Category: Fishing Ideas

  • Percepatan Pengembangan Pendidikan Kelautan dan Perikanan *

    Percepatan Pengembangan Pendidikan Kelautan dan Perikanan *

    Pengantar 

    Indonesia seperti menjadi miniatur dari planet biru, karena sebagian besar wilayahnya merupakan perairan. Wilayah perairan laut Indonesia mencapai 70% dari total luas wilayah negara atau dengan luas perairan mencapai 5,8 juta km2. Indonesia juga memiliki pulau lebih dari 17.000 pulau, dan garis pantai sepanjang 81.000 km atau terpanjang ke empat di dunia setelah Rusia, USA, dan Canada. Dengan posisi geografis Indonesia di antara dua benua, dua samudra, dan transisi garis Wallacea wilayah tropis serta wilayah perairan yang luas, Indonesia mempunyai potensi sumberdaya kelautan yang besar dan beragam. Tidak hanya dari sisi sumberdaya, posisi Indonesia di antara dua samudera dan dua benua tersebut juga sangat strategis secara geopolitik. Karena itu, potensi sektor kemaritiman tersebut perlu dioptimalkan untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Apalagi telah disadari bahwa 60% penduduk Indonesia hidup dan tergantung pada sumberdaya dan aktivitas berbasis wilayah pesisir dan laut (Bappenas 2004).

    Wilayah pesisir dan laut sesungguhnya memiliki beragam ekosistem yang sangat subur dan kaya sumberdaya hanyati seperti sumberdaya ikan, ekosistem wetlands, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun maupun sumberdaya non hayati seperti energi, mineral, dan berbagai peninggalan sejarah. Terdapat sebelas sektor ekonomi kematiman yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) industri kelautan, (8) jasa maritim, (9) pengembangan pulau-pulau kecil, (10) potensi sumber daya non konvensional, dan (11) pengembangan sumberdaya manusia (pendidikan, pelatihan, dan penelitian).

    Pemanfaatan potensi kelautan masih dihadapkan pada berbagai tantangan diantaranya karena kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia yang terbatas dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang masih rendah. Orientasi pembangunan nasional selama ini masih bercokol kuat di wilayah daratan. Di sisi lain, ekosistem pesisir dan laut juga semakin rapuh dan terus terancam oleh berbagai perubahan lingkungan baik lokal maupun global. Di bawah rezim perubahan iklim yang diperkirakan berakibat pada kenaikan permukaan air laut (sea level rise) akan mendorong terjadinya banjir dan instrusi air laut, pengurangan luas daratan yang akan mengancam pemukiman, infrastruktur, dan berbagai livelihood assets di wilayah pesisir. Bahkan diperkirakan sekitar 80% terumbu karang Indonesia akan terancam hilang dalam 30 tahun ke depan karena perubahan iklim tersebut. Rudianto (2010) mengestimasi sekitar 2000 pulau akan hilang dan kawasan-kawasan pertanian produktif akan terendam di masa yang akan datang karena perubahan iklim.

    Pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia sesungguhnya semakin gencar dilakukan, terutama setelah dibentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sejak tahun 1999. Alokasi anggaran untuk pembangunan perikanan dan kelautan bahkan meningkat fantastis dari hanya Rp 70 miliar sebelum tahun 1999, menjadi lebih dari Rp 2 trilium sejak tahun 2004 dan terus meningkat setelah periode tersebut. Seiring dengan besarnya dukungan secara kelembagaan tersebut, dalam dekade terakhir usaha perikanan, yang menjadi salah satu sektor ekonomi kelautan, juga mengalami perkembangan yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh produksi perikanan yang terus meningkat dengan capaian lebih dari 10 juta ton saat ini (tumbuh mendekatati 10% per tahunnya), dengan pertumbuhan tertinggi pada perikanan budidaya, yaitu mencapai lebih dari 20% per tahun (KKP 2011). Penguatan pembangunan di sektor kelautan dan dan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pengguna sumberdaya dan menjawab tuntutan kebutuhan pangan ikani dunia yang terus meningkat. Apalagi FAO (2010) memperkirakan permintaan ikan dunia di masa yang akan datang masih terus meningkat untuk mencukupi kebutuhan nutrisi, khususnya sumber protein dengan kualitas tinggi dan harga terjangkau. Bahkan beberapa proyeksi menunjukkan terdapat kecenderungan permintaan ikan melampaui penyediaanya. Selain itu, FAO Food Outlook 2014, menunjukkan karena pemulihan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa serta pertumbuhan negara-negara kekuatan ekonomi baru telah mendorong pertumbuhan pesat permintaan akan ikan, yang diikuti kenaikan cepat harga ikan. Pertumbuhan konsumsi ikan dunia saat ini telah mencapai sekitar 2% per tahun, dengan rata konsumsi 20 kg per kapita.

    Untuk mengelola sektor kemaritiman dibutuhkan para profesional, pendidik, dan peneliti yang memahami dan menguasai kebutuhan, keragaman dan dinamika sektor tersebut. Penguatan pendidikan kemaritiman perlu diperkuat dan dirancang untuk dapat menghasilkan sumberdaya manusia profesional dan mengembangan ilmu dan teknologi berbasis kemaritiman, yang pada akhirnya diharapkan akan memperkuat budaya maritim nusantara. Saat ini Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang mengembangan program studi di bidang kelautan dan perikanan baru berjumlah 50 Perguruan tinggi dengan level organisasi yang sangat beragam. Pada masing-masing PTN tersebut, bidang kelautan dan perikanan baru sebatas menjadi laboratorium, program studi atau hanya jurusan. Jumlah Fakultas Kelautan dan Perikanan di Indonesia masih sangat terbatas, sehingga untuk memanfaatkan potensi yang ada masih sangat kurang (kekurangan lebib besar pada bidang keteknikan, ekonomi, hukum, dan sosial politik kemaritiman). Tidak hanya pada masalah jumlah, produk pendidikan kelautan dan perikanan juga masih tidak kompetitif. Pada industri pelayaran, misalnya, kebutuhannya lulusan tidak pernah dapat dipenuhi apalagi untuk pelayaran internasional karena pelaut Indonesia tidak atau kurang memiliki berbagai keahlian dan keterampilan (practical skills, onboard experience, and communication skills, and personality). Saat ini, Indonesia hanya mampu menghasilkan kelas ratings atau kelas terendah (tanpa sertifikat) dalam struktur karir kepelautan (81,4% kelas rating dan sisanya officer dari total pelaut Indonesia yang mencapai 41.750 pelaut di pasar industri kepelautan dunia) (McLaughlin 2012). Sementara, BIMCO/ISF (2010) mencatat industri kepelautan dunia kekurangan tenaga officer mencapai 13.000 orang. Karena itu, sebagai negara kepulauan pendidikan kelautan menjadi kebutuhan mendasar untuk dikembangkan.

    Kondisi Pendidikan Kelautan dan Perikanan Saat Ini

    Pendidikan kelautan dan perikanan telah ada dikembangkan pada 50an perguruan tinggi negeri (selain perguruan tinggi swasta) dengan berbagai level organisiasi pengelolaan terkait bidang ilmu.

    Secara organisasi, bidang ilmu kelautan dan perikanan yang telah dikembangkan saat ini tergabung dalam program studi atara lain: (1) Manajemen Sumberdaya Perikanan/Perairan, (2) Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, (3) Budidaya Perikanan, (4) Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, (5) Sosial Ekonomi Perikanan, (6) Ilmu Kelautan, dan (7) Teknik (Teknik Perkapalan atau nama lainnya). Kajian lainnya tersebar baik pada level laboratorium maupun tema penelitian. Untuk level institut atau universitas yang secara langsung berorientasi kemaritiman dapat dikatakan tidak ada (hanya 1-2).

    Walaupun, secara kuantitatif perguruan tinggi negeri di bidang kelautan dan perikanan telah ada, tetapi persebarannya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Perguruan-tinggi besar (ex. BHMN yang semuanya ada di Pulau Jawa) hanya sedikit yang mengembangkan bidang kelautan dan perikanan. Selain masalah persebaran, kualitas pendidikan juga sangat timpang antar wilayah.

    Pendidikan kelautan dan perikanan memiliki keterkaitan yang kurang kuat dengan industri kemaritiman. Proses dan program pembelajaran cenderung terfokus pada konten (content-based curriculum) daripada kompetensi yang diharapkan (competence-based curriculum), termasuk oleh pengguna lulusan. Bahkan, kemunduran atau kemandekan industri perkapalan (terutama perkapalan tradisional), tidak terlepas dari permasalahan pendidikan, selain masalah dukungan kebijakan, kelembagaan, kelangkaan bahan pembuatan kapal, dan permodalan).

