersama, belum tentu akan semakin memperkuat aksi bersama untuk menyelesaikannya. Seperti halnya para peternak, para nelayan, atau para pencemar lingkungan pada tulisan Hardin, sekali pun akan mengetahui konsekuensi dari tindakan tetap menambah unit produksi untuk kemanfaatan masing-masing dari sumberdaya bersama, tempat mereka bergantung. “Ruin is the destination toward which all men rush, each pursuing his own best interest in a society that believes in the freedom of the commons” tulis Hardin. Lebih lanjut Hardin menegaskan kebebasan pada sumberdaya kepemilikan bersama (“commons”) membawa kehancuran bagi semua.
Lalu, bagaimana menyelesaikan masalah bersama tersebut? Para ahli memiliki cara pandang beragam. Mengenang Elinor Ostrom, penerima hadiah Nobel tahun 2009, saya pernah mencatat keragaman cara pandang tersebut (lihat http://suadi.net/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html atau http://suadi.staff.ugm.ac.id/2009/10/masyarakat-dan-sumberdaya-kepemilikan-bersama.html). Hardin telah memberikan beberapa solusi untuk menghindari atau menyelesaikan permasalahan tragedy of the commons, dan jauh hari menegaskan tidak ada (atau keterbatasan) solusi teknis atas permasalahan bersama tersebut. Bagi Hardin, karena kebebasan pada “commons” berakhir pada kehancuran maka tentu solusinya adalah mengurangi atau menghilangkan kebebasan tersebut. Ide tentang privatisasi atau pengalihan kepemilikan sumberdaya milik bersama menjadi sumberdaya kepemilikan individu (swasta) kemudian menguat. Ide lainnya yang muncul adalah tata aturan yang memaksa atau dengan mekanisme pajak, yang menunjukkan perlunya peran negara/pemerintah yang lebih besar dan lebih kuat untuk mengatur. Sayangnya, seperti saya tulis pada tautan di atas, walaupun telah diadopsi di banyak tempat, namun pilihan tersebut tidak sepenuhnya mampu menjadi jalan keluar yang efektif. Krisis sumberdaya ikan, hutan, air, dan berbagai bentuk perebutan serta konflik sumberdaya terjadi dan masih meluas dari tingkat lokal sampai global. Namun demikian, tetap peringatan Garret Hardin selalu relevan untuk ditemukenali secara lebih baik jalan keluarnya.
Karena tidak ada solusi teknis, barangkali aspek lain dari kosakata “commons” perlu didalami kembali. Seperti ditulis oleh Tabeta Masahiro, “commons” sebenarnya adalah sumberdaya yang dikategorikan ke dalam sektor non-uang, dan secara turun temurun memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai aktivitas sosial, budaya, bahkan agama. Sebagai ilustrasi, Subak, sistem pengelolaan irigasi di Bali, tidak hanya dipandang sebagai usaha berbagi air secara adil dan demokratis untuk aktivitas pertanian khususnya persawahan yang menghasilkan uang, tetapi ia juga lengket dengan aktivitas “Pure” atau keagamaan. Pun, ditengah masyarakat kita sesungguhnya tersedia dan berkembang beragam institusi untuk mengelola sumberdaya ikan, hutan, satwa liar, sistem irigasi dan sumberdaya kepemilikkan bersama lainnya secara berkelanjutan. Respon secara kolektif tersebut barangkali merupakan bentuk tindakan bersama (collective action), yang dibutuhkan sebagai bagian jalan keluar menghadapi dilema dan menyelamatkan sumberdaya kepemilikkan bersama, di luar arus utama solusi privatisasi atau aturan negara yang memaksa. Tabik!
Warungboto, 4 Agustus 2018 for ©suadi.net