Tenggelamkan, Bangun Perikanan Baru!

“By chance” saja mendapat kesempatan, yang bagi saya istimewa, bisa berbincang dengan punggawa salah satu kapal pengawas perikanan kita. Entah, saya merasa begitu senang bisa berbincang dengan anak-anak muda di kapal ini, bahkan saya minta ijin untuk berpose bersama. Saya harus katakan bahwa untuk urusan lain di luar pengawasan ikan, kebijakan kelautan perikanan dalam periode menteri Susi, bagi saya, penuh tanda tanya dan bisa diperdebatkan, baik dengan data kualitatif maupun kuantitatif. Tapi, untuk urusan pengawasan, apalagi menyangkut pencurian ikan oleh nelayan asing, sudah tidak ada tanda koma, tapi titik, SETUJU!. Kawan-kawan pengawas perikanan ini telah menjadi garda terdepan melawan “illegal fishing”, bahkan kapal yang mereka tangkap “saking” banyaknya sampai mereka sendiri tidak punya tempat untuk melabuhkan kapal pengawas di pelabuhannya sendiri. Kalau merujuk statistik perikanan yang ada, misal Laporan Realisasi kegiatan prioritas Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan selama periode 2015-2017 telah diperiksa 3.727 kapal, menangkap 567 kapal ikan illegal, dan 488 kapal ikan illegal ditenggelamkan, yang kerseluruhan bermuara pada menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan (selain misi menjaga kedaulatan). Negara-negara tetangga kita sering menjadi pelaku pencurian ikan, seperti Vietnam dan Thailand.

Mengawasi laut seluas 2/3 wilayah negeri ini, tentulah bukan pekerjaan kategori biasa, apalagi bumbu-bumbu cerita etika birokrasi dan perilaku pelaku usaha besar sudah sering berseliweran. Karenanya kata “saya tenggelamkan” masih relevan untuk perikanan ke depan, tinggal teknisnya jangan sampai juga berdampak merusak lingkungan tempat ikan hidup.  Untuk mengurangi pencurian ikan, tentu tidak akan cukup hanya mengandalkan terus operasi pengawasan. Bangun perikanan nasional yang setangguh tetangga kita atau sebaik negara-negara perikanan dunia dan itu seperti menjadi keharusan. Perikanan nasional yang kuat itu penting agar kita dapat menikmati sumberdaya ikan yang terus dilaporkan meningkat jumlahnya.  Perikanan baru itu tentu saja berprinsip pada perikanan berkelanjutan yang diidamkan kementerian saat ini, tapi tidak hanya membatasi penangkapan ikan, apalagi ketika stok ikan tersedia. Perikanan baru harus juga memperhatikan keberlanjutan komunitas dan industri pasca panennya, termasuk keberlanjutan dari proyek-proyek yang sudah dibangun pemerintah (baca: bukan “proyek berkelanjutan”), termasuk sentra-sentra perikanan terpadu atau SKPT yang saat ini telah dan sedang dibangun, semisal yang ada di Natuna. Perikanan baru tentunya bukan hanya berorientasi menghasilkan ikan sebagai bahan baku, tetapi perikanan bernilai tambah. Nilai tambah itu tidak hanya dipahami sebagai beragam olahan ikan yang siap saji, tapi termasuk mengurangi sumberdaya ikan terbuang mulai dari saat di ikan di atas kapal, di pendaratan ikan, sampai di tempat proses pengolahannya, bahkan memproduksi ikan hidup juga adalah nilai tambah. (SJ)

Selamat berkahir pekan!