    Inovasi dalam pengembangan program pendidikan kelautan dan perikanan sehingga menarik generasi muda untuk mendalaminya masih rendah. Orientasi pendidikan kelautan dan perikanan berbasis kompetensi (yang bersinergi dengan industri) yang diharapkan oleh dunia internasional belum dikembangkan dengan baik. Inovasi tersebut dibutuhkan karena image industri kelautan dan perikanan cenderung kurang baik/negatif (berbahaya, kasar, kotor, keras, dan tidak menyenangkan).

    Kegiatan riset di bidang kelautan dan perikanan telah dilakukan baik oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian kelautan dan perikanan yang dikelola oleh pemerintah (LIPI, BRKP, BPPT, dan Perguruan Tinggi). Kerjasama penelitian antar berbagai lembaga sangat jarang. Pertukaran kegiatan atau mutasi peneliti antar lembaga sulit/tidak dapat dilakukan. Dewan Kelautan Indonesia, sebagai lembaga kordinasi telah telah ada tetapi kurang terkait dengan kebijakan dan kegiatan pendidikan dan penelitian.

    Bidang penelitian kelautan dan perikanan meliputi: (1) perikanan: perikanan tangkap, budidaya, pasca panen dan sosial ekonon perikanan; (2) pariwisata, (3) biotek kelautan dan farmasi, (5) konservasi laut, (6) energi terbarukan, (7) teknik (pantai, perkapalan, dll) serta (8) oseanografi. Penelitian-penelitian kelautan dan perikanan masih terbatas menghasilkan produk siap diproduksi secara masal (hilirisasi riset masih sangat terbatas). Penelitian dasar dan penelitian terapan di bidang kelautan juga masih terbatas dari sisi jumlah.

    Penelitian kelautan dan perikanan cenderung membutuhkan biaya yang besar dan dana penelitian serta sarana prasana penelitian masih sangat terbatas. Perguruan tinggi yang mengelola produk kelautan dan perikanan tidak memiliki kapal riset dan hanya mengandalkan kapal komersial. Kapal riset juga jumlahnya sangat terbatas baik dari segi tonase maupun unit, sehingga daya jangkau penelitian terbatas di laut territorial atau bahkan hanya di wilayah perairan pantai.

    Kerjasama penelitian dengan negara maju telah dilakukan, tetapi posisi Indonesia masih lemah terkait hak atas kelayaan intelektul. Negara-negara majupun semakin protektif dalam hal iptek kelautan dan perikanan. Sehingga hasil penelitian lebih dinikmati oleh mitra asing memanfaatkannya.

    Kompetisi dalam pendidikan dan penelitian kelautan dengan negara lain akan semakin tinggi, seiring dengan terbukanya hubungan antar negara atau antar kawasan dalam penyelenggaraan pendidikan.

    Pengembangan Kapasitas SDM Perikanan dan Kelautan, Pendidikan dan Penelitian

    Investasi untuk peningkatan kesadaran tentang Indonesia sebagai Negara kepulauan. Sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 25 “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.” Peningkatan kesadaran salah satunya melalui program pendidikan dari pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi dalam bidang kelautan dan perikanan. Percepatan pengembangan pendidikan kelautan dan perikanan menjadi upaya sistematis untuk peningkatan kesadaran dan upaya pemberdayaan berbagai potensi sumberdaya dan revitalisasi budaya maritim.

    Peningkatan jumlah, sebaran, dan status kelembagaaan serta kualitas penyelenggaraan pendidikan kelautan dan perikanan. Pemetaan kompetensi perguruan tinggi dapat menjadi arahan kebijakan pengembangan keilmuan di masing-masing perguruan tinggi/wilayah.

    Pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan berbasis kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat/standar internasional. Pendidikan kemaritiman karena banyak bersentuhan dengan dunia internasional harus memiliki sense, kerangka pengembangan dan berorientasi internasional (internationally-recognised).

    Inovasi pendidikan untuk meningkatkan daya saing (pendidikan dan lulusan) melalui penguatan pendidikan berbasis kompetensi. Keterkaitan dunia pendidikan dengan kebutuhan industri kemaritiman perlu diformulasikan dengan berbagai pemangku kepentingan. Karena itu, orientasi pendidikan tinggi kelautan dan perikanan memadukan dengan baik kebutuhan pengembangan keilmuan, teknologi dan kebutuhan pasar.

    Penguatan fasilitas dan peralatan, desain kurikulum, metode pembelajaran, tenaga pendidik dan kependidikan yang berkualifikasi, dan suasana akademik yang mendukung untuk menghasilkan lulusan yang sesuai kompetensi.

    Pengembangan bidang-bidang ilmu yang meningkatkan daya tarik anak-anak muda dalam pendidikan kelautan. Bidang-bidang ilmu kelautan dan perikanan seperti teknologi informasi kelautan, ekonomika kelautan, hukum dan politik kelautan, manajemen sumberdaya perikanan, aquaculture, budaya maritim dan teknik kelautan, serta pasca panen hasil perikanan dan bioteknologi kelautan perlu diperkuat dalam pengembangan pendidikan kelautan dan perikanan. Upaya pengembangan bidang ilmu tersebut dapat dilakukan pada berbagai level, baik S1, S2, dan S3

    Pendidikan dan penelitian kelautan dan perikanan diperkuat dengan konsep dan penyelenggaraan pengelolaan pesisir dan laut terpadu.

    Dukungan secara kelembagaan (insentif dan anggaran) untuk penelitian-penelitian dasar dan terapan di bidang kelautan (baik untuk sumberdaya hayati, non hayati, maupun kemasyarakatan). Pendidikan dan penelitian mampu menghasilkan berbagai inovasi (proses maupun produk) maupun jiwa dan praktek kewirausahaan (enterpreneuship).

    Peningkatan sarana prasarana pendidikan dan penelitian kelautan termasuk diantaranya kapal riset dan berbagai simulator untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan.

    Memperkuat dan merevitalisasi atau recreating budaya maritime melalui pendidikan dan budaya industri maritime melalui penguatan kapasitas industri kemaritan.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (dipersiapkan untuk bahan Buku Putih UGM Pembangunan Maritim Indonesia (Oktober 2014).

  • Melihat Indonesia dari Laut: Beberapa Catatan Atas RUU Kelautan *

    Melihat Indonesia dari Laut: Beberapa Catatan Atas RUU Kelautan *

    Pentingnya ocean policy bagi Negera Kepulauan

    UUD 1945, BAB IXA tentang Wilayah Negara, pasal 25A menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

    Posisi strategis Indonesia secara geografis (geopolitik dan ekonomi di laut): (1) antara dua benua yaitu Asia dan Australia dan (2) dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta (3) transisi garis Wallacea wilayah tropis. Indonesia dengan posisi tersebut memiliki wilayah yang berbatasan dengan banyak Negara (sepuluh negara tetangga), karenanya Indonesia harus menetapkan batas maritim (pulau dan perairan). Dengan posisi tersebut, Indonesia juga menjadi alur pelayaran internasional, yang berarti kepentingan internasional (yang dilindungi oleh ketentuan internasional) atas perairan laut Indonesia sangat tinggi. Posisi pada wilayah tropis memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumberdaaya hayati maupun non-hayati. Kepentingan internasional yang dilindungi ketentuan internasional, tidak hanya alur pelayaran, juga menyangkut sumberdaya hayati, terutama sumberdaya ikan migrasi (terutama trans-boundary fish species seperti berbagai jenis tuna, yang memililki nilai ekonomi tinggi).

    Potensi sumberdaya kelautan untuk pembangunan ekonomi meliputi tiga dimensi wilayah laut: (1) permukaan laut – industri jasa kelautan (pelayaran, termasuk pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), pariwisata, olah raga, dll); (2) dalam laut atau kolom perairan (sumberdaya ikan dan sumber-sumber pangan lainnya, serta jasa kelautan), dan (3) dasar laut (energi, mineral, terumbu karang, bahan obat, jasa kelautan, dll). Terdapat sebelas sektor ekonomi kelautan yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) jasa maritim, (8) pengembangan pulau-pulau kecil, (9) potensi sumber daya non konvensional, dan (10) pengembangan sumberdaya manusia (pendidikan, pelatihan, dan penelitian).

