Kebebasan Akademik ala Prof. Denis Rancourt
Perseteruan antara Prof. Denis Rancourt dengan Universitas Ottawa (U&O) berakhir dengan diPHKnya sang professor, demikian dilansir diwebsite U&O 6 Februari lalu. Tidak hanya dipecat tapi ia juga tidak diperkenankan berada di universitas tersebut. Theglobeandmail.com melaporkan Rancourt digelandang polisi ketika akan menghadiri pertemuan film dokumenternya di U&O. Kenapa di negara yang memiliki tradisi kebebasan akademik muncul kasus Rancourt? Kebebasan akademik seperti apa yang Rancourt harap dan tawarkan? Kasus ini berawal dari kegelisahan Rancourt tentang sistem pendidikan yang bersifat transfer ilmu dan menghasilkan orang-orang “manut”, bukan ilmuan, atau Rancourt menyebut “scientists, not automatons”. Ia juga menjadi pesiar berbagai ketidakadilan termasuk kritikus perilaku Israil. Kesadaran Rancourt mengantarkannya pada aksi untuk mengenalkan sistem yang ia yakini membebaskan dan demokratis yang ia sebut “academic squatting”. Beliau juga menggugat sistem penilaian konvensional, A-E, dan menganjurkan sistem Lulus/Tidak Lulus. Sebagai guru pegiat (“activist teacher”), Rancourt menawarkan konsepnya ke U&O. Tidak mendapat tempat bagi idenya membuat ia “membangkang”. Di tahun 2005 Rancourt mengumumkan nilai A pada semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya, ilmu fisika dan lingkungan, sebelum kuliah dimulai. Dari kasus inilah perseteruan dimulai dan terus meruncing. Sang profesor semakin melawan arus, bahkan mengundang masyarakat mengikuti perkuliahannya termasuk meregistrasi bocah kembar usia 10 tahunan dan ibunya. Materi kuliahpun meluas, bukan hanya ilmu fisika, tetapi juga sosial politik. Akibatnya ia dihadiahi nilai F, alias “fired”.
Tiga hal mencuri perhatian dari kasus Rancourt, yaitu (1) bidang ilmu, (2) pilihan sistem penilaian, dan (3) sistem pembelajaran. Lalu bagaimana dengan sikap universitas? Adalah pilihan politis ketika universitas yang diwakili oleh para pemegang pucuk pimpinan mengambil tindakan apapun sesuai dengan kaidah yang diyakininya dan dan kepentingan universitas tersebut. Apakah dengan memecat Rancourt kebebasan akademik terlukai? Perbedaan sudut pandang masih akan terus menjadi perdebatan. Jikapun keduanya akan terus bersengketa, pengadilanlah yang akan menyelesaikannya.
Rancourt adalah seorang profesor terpandang di bidangnya, ilmu fisika. Melalui mesin pencari google scholar dengan mudah ditemukan karya ilmiahnya. Sebagai profesor fisika, apakah Rancourt telah keluar dari bingkai keilmuannya dengan menginisiasi topik-topik sosial politik ke dalam kuliah fisika? Isu sosial dan politik memang menarik bagi siapapun, apalagi informasi tersedia dan dengan mudah diperoleh. Sekali waktu Rancourt menulis “kuliah sosial dan politik semakin dibutuhkan dalam bidang sains”. Jika demikian masalahnya, apakah kita sedang menyaksikan kenyataan bahwa sekat-sekat bidang ilmu itu kokoh? Hal yang tidak sulit untuk ditemukan di kampus-kampus kita. Pagar fisik antara fakultas menjadi cerminan kuliah lintas bidang dan ilmu adalah hal yang juga sulit.
Kedua, pilihan sistem penilaian yang menjadi alasan utama Rancourt dipecat. Menjadi diskusi panjang pilihan mana yang memberikan kualitas terbaik dan kesuksesan anak didik. Dalam pengantar buku Paulo Freire (1999) “Menggugat pendidikan: fundamentalis, konservatif, liberal, anarkis”, diceritakan tentang Hitler yang cukup baik dan manis semasa kecilnya, tetapi kejam ketika dewasa. Adakah pendidikan bertanggung jawab untuk ini? Tawaran Rancourt akan tepat untuk kondisi interaksi pengajar dan anak didik yang cukup baik. Dengan intensitas itu bukanlah hal yang sulit meluluskan atau tidak seorang mahasiswa. Tetapi dengan kenyataan perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada pendidikan masal, mungkinkah meninggalkan sistem konvensional? Kesuksesan di masa datang memang bukan beban tanggung jawab sekolah, tetapi melalui pendidikan diharapkan terbuka jalan bagi pembebasan.
Ketika Rancourt mengumumkan nilai A untuk seluruh mahasiswanya, sesungguhnya bukanlah berarti mahasiswa tanpa beban. Seorang mahasiswanya mengatakan harus menjalankan tugas yang membutuhkan kreativitas. Target Rancourt dengan “academic squatting” adalah pendidikan pedagogik yang lebih demokratis dan membebaskan dan bidang sains memerlukannya. Dalam kelasnya di tahun 2005, di awal kelas mahasiswa disyaratkan membuat proyek untuk terjun lapangan dan Rancourt melihat antusiasme mahasiswa. Karena mahasiswa dengan sendirinya bertanggung jawab atas proses belajarnya, Rancourt berkesimpulan bahwa sistem penilaian sesungguhnya tidak lagi diperlukan. Pembelajaran yang membuka ruang bagi peran lebih banyak bagi peserta didik (“student centered”) memang semakin dibutuhkan, tapi tidak berarti pendidik melepas tanggungjawabnya.
Pendidikan kita memang sedang menghadapi banyak tantangan. Namun, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) berpesan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5). Pendidikan bermutu tentu melalui proses interaksi yang baik antara kampus, pendidik, anak didik dan lingkungannya. Interaksi yang baik bisa terselenggara jika ruang interaksi yang egaliter dan partisipatif tersedia. Sekat-sekat jurusan dan fakultas perlu dikurangi dengan memberikan peluang bagi proses belajar dan riset lintas bidang. Proses pembelajaran juga perlu terus mendekatkan mahasiswa dengan permasalahan sesungguhnya dalam masyarakat. Patut dihargai beberapa universitas mempertahankan program berorientasi pada terbangunnya interaski mahasiswa dan masyarakat seperti kuliah kerja nyata, misalnya. Seperti kata Rancourt, mendalami masalah sosial di sekitar lingkungan kita adalah sama pentingnya dengan pelajaran fisika. Semoga pendidikan kita lebih memerdekakan dengan anggaran yang akan mulai terealisasi sesuai amanat UUD. Wahalu ‘alam.
Davis, California, 9 Maret 2009