    Kebijakan kelautan (ocean policy) sangat diperlukan untuk mempertegas: (1) keberpihakan (kedaulatan di laut, memperjuangkan cita-cita perjuangan bangsa, sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan amanat UUD 1945 Pasal 25 dan (2) kepastian (menentukan peta jalan, arah kebijakan dan pembangunan kelautan). Perlu dicatat, naskah Akademik RUU Kelautan menyebutkan: “Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan di bidang kelautan saat ini sudah terbagi habis dan ditangani lebih dari satu kementerian yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda”. Karenanya, laut sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin, 46 tahun silam, sebagai “the tragedy of the commons”.

    RUU Kelautan ini diharapkan dapat menjadi arahan national ocean policy, sehingga sektor kelautan dapat menjadi arus utama pembangunan nasional dan terjadi percepatan pembangunan kelautan nasional, serta terhindarnya tumpang tindih dan konflik kepentingan antara berbagai pemangku kepentingan di laut.

    Catatan terhadap RUU Kelautan

    Bab III RUU menguraikan 7 aspek dasar pengaturan dan pengelolaan di sektor kelautan: (1) wilayah laut; (2) pembangunan kelautan; (3) pengelolaan kelautan; (4) pengembangan kelautan; (5) penataan ruang dan pelindungan lingkungan laut; (6) penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut; dan (7) tata kelola dan kelembagaan. Terkait 7 aspek tersebut apakah telah diatur dalam tata peraturan perundangan lain dan bagaimana posisinya dalam hirarki sistem perundangan kita perlu dicermati. Terminologi RUU dan undang-undang yang telah ada perlu disesuaikan, sehingga tidak menimbulkan tafsir beragam. Sebagai contoh: terminologi yurisdiksi nasional (dalam RUU, pasal 4) perlu diselaraskan dengan terminologi Wilayah Yurisdiksi dalam Undang-Undang No. 43/2008 tentang Wilayah Negara (Pasal 1 dan Pasal 8). RUU ini telah memberikan dasar hukum bagi pengelolaan perairan di zona tambahan (pasal 5), di laut lepas maupun di kawasan dasar laut internasional (RUU menyebut sebagai “laut yang berada di luar yurisdiksi nasional”, pada pasal 6).

    Pembangunan kelautan masih membutuhkan operasionalisasi dari berbagai rancangan, perumusan dan pelaksanaan dari 8 kebijakan (Pasal 8): (1) kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, (2) kebijakan pengembangan sumber daya manusia, (3) kebijakan pengamanan wilayah kedaulatan, (4) kebijakan tata kelola dan kelembagaan, (5) kebijakan peningkatan kesejahteraan, (6) kebijakan ekonomi kelautan, (7) kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan laut, dan (8) kebijakan budaya bahari. Berbagai kebijakan tersebut masih memerlukan turunan produk hukum (ex. Peraturan Pemerintah). Sinkronisasi dengan produk hukum yang telah ada dan turunan produk hukumnya menjadi kebutuhan, karena berbagai perangkat peraturan tumpang tindih (seperti ditegaskan dalam Naskah Akademik). Prioritas kebijakan kelautan, dalam rangka mendorong penguatan pembangunan kelautan minimal dua aspek: (1) budaya bahari, salah satunya melalui penguatan sistem pendidikan dan penelitian yang berorientasi kelautan (ex. pendidikan tinggi kelautan yang lebih tersedia dan dukungan penelitian bidang kelautan), dan (2) pengembangan industri kelautan (melalui pemanfaatan sumberdaya konvensional, nonkonvensional, maupun jasa kelautan). RUU telah memberikan kepastian hukum dan dukungan politik anggaran untuk menjadikan kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi bangsa, baik di tingkat pusat maupun daerah (pasal 10).

    Bab IV, Bagian Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan (Pagargraf 1 sampai 5) menjelaskan lima sumberdaya kelautan dan pemanfaatannya, yaitu: (1) Perikanan (Pasal 11 sampai Pasal 15), (2) Energi dan Sumber Daya Mineral (Pasal 16 dan 17), (3) Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 18), (4) Hutan Bakau (Pasal 19), dan (5) Sumber Daya Alam Nonkonvensional belum (Pasal 20 dan 21). Definisi sumberdaya yang dimaksud perlu dijelaskan dalam Penjelasan sehingga tidak tumpang tindih satu dengan yang lain. Sebagai contoh: Undang-Undang Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Undang-Undang 1/2014, pasal 1 menyebutkan: “Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain…dst.” Terminologi hutan bakau (Pasal 19) perlu disesuaikan agar tidak dimaknai sebagai bakau (dari marga Rhizopora saja), tetapi ekosistem/hutan mangrove. Selain lima sumberdaya yang dimaksud dalam RUU, sumberdaya terumbu karang, perlu diwadahi dalam RUU ini karena terumbu karang menjadi sumberdaya yang sangat penting dan menjadi perhatian dunia saat ini. Indonesia telah menjadi inisiator bagi terbentuknya Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) bersama lima negara lain pada tahun 2009.

    Dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan perlu mempertimbangan dinamika tata kelola di tingkat internasional. Sebagai contoh, pada bagian Perikanan (pasal 11-15), pengelolaan sumberdaya ikan-ikan tertentu yang bermigrasi lintas Negara (ex. Tuna) semakin dominan dilakukan oleh komunitas masyarakat dunia. RUU perlu mempertegas bahwa Indonesia harus berpartisipasi aktif dan mengklaim hak atas sumberdaya dalam tata kelola tersebut untuk mendapatkan manfaat lebih dari sumberdaya ikan (terkait permasalahan pada uraian ini salah satu contoh adalah: CCSBT menetapkan kuota Indonesia hanya 700-750 ton per tahun sementara Taiwan dan Korea Selatan lebih dari 1000 ton dan Australia serta Jepang mencapai 3400-5500 ton per tahun untuk tuna sirip biru dari selatan atau SBT/southern bluefin tuna, salah satu ikan termahal saat ini, yang habitatnya juga sebagian ada di Indonesia è diplomasi laut). Pengelolaan sumberdaya perikanan juga perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia.

    Pengelolaan dan pengembangan industri kelautan seperti dijelaskan pada Bab IV Bagian Kedua (Pengusahaan Sumberdaya Kelautan) sangat penting karena mempertegas pentingnya integrasi pengembangan industri kelautan dengan kebijakan pengelolaan dan pengembangan industri nasional. Dua isu terkait industri kelautan, yaitu: pertama, definisi industri kelautan dan industri maritim perlu dirumuskan secara lebih jelas dan disepakati (definisi tersebut perlu dimasukan pada Bagian Penjelasan). Sebagai pembanding, pengantar Blackwell companions to contemporary economics, menuliskan “maritime economics is the economics of maritime transportation, i.e., an economic analysis of its users (shippers and passengers), primary service providers (transportation carriers and ports), secondary service providers (e.g., ship pilots and towage, ship agents, stevedores and freight forwarders) and resources (e.g., labor, infrastructure and mobile capital such as ships)” (Talley (), 2012). Industri kemaritiman karenanya cenderung memiliki makna industri terkait transportasi dan perhubungan laut serta jasa-jasanya. Disisi lain, Surıs-Regueiro et al. (2013), dalam tulisannya berjudul “Marine economy: A proposal for its definition in the European Union” secara rinci menjelaskan klasifikasi sektor ekonomi kelautan dan indutrinya di Eropa. Berdasarkan Surıs-Regueiro terdapat 9 sektor ekonomi kelautan, yang selanjutnya dibagi kedalam 32 sub-kelompok industri kelautan. Kelompok industri selanjutnya dibagi tiga, yaitu: (1) industri yang aktivitasnya sepenuhnya di laut (activities completely marine), aktivitas utama di laut (activities mainly marine), dan aktivitas sebagian di laut (activities partially marine). Kedua, pengelompokkan industri dalam RUU (pasal 9 dan pasal 22-24) telah menjelaskan tiga sub kelompok industri kelautan, yaitu: (1) industri bioteknologi, (2) industri maritim (meliputi: galangan kapal; pengadaan dan pembuatan suku cadang; peralatan kapal; dan perawatan kapal), dan (3) jasa maritim (meliputi: pendidikan dan pelatihan; pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam; pengerukan dan pembersihan alur pelayaran; reklamasi; pertolongan dan pencarian; remediasi lingkungan; jasa konstruksi; dan angkutan sungai dan pulau). Pengelompokkan industri tersebut belum secara utuh mengambarkan dan menyatukan sektor kelautan yang ada. Sebagai contoh: walaupun Perikanan telah dijabarkan dalam Pasal 11 sampai Pasal 15, dan Wisata Bahari pada Pasal 25, tetapi berdasarkan uraian industri kelautan (Pasal 22 sampai Pasal 24) keduanya tidak masuk dalam kategori industri kelautan. Padahal, keduanya termasuk dalam kelompok industri kelautan.

    Terkait Pengembangan Kelautan (Bab VII), khususnya Bagian Kesatu (Pasal 29), Sumber Daya Manusia, RUU telah menjelaskan pentingnya pembangunan pendidikan dan kesehatan. Aspek ini sangat penting bagi sektor kelautan. Jika fokus pada sektor kelautan menjadi prioritas saat ini dan ke depan, strategi pengembangan SDM perlu lebih dapat operasionalkan. Sebagai gambaran: Pendidikan kelautan dan perikanan telah ada dikembangkan pada 50an perguruan tinggi negeri (selain perguruan tinggi swasta) dengan berbagai level organisiasi pengelolaan terkait bidang ilmu. Saat ini terdapat 119 Program Studi Perikanan, 46 Prodi Kelautan, 26 Prodi Kepelayaran (di PTN dan PTS). Secara organisasi, bidang ilmu kelautan dan perikanan yang telah dikembangkan saat ini tergabung dalam program studi atara lain: (1) Manajemen Sumberdaya Perikanan/Perairan, (2) Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, (3) Budidaya Perikanan, (4) Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, (5) Sosial Ekonomi Perikanan, (6) Ilmu Kelautan, dan (7) Teknik (Teknik Perkapalan atau nama lainnya) serta (8) Kepelayaran, dan nama yang lainnya. Perguruan tinggi atau Fakultas Kelautan perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dan menjadi kewajiban yang diatur dalam RUU, termasuk di perguruan-perguruan tinggi besar dan ternama, sehingga dapat menjadi bagian strategi menuju Budaya Bahari.

    Terkait Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, RUU memberikan landasan yuridis yang penting terkait pengembangan IPTEK Kelautan. Pasal 33 juga telah mengatur peran pemerintah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing, yaitu dengan melaporkan hasil penelitian kepada negara. RUU perlu mempertegas peran Negara dalam mengatur kegiatan riset, sehingga tidak hanya melaporkan hasil. Butir 11 UU 17/1985 mengamanatkan: “….kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut Teritorial atau Perairan Kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanakan dalam Laut Teritorial/Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.”

    Aspek Penataan Ruang dan Pelindungan Lingkungan Laut menjadi aspek yang sangat penting dalam tata kelola laut sebagai milik Negara (milik bersama). Penataan tersebut telah menyangkut bagian permukaan laut, kolom laut, dan dasar laut untuk menghindari berbagai konflik kepentingan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah memberikan 4 amanat terkait pengelolaan wilayah pesisir, yang meliputi Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi, tetapi hanya beberapa daerah saja memiliki rencana-rencana tersebut. Bab VIII RUU ini perlu secara sinergis dirumuskan dengan perundangan yang sebelumnya ada. Butir 3, Ruang Lingkup, Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 menguraikan: “Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan”. Karenanya, wilayah perairan yang belum tercangkup di dalam peraturan yang ada perlu diatur tatagunanya.

    Penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan (Bab IX) telah diuraikan dengan prinsip, terkoordinasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali. Lembaga koordinasi tersebut perlu dijamin mampu dan dapat melakukan fungsinya.

    Peran Serta Masyarakat telah dijelaskan dalam Bab XI, yang meliputi: (a) partisipasi dalam pelestarian nilai-nilai budaya, wawasan bahari, dan merevitalisasi hukum adat dan kearifan local di bidang kelautan; atau (b) partisipasi dalam pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi. Ketegasan tentang Pengakuan dan Penetapan Hak Masyarakat atas Sumberdaya, terutama hak adat perlu secara eksplisit diatur.

    Penutup

    RUU Kelautan sangat penting untuk memberi landasan yuridis, menjadi payung dan penuntun arah kebijakan kelautan nasional. RUU ini telah dihasilkan dari kajian akademis yang komprehensif, namun demikian perlu secara seksama memperhatikan berbagai perangkat perundangan yang ada. Hal ini penting karena seperti telah diuraikan dokumen Naskah Akademik, terdapat banyaknya perangkat perundangan yang terkait kelaut dan laut seolah “terbagi habis” dengan adanya banyak ketentuan tersebut.

    Undang-Undang Kelautan sebagaimana diharapkan banyak pihak harus mampu menjamin tatakelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan, memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan (ocean economy), dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang segani.

    Mengatur kewenangan yang sangat banyak dan tumpang tindih di sektor kelautan membutuhkan lembaga koordinasi yang kuat dan tangguh. Lembaga yang secara operasional dapat bekerja dan mengatur dengan baik menjadi kebutuhan. Lembaga koordinasi tersebut juga sangat penting dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut.

    Semoga Indonesia semakin jaya dan disegani di laut.

    Daftar Rujukan

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara

    Talley, W.K., (ed.), 2012. The Blackwell companion to maritime economics. Blackwell Publishing Ltd.

    Surı´s-Regueiro, J.C., M.D. Garza-Gil, M.M. Varela-Lafuente, 2013. Marine economy: A proposal for its definition in the European Union. Marine Policy 42: 111–124.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (disampaikan pada Konsultasi Publik & Jaring Pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 18 September 2014 di UGM).

  • Daulat Pangan dari Sumberdaya Perikanan Laut *

    Daulat Pangan dari Sumberdaya Perikanan Laut *

    Pengantar

    Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan sumber protein utama bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.

    Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan indirect human consumption seperti bahan baku pakan ikan dan ternak.

    Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam pecaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara, untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang luas dan sumberdaya ikan yang kaya yang belum dimanfaatkan secara optimal.

    Total produksi ikan Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari hanya 7 juta ton pada tahun 2006 menjadi lebih dari 11 juta ton saat ini. Peran perikanan budidaya semakin besar, bahkan sumbangan produksinya telah setara atau bahkan lebih dari perikanan tangkap saat ini. Kecenderungan peningkatan kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang, dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.

    Peningkatan cepat produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat. Komsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012, dengan total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan ikan ke depan. Josupeit dan Frans (2003) memperkirakan permintaan ikan untuk konsumsi langsung (direct consumption) pada tahun 2030, mencapai lebih dari 120 juta ton atau 3 juta ton lebih tinggi dari jumlah saat ini. Melihat perkembangan permintaan ikan yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat, maka akan terjadi defisiensi suplai ikan ke depan.

    Perikanan merupakan komoditas yang kegiatan produksinya sangat berorientasi pasar. Total nilai ekspor produk perikanan dunia mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus menaik (2012-2013 naik 5%). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) terus mengalami peningkatan, yaitu dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan mencapai US$35.3 miliar pada tahun 2012. Perkembangan nilai perdagangan komoditas perikanan tersebut jauh melalmpaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula, pisang, teh, tembakau, beras, daging dan susu). Kecenderungan yang sama juga dapat dilihat pada trend ekpor produk pertanian Indonesia, yang menunjukkan ekpor perikanan yang melampaui eskpor komoditas pangan pertanian lainnya.

    Seiring dengan permintaan ikan yang terus meningkat, berbagai data juga menunjukkan harga komoditas perikanan (baik segar maupun olahan) juga terus meningkat, bahkan melampaui harga komoditas pertanian lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun 2002-2004 dengan nilai 100, FAO Fish Price Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun 2012-2013) (FAO 2014). Peningatan harga tersebut berkait erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi baik produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokan.

    Kemampuan memproduksi ikan untuk kebutuhan dalam negeri menjadi satu faktor penting untuk menjaga ketahanan/kedaulatan pangan, baik ikan sebagai sumber protein utama maupun produk perikanan lainnya sebagai sumber karbohidrat seperti rumput laut. Adanya kecenderungan impor ikan dengan laju pertumbuhan yang meningkat dalam decade terakhir, khususnya ikan untuk diolah lebih lanjut oleh industry pengolahan memberikan sinyal pentingnya pengelolaan sumber perikanan untuk menjaga kedaulatan pangan protein nasional.

    Produksi ikan dapat dilakukan melalui dua kegiatan utama, yaitu (1) perikanan tangkap dan (2) perikanan budidaya. Laut menyediakan ruang produksi yang sangat luas baik untuk kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya.

     

    Permasalahan Pengelolaan Perikanan

    Peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitatif produksinya mencapai lebih dari separuh total produksi ikan di Indonesia. Di sisi lain, penurunan laju produksi ikan dan habitatnya semakin meningkat, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Trade-off antara kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Perikanan sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin sebagai “the tragedy of the commons”.

    Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal dan terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya baik berdasarkan komoditas maupun wilayah. Armada perikanan Indonesia juga sangat timpang, dengan 70% adalah armada perikanan tradisional (lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan hanya mengandalkan kapal-kapal kecil). Kapal ikan berukuran di atas 30 GT masih sangat terbatas, apalagi kapal ikan di atas 100GT. Pelabuhan perikanan sebagai sarana pendaratan ikan juga sangat terbatas. Sehingga perluasan usaha perikanan di lepas pantai (luar 12 mil dan ZEEI) masih sangat terbatas.

    Maraknya praktek perikanan IUU (ilegal, unreported and uregulated fishing) telah merugikan negara sangat besar (diperkirakan dengan nilai mencapai lebih dari Rp30 triliun) dan mengancam ketersediaan sumberdaya ikan untuk masa yang akan datang.

    Konflik perikanan juga menjadi berita setelah di era 1970an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.

    SDM perikanan masih sangat lemah, dengan tingkat pendidikan 70% hanya SD atau tidak lulus SD. Perguruan tinggi yang memiliki fakultas kelautan dan perikanan juga masih terbatas. Pada saat bersamaan ipteks yang adaptif (lokasi, sosial dan ekonomi) juga masih terbatas.

    Upaya untuk Pengelolaan Perikanan

    Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok Agraria No. 5/1960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (pasal 47), walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak ada. Belajar dari pengalaman pengelolaan perikanan di Negara lain sepeti Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan program pengkayaan stok ikan. Pengakuan hak pengelolaan sumberdaya perikana dan penguatan intitusi local (masyarakat atau masyarakat adat) akan memberikan ruang bagi partisiapasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan.

    Orientasi pembangunan perikanan perlu segera berubah dari kebiasaan mengejar target dan berorientasi ke luar kearah perbaikan kualitas hidup nelayan dan penyelamatan sumberdaya ikan. Perpaduan berbagai pola pengelolaan dengan demikian dibutuhkan. Pada tingkat lokal, pola pengelolaan berbasis masyarakat dapat diadopsi atau lebih diberdayakan. Pengakuan hak atas sumberdaya ikan dalam hal ini diperlukan atau dengan kata lain akses terhadap sumberdaya ikan oleh siapapun (open access) sudah saatnya dibatasi. Upaya ini perlu dipadukan dengan pengembangan industri pembenihan ikan untuk kebutuhan pengkayaan sumberdaya ikan dan pengembangan industri budidaya. Kerjasama antara daerah dan regional juga juga perlu diperkuat untuk menghindari berbagai konflik perikanan.

    Pemerintah mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan (”total allowable catch”, TAC) melalui SK Menteri Pertanian No. 473/Kpts/IK.250/6/1985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie (ZEEI). Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perikanan yang baru No. 34/2004 juncto UU 45/2009. Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 9/1985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.

    Seiring dengan semakin menipisnya stok sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi perlu diintroduksi. Produksi masal benih ikan menjadi kunci pengembangan program pengkayaan stok dan harapan untuk ini sangat terbuka dengan keberhasilan produksi benih jenis-jenis ikan yang terancam misalnya kerapu. Keberhasilan perbenihan juga mejadi kunci pengembangan budidaya, walaupun saat ini budidaya sedang berbalik ke spesies introduksi misalnya udang vannamei. Upaya ini dipadukan dengan upaya rehabilitasi habitat ikan yang rusak karena berbagai aktivitas manusia.

    Pengembangan secara berkelanjutan industry budidaya ikan, yang sinergis dengan industri penangkapan, untuk mencukupi kebutuhan pangan dan indutri. Pendekatan pengembangan kegiatan produksi perikanan berbasis ekosistem (berbasis penataan ruang) perlu diintroduksi dan diperkuat untuk mengurangi sekat-sekat administrative dalam pengelolaan.

    Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan.

    Untuk meningkatkan kemampuan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai sumber pangan bergizi, mata pencaharian, dan lapangan kerja diperlukan berbagai upaya strategis melalui (1) penguatan industry perikanan nasional melalui penguatan armada perikanan (percepatan perubahan struktur armada perikanan yang timpang), sarana prasarana perikanan dasar (pendaratan, pelabuhan, listrik, air, es, dan BBM), dukungan pembiayaan, dan pengembangan SDM. Upaya ini juga menjadi bagian dari upaya mengurangi atau bahkan menghentikan impor pangan, termasuk ikan; (2) politik perikanan/kelautan termasuk diantara anggaran untuk pengembangan industri perikanan secara berkelanjutan, dengan penguatan ekonomi biru; (3) insentif permodalan, kelembagaan dan pemasaran untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan; (4) penguatan sistem logisitik perikanan nasional, (5) jaminan kepastian hukum dan keamanan usaha, termasuk diantaranya adalah tata ruang laut yang lebih jelas; (6) pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pendekatan ekonomi biru.

    Perikanan Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang besar dengan potensi sumberdaya yang ada, tetapi masih lemah dalam keunggulan kompetitif. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah penguatan kapasitas SDM dan teknologi kelautan dan perikanan. Industri yang bernilai tambah (baik produk perikanan maupun produk kelautan lainnya termasuk bioteknologi kelautan) dalam perikanan hanya dapat dikembangnkan jika didukung ketersediaan teknologi dan SDM yang memadai, selain factor-faktor lain yang telah disebutkan sebelumnya. Daya saing yang rendah juga karena jiwa enterpreneuship yang lemah.

    Keterlibatan masyarakat internasional melalui berbagai lembaga internasional (contoh: IMO, IOTC, CCSBT) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kuat mempengaruhi pola pengelolaan industri perikanan laut kita. Walaupun Indonesia menjadi habitat (tempat bereproduksi dan beruaya) sumberdaya ikan ekonomis penting, tetapi belum tentu dapat menikmatinya karena berbagai batasan oleh regulasi internasional. Sebagai contoh, dalam pengelolaan tuna sirip biru dari selatan (SBT), CCSBT hanya memberi kuota Indonesia kurang lebih 800 ton per tahun, di bawah kuota Korea Selatan dan Taiwan yang masing-masing lebih dari 1.000 ton per tahun atau Jepang dan Australia lebih dari 3000 ton per tahun. Karena itu, politik perikanan (termasuk diantaranya loby dan adu argumentasi) menjadi sesuatu yang harus diperkuat dan bahkan dikuasai oleh Indonesia.

    *) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (dipersiapkan untuk bahan Buku Putih UGM Pembangunan Maritim Indonesia (Agustus 2014).

  • Daulat Pangan Ikani dan Visi Kelautan DIY

    Daulat Pangan Ikani dan Visi Kelautan DIY

    Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 145 juta ton, 90 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 55,1 juta ton. Dari total produksi tersebut, 117,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepenting indirect human consumption seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam pecaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara, untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam.

    Total produksi ikan Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari hanya 7 juta ton pada tahun 2006 menjadi lebih dari 11 juta ton saat ini. Peran perikanan budidaya semakin besar, bahkan sumbangan produksinya telah mencapai lebih dari 50% saat ini. Kecenderungan peningkatan kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang, dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.

    Peningkatan cepat produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat. Komsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi hampir 18 kg/kapita/tahun saat ini. Total konsumsi ikan masyarakat dunia telah meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan ikan ke depan. Josupeit dan Frans (2003) memperkirakan permintaan ikan untuk konsumsi langsung (direct consumption) pada tahun 2030, mencapai lebih dari 120 juta ton atau 3 juta ton lebih tinggi dari jumlah saat ini. Melihat perkembangan permintaan ikan yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat, maka akan terjadi defisiensi suplai ikan ke depan.

    Putar kemudi orientasi pembangunan di DIY: dari among tanike dagang layar

    Permasalahan suplai ikan telah dirasakan oleh industri pengolahan ikan nasional. Setelah bertahun-tahun Indonesia menjadi eksportir produk perikanan, dalam dekade terakhir juga gencar mengimpor ikan, walaupun dari sisi nilai masih kecil dibandingkan ekspor, tetapi dari sisi laju pertumbuhan peningkatannya sangat pesat. Pada awal tahun 2000 total impor ikan Indonesia bernilai dibawah US$50 juta, meningkat hampir lima kali lipatnya dalam tahun-tahun terakhir. Survai yang dilakukan oleh para mahasiswa Jurusan Perikanan UGM, dalam praktikum lapangan Pengantar Ekonomi Perikanan di Juwana, Pati, (sentra perikanan Jawa Tengah) mendapatkan responden pengolah ikan seperti pidang mulai mengandalkan bahan baku impor untuk olahan ikan.

    Untuk mengakselerasi pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus mendorong terbangunnya peradaban baru yang unggul dengan mengambil strategi budaya, yaitu membalik paradigma ‘among tani’ menjadi ‘dagang layar’, dari pembangunan berbasis daratan ke kemaritiman, dengan menggali, mengkaji dan menguji serta mengembangkan keunggulan lokal (local genius). Ajakan perubahan pola pikir dan paradigma pembangunan tersebut perlu terus disosialisasikan dan direalisaikan dengan langkah implementatif yang strategis dalam bidang sistem penganggaran pembangunan daerah, sistem pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat.

    Reorientasi pola pembangunan dengan menjamah laut harus dilakukan mengingat semakin terbatasnya lahan produksi pangan maupun ruang untuk pengembangan ekonomi masyarakat di darat. Di tengah semakin menyusutnya peran sektor pertanian terhadap perekonomian DIY (hanya menyumbang 16,33% total PDRB), belum diikuti oleh perubahan pada struktur tenaga kerja (47,2% rumah tangga di DIY adalah rumah tangga pertanian). Dari jumlah rumah tangga yang ada 80% merupakan petani gurem, dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Sangatlah sulit meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan kepemilikan lahan yang sangat terbatas, apalagi pilihan komoditas usaha adalah komoditas yang tidak kompetitif.

    Pengembangan produksi pangan dari laut, diharapkan dapat menjawab kelemahan DIY dalam memenuhi kebutuhan pangan ikani yang terus meningkat. Hingga saat ini, DIY baru mampu memenuhi 40% dari kebutuhan ikan dari hasil produksi sendiri, yang berarti 60% kebutuhan diimpor dari luar daerah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Jika DIY mampu memanfaatkan 5% potensi lestari sumberdaya ikan yang mencapai 393.600 ton di Selatan Jawa, terdapat potensi produksi sebesar 19.000 ton per tahun. Sementara DIY baru mampu memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut pada tingkat yang sangat rendah, walaupun terus meningkat (produksi perikanan laut hanya 134,93 ton pada tahun 1994 naik menjadi 3.800 ton pada tahun 2010 serta 4.000 ton pada tahun 2012).

    Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan perlu didorong melalui: (1) percepatan penyelesaian dan pengoperasian pelabuhan perikanan Glagah agar memungkinkan perubahan struktur armada perikanan, dari perahu motor temperl menjadi kapal motor ukuran minal 30G. (2) Penyiapan infrastruktur tersebut harus dibarengi dengan persiapan nelayan secara terprogram (social engineering yang adaptif). Karena itu, (3) alokasi anggaran untuk peningkatan kapasitas SDM perlu ditingkatkan secara signifikan (anggaran penguatan SDM hanya 3% dari total anggaran Dinas Kelautan dan Perikanan DIY). Selain perikanan tangkap, (4) budidaya ikan yang memiliki potensi lahan yang mencpai 18.900 hektar, dengan tingkat pemanfaatan hanya kurang dari 12%, perlu terus didorong. (5) DIY juga telah memantapkan diri menjadi pusat perbenihan melalui program Jogja Benih. Pilihan tersebut sangat tepat karena benih menjadi faktor pembatas budidaya ikan dan untuk pengembangan konservasi smberdaya melalui pengkayaan stok ikan (restocking). Jogja Benih karenanya harus mampu menjadi “Jogja Benih Istimewa, Istimewa Benih Jogja”.

    Sebagai kota pendidikan, yang didukung lebih dari 120 perguruan tinggi, penguatan pusat-pusat kajian dan pendidikan kelautan dan perikanan perlu dilakukan sebagai strategi budaya. Melihat jumlah perguruan tinggi dan program studi yang berorientasi di bidang kelautan dan perikanan yang sangat minim (satu akademi perikanan, satu akademi kemaritiman, dan satu jurusan perikanan, serta beberapa lab kelautan), maka visi tersebut sangat sulit dicapai jika tidak dimulai dengan mengarahkan dan mendorong pendidikan terutama kurikulum pendidikan berorientasi ke kelautan dan perikanan. Pendidikan kelautan dan perikanan tidak hanya terbatas pada produksi pangan ikani, tetapi obat-obatan melalui pengembangan bioteknologi kelautan, dan pengembangan energi serta berbagai jasa kelautan, termasuk pariwisata. Karena itu, upaya menjawab permasalahan kedaulatan pangan ikani harus dilakukan secara terpadu melalui peningkatan kapasitas produksi dengan penyiapan sarana prasarana perikanan, teknologi, dan sistem pengelolaan yang professional, serta meningkatkan daya saing dengan penyiapakan SDM kelautan dan perikanan.

     

    Suadi, Ph.D., Ketua Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM, e-mail: suadi@ugm.ac.id

  • Dialog Virtual Investasi Perikanan Indonesia Menyongsong 2012

    Dialog Virtual Investasi Perikanan Indonesia Menyongsong 2012

    Dialog ini sebenarnya diilhami dari hasil wawancara tertulis dengan seorang kawan yang bekerja di salah satu media cetak nasional. Setelah saya baca lagi, terdapat beberapa hal menarik yang perlu dikembangkan dari dialog tersebut. Utamanya lagi, poin-poin penting dari dialog tersebut perlu dishare untuk bahan pelajaran dan diskusi lanjut. Selamat membaca!


    Pewawancara:

    Apa kabar kang? Lama tidak bersua. Saya tertarik menulis tentang prospek bisnis usaha perikanan. Bisa berbagi informasi tentang hal tersebut?


    Tanggapan:

    Baik kang. Iya lama tidak berjumpa. Sepertinya kita perlu buat acara reuni dengan kawan-kawan lama ya. Moga saja tahun depan kita bisa bertemu dan saling berbagi. Terkait perikanan, pasti dengan senanghati karena inilah dunia yang saya geluti dan saya cintai. Saya sangat senang ketika sekarang sudah semakin banyak orang dan semakin banyak peminat yang mendalami bidang ilmu perikanan dan kelautan ini. Bahkan saat ini media-media massa juga semakin rajin memberitakan tentang perikanan dan kelautan. Hal yang sangat mengembirakan dan terima kasih sudah mengontak untuk berbincang-bincang mengenai hal ini.

    Pewawancara:

    Baiklah, langsung pada beberapa pertanyaan ya! Jika seseorang atau suatu lembaga akan melakukan atau tertarik untuk melakukan investasi pada usaha perikanan, faktor-faktor apa saja yg perlu diperhatikan sebelum berinvestasi pada usaha ini?

    Tanggapan:

    Pertama, sebelum menjawab secara langsung pertanyaan ini, ada baiknya dipahami bahwa usaha perikanan, khususnya di sektor primer (yaitu kegiatan penangkapan dan budidaya perikana) memiliki karakter berbeda terkait aspek yang perlu diperhatikan dalam berinvestasi. Kedua usaha tersebut memang sama-sama membutuhkan analisis kelayakan baik kelayakan lokasi, finansial atau ekonomi maupun sosial untuk pengembangan kegiatan usaha perikanan. Yang lebih utama, tentu saja keduanya harus dengan jeli melihat pasar. Bahkan, investasi perikanan harus mampu menangkap sinyalemen pasar sebelum berproduksi atau dalam bahasa para pelaku pasar saat ini, “perikanan harus menjual apa yang dibutuhkan pasar, tidak sekadar memproduksi untuk dijual ke pasar”. Karena itu, dinamika pasar hasil perikanan wajib menjadi perhatian utama.


    Pewawancara:

    Bagaimana sesungguhnya kondisi dan prospek pasar hasil perikanan saat ini?

    Tanggapan:

    Sesungguhnya potensi pasar komoditas perikanan masih terbuka lebar. Untuk potensi pasar dunia bisa diamati dengan mudah dari pertumbuhan konsumsi ikan. Pertumbuhan konsumsi ikan dunia telah meningkat dari 11,5 kg per kapita per tahun di tahun 1970an, menjadi 14,4 kg per kapita per tahun di tahun 1990an, dan menjadi 17 kg per kapita di tahun 2007. FAO (2010) memproyeksikan bahwa dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk dunia saat ini, dan tingkat komsumsi yang stabil maka dibutuhkan jumlah ikan yang sangat besar dimasa yang akan datang. Bahkan beberapa hasil kajian menunjukkan kecenderungan permintaan yang jauh melampaui kemampuan produksi perikanan suatu wilayah. Untuk pasar domestik, potensi pasar tersebut juga masih terbuka lebar. Bahkan, untuk beberapa daerah seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, daerah dengan konsumsi ikan terendah secara nasional, harus mengimpor lele lebih dari separuh permintaan dari daerah sekitarnya, seperti Boyolali dan Tulungagung. Lebih dari itu, mencermati perkembangan dalam dekade terakhir, banyak industri pengolahan ikan mengimpor ikan dari negara-negara lain untuk menutupi kekurangan pasokan bahan baku dari produksi nasional. Karena itu, perikanan sepertinya masih memiliki prospek yang bagus untuk dikembangkan

    Pewawancara:

    Kembali pada karakter investasi pada perikanan tangkap dan perikanan budidaya yang diuraikan sebelumnya, apa kekhasan masing-masing usaha tersebut?

    Tanggapan:

    Investasi pada perikanan tangkap memerlukan perhitungan yang cermat dan hati-hati untuk saat ini karena tingkat persaingan pemanfaatan sumberdaya ikan sangat tinggi untuk beberapa wilayah, khususnya di wilayah pantai (< 12 mil) dan terutama di wilayah bagian barat Indonesia. Investasi perikanan tangkap d wilayah timur masih sangat potensial dari sisi ketersediaan stok (sumberdaya ikan), tetapi tantanganya masih terletak pada masalah infrastruktur perikanan seperti akses transportasi, pelabuhan pendaratan ikan dan coldstorage. Kekurangan bahan baku pada industri pengolahan, khususnya pengalengan ikan yang terjadi saat ini dapat menjadi peluang investasi pada perikanan tangkap, baik untuk ikan pelagis kecil lemuru dan kembung maupun pelagis besar seperti tongkol dan tuna. Peluang pasar ekspor masih terbuka, tinggal memperhatikan beberapa persyaratan seperti persyaratan higienis, santitasi dan lingkungan. Untuk memudahkan akses ke berbagai pasar, isu-isu lingkungan sudah harus menjadi fokus perhatian kegiatan produksi dan perdagangan hasil perikangan tangkap.

    Pewawancara:

    Mendengar penjelasan tadi nampak bahwa isu lingkungan sangat krusial bagi pengembangan dan investasi pada usaha perikanan tangkap, bisa dielaborasi lebih jauh?

    Tanggapan:

    Betul, isu-isu lingkungan semakin mengemuka karena realitas ekploitasi sumberdaya ikan yang telah melampaui daya dukung sumberdaya tersebut, atau terjadinya ekploitasi berlebihan sumberdaya ikan, yang terjadi di banyak wilayah perairan dunia. Bahkan untuk mengatur ekploitasi sumberdaya ikan saat ini, telah dibentuk lembaga-lembaga koordinasi antar negara yang khusus mengatur jumlah atau kuota ikan yang boleh ditangkap untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya tersebut. Bahkan lembaga-lembaga tersebut seperti memiliki kuasa mengatur negara anggotanya, sehingga satu negara yang berdaulat atas wilayah perairannya kadang tidak terlalu memiliki kuasa mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan dalam wilayahnya. Sebagai contoh, untuk menangkap ikan tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna), ikan tuna yang sangat mahal, yang beruaya di Samudra Hindia dan beranak pinak di perairan Indonesia, telah ada lembaga yang mengatur pemanfaatannya, yaitu CCSBT (Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna). CCSBT inilah yang membagi kuota jumlah ikan yang boleh ditangkap kepada tiap negara anggotanya. Indonesia, sayangnya hanya mendapat kuota yang jauh di bawah Australia, Jepang, bahkan Taiwan, walaupun diketahui habitat pemijahan ikan tersebut di Indonesia. Itu salah satu ilustrasi terkait dengan isu lingkunga pada aspek produksi perikanan tangkap. Terkait aspek perdagangan, banyak sekali isu-isu lingkungan yang terlibat, sehingga isu tersebut menjadi semacam mekanisme untuk menghambat, atau sebagai non-tariff barrier.

    Pewawancara:

    Perikanan tangkap sepertinya memiliki tantangan besar untuk pengembangan ke depan, bagaimana dengan investasi pada perikanan budidaya?

    Tanggapan:

    Walaupun memiliki banyak tantangan, perikanan tangkap tetap memiliki prospek yang baik karena permintaan komoditas hasil perikanan tangkap masing sangat tinggi, hanya usaha ini perlu dikelola dengan lebih baik.
    Untuk investasi perikanan budidaya, seperti telah saya sampaikan dalam Kompas Ekstra edisi Investasi 2012, terdapat dua peluang investasi yang sangat menarik dan potensial: pertama, pembenihan ikan dan kedua, pembesaran. Pembenihan ikan dapat memberikan tingkat pengembalian yang cepat dan menguntungkan serta beraneka ragam produk yang bisa dihasilkan. Sebagai ilustrasi, pembenihan gurami dapat menghasilkan sekurang-kurangnya lima komoditas yang dapat dijual, dari telur sampai benih ukuran kiloan (5-6 ekor per kg). Masing-masing ukuran memberikan keuntungan yang berbeda dengan selisih harga jual yang menarik untuk para investor (lihat http://suadi.staff.ugm.ac.id/wp-content/ragam-produk-benih-gurami.jpg). Benih ikan laut seperti kerapu juga menjadi komoditas yang sangat diminati, bahkan produksi benih kerapu bervaksin telah dilakukan untuk mengurangi angka kematian (resiko benih mati). Peluang investasi pada industri perbenihan masih sangat lebar, karena pemain masih terbatas. Namun demikian, bisnis perbenihan memerlukan ketelatenan dan kesabaran yang lebih karena memelihara benih sama seperti halnya memelihara bayi.

    Satu hal yang perlu saya tambahkan, keberhasilan para pembenih ikan dalam menghasilkan benih dalam jumlah massal, selain dapat mendorong berkembangannya industri budidaya juga akan mendorong kegiatan rehabilitasi atau konservasi sumberdaya ikan. Karena benih-benih ikan tertentu dapat ditebarkan kembali ke perairan, yang kemudian dapat ditangkap untuk kegiatan perikanan tangkap. Karena itu, bisnis berbenihan ini merupakan bisnis mulia, tidak hanya memiliki potensi keuntunggan ekonomi yang tinggi, tetapi secara potensial dapat menjadi penyelamat sumberdaya ikan dan penyelamat pekerjaan nelayan.

    Sementara, untuk usaha pembesaran ikan, secara teknis sesungguhnya ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu benih dan pakan. Tanpa benih tidak ada kegiatan budidaya, demikian kata para pembudidaya ikan. Sehingga ketika akan berinvestasi pada kegiatan budidaya ikan, perhatikan dengan baik ketersedian, kualitas dan kontinuitas dari benih untuk kegiatan pembesaran. Bahkan berinvestasi dilahan marginalpun, seperti lahan dengan kekurangan air, dapat dilakukan dengan teknologi seperti kolam terpal asal tersedia benih. Faktor kedua, pakan, menjadi sangat penting diperhatikan karena biaya produksi perikanan budidaya sebagian besar, bahkan lebih dari separuh biaya, untuk pakan. Keberhasilan dalam manajemen pakan berarti keberhasilan dalam kegiatan budidaya scara keseluruhan. Sebagai contoh, pembudidaya patin di Kampung Patin di Kabupaten Kampar, Riau dapat menikmati keuntungan yang lebih tinggi kegiatan pembesaran karena dapat menyusun ransum pakan yang biayanya kurang dari separuh harga pakan pabrik, yang mencapai Rp 8000 per kg.

    Pewawancara:

    Bagaimana kira-kira profil umum kelayakan finansial pengembangan usaha perikanan?

    Tanggapan:

    Analisis usaha perikanan telah banyak dilakukan, bahkan Bank Indonesia melalui Portal Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil (http://www.bi.go.id/sipuk/id/?id=4&no=94) memberikan guidelines umum untuk investasi pada beberapa komoditas perikanan. Investasi pada budidaya kerapu, misalnya, dalam waktu 12-18 bulan sudah dapat memberikan pengembalian modal (payback period), dengan net benefit cost (B/C) ratio mencapai lebih dari lima. Waktu yang hampir sama juga ditemukan pada usaha budidaya patin (payback period 1 tahun 9 bulan) dengan rasio B/C lebih dari dua. Usaha perikanan tangkap jika dikelola dengan baik juga memberikan keuntungan yang baik. Sebagai contoh, perikanan pelagis dengan jaring insang (gill net) dapat memberikan rasio B/C sebesar 1,6 dengan waktu pengembalian seluruh investasi 2,5 tahun. Hal yang hampir serupa juga pada perikanan pelagis dengan pukat cincin (purse seine). Karena itu, usaha perikanan sesungguhnya masih memiliki prospek yang baik dan layak dikembangkan. Tinggal bagaimana mengelola penerimaan dari usaha perikanan tersebut. Masalah pengelolaan keuangan menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha perikanan, khususnya perikanan tangkap. Sebagian besar nelayan sering dikatakan cenderung dekat dengan kemiskinan, salah satu karena masalah pengelolaan pendapatan yang diterima, bukan karena permasalahan kelayakan usaha.


    Pewawancara:

    Walaupun memiliki prospek dan kelayakan usaha yang baik, sekilas terlihat tidak terlalu banyak peminat swasta nasional dalam kegiatan investasi pada usaha perikanan. Bagaimana kondisi dan kecenderungan investasi perikanan saat ini?

    Tanggapan:

    Terkait investasi, menarik memang jika menengok data BKPM. Berdasarkan data-data tersebut nampak bahwa investasi perikanan sesungguhnya digerakkan atau didominasi oleh penanaman modal asing (PMA). Data BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi melalui PMA sampai pada triwulan ketiga tahun 2011 mencapai US$8,3 juta dengan total proyek perikanan 22 buah (http://www.bkpm.go.id/file_uploaded/public/ PMA%20SEKTOR.pdf). Sementara penanaman modal dalam negeri sangat kecil dengan jumlah proyek investasi hanya 5 buah. Hal ini memang mengindikasikan bahwa minat perusahaan nasional pada usaha ini masih kecil dan ini perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah dalam rangka membangun perikanan nasional yang tangguh. Tentu saja usaha perikanan harus dihindarkan dari dominasi asing dan hal ini harus menjadi perhatian serius semua pihak. Kalau di depan saya menyampaikan prospek yang besar pada usaha perikanan budidaya, kalau pengembangannya tidak diikuti dengan strategi pengembangan industri pakan ikan nasional, maka penikmat keuntungan budidaya ikan adalah industri pakan yang saat ini sebagian besar dikuasai asing. Karena itu, industri perikanan nasional nampaknya perlu terus didorong atau difasilitasi agar dapat berkembang lebih cepat.

    Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pengusaha-pengusaha lokal semakin banyak bermunculan saat ini. Kompas tanggal 24 Oktober 2011, misalnya, melaporkan tentang perkembangan pengalengan ikan skala kecil di Muncar yang mencapai 60 unit dan menyerap tenaga kerja mencapai 75-100 orang. Perikanan budidaya skala kecil seperti budidaya lele, nila, gurami, dan patin serta rumput laut juga terus berkembang di daerah-daerah. Bahkan daerah yang terkenal minus air di Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta telah mulai tampil sebagai penghasil lele dengan pelaku usaha masyarakat. Usaha-usaha rakyat seperti ini memang harus dilindungi dan perlu terus didorong.

    Strategi dan realisasi pengembangan indsutri perikanan nasional nampaknya harus segera hadir. Pemerintah saat ini nampak mengkampanyekan istilah industrialiasi perikanan sebagai strategi pembangunan perikanan, setelah sebelumnya beberapa istilah sering terdengar seperti minapolitan, gerban minabahari, dan revitalisasi perikanan. Industrialisasi perikanan harus memiliki akar pada pengembangan industri perikanan yang memiliki kaitan dengan pemanfaatan sumberdaya ikan atau sumberdaya lain yang diproduksi di tanah air.

    Pewawancara:

    Sebagai penutup, bagaimana prospek usaha perikanan di tahun 2012 dan komoditas apa saja yang diperkirakan memiliki daya tarik untuk kegiatan usaha? Jika ada catatan-catatan khusus mohon dijelaskan?

    Tanggapan:

    Saya kira pasar ekspor hasil perikanan belum akan terlalu banyak bergeser dari komoditas yang secara tradisi diekspor oleh Indonesia seperti tuna dan udang. Walaupun komoditas lain seperti rumput laut, kerapu, kakap dan jenis lainnya semakin meningkat perannya. Fillet nila merah juga masih menjadi komoditas penting perikanan air tawar untuk tujuan ekspor. Rumput laut juga masih menjadi komoidtas yang marak dibudidayakan. Untuk pasar domestik komoditas lele, nila, dan patin masih akan marak diusahakan. Gurami juga menjadi komoditas yang penting. Komoditas yang sangat prospektif juga adalah udang galah. Produk ikan siap saji baik dalam bentuh filet segar maupun olahan juga akan semakin mudah ditemukan. Ikan hias sudah saatnya mulai diperhatikan dengan serius lagi dan komoidtas ini bisa menjadi salah satu andalan.

    Tentu saja kita tidak hanya bermain pada kegiatan produksi, tetapi kegiatan pascapanen khsususnya pengolahan ikan harus diperkuat. Untuk memperkuat industri pengolahan tersebut perlu didukung sistem logistik nasional dengan memperkuat sistem rantai dingin (coldstorage dsb) di sentra-setra produksi perikanan dan pasar-pasar tradisional. Dengan persiapan seperti itu, maka laju impor ikan yang meningkat luar biasa dalam dekade terakhir diharapkan dapat dihambat.

    Dengan semakin kuatnya perang dagang menggunakan isu-isu kesehatan dan lingkungan, industri perikanan nasional perlu mempersiapkan diri dengan perangkat sistem kendalai mutu di setiap titik proses produksi hasil perikanan. Tentu saja seluruh kegiatan perikanan dari produksi, pascapanen, dan pemasaran membutuhkan iklim investasi yang baik, kepastian hukum terutama sinkronisasi regulasi pemerintah pusat dan daerah, dan infrastruktur pendukung yang memadai. Lebih dari itu, investasi pada pengembangan manusia perikanan harus diletakkan di bagian yang utama pengembangan perikanan. Karena usaha perikanan saat ini menghadapi kendala utama pada kualitas dan ketersediaan manusia unggul.

    Pewawancara:

    Terima kasih atas tanggapannya, semoga perikanan memasuki tahun 2012 akan jauh lebih baik, lebih produktif dan lebih kompetitif. Selamat berjuang dan Selamat Tahun Baru 2012!

    Tanggapan:

    Selamat berjuang juga dan tetap berkontribusi untuk pembangunan bangsa. Saya juga berharap demikian. Tentu saja perikanan perlu lebih banyak dipublikasikan dan para pegiatnya harus membicarakan, mendokumentasikan dan menyebarluaskan informasinya. Kisah-kisah sukses para nelayan, pembudidaya ikan, pengolah dan pedagang ikan sepertinya harus lebih sering diberitakan, tidak hanya berita yang kurang baik. Selamat Tahun Baru 2012. Semoga tahun ini jauh lebih baik, lebih cepat dan lebih tinggi capaian berbagai rencana kita!

  • Indonesia dan Perburuan Tuna Sirip Biru Selatan

    Beberapa waktu yang lalu, mahasiswa mendiskusikan berita di media masa tentang kenaikan kuota Indonesia untuk tuna sirip biru selatan dari 651 ton saat ini menjadi 685 ton di tahun depan (cek berita berikut). Memang ada sedikit kenaikan kuota (total allowable catch atau TAC) Indonesia, tetapi dibandingkan kuota tahun 2006 jumlah tersebut semakin menyusut. Saya sudah menulis perebutan tuna sirip biru selatan ini dalam dua tiga tulisan sebelumnya (Berburu si Sirip Biru sambil Menabuh Genderang Perang dan Pemburuan Tuna Sirip Biru Bagian II: Jepang Akhirnya Menyerah), dan nampak bahwa kendali pengelolaan perikanan akan semakin dipegang oleh komunitas dunia dibandingkan oleh satu negara. Jika Indonesia tidak piawai dalam melakukan lobi dan berdiplomasi maka industri tuna Indonesia, khususnya jenis tuna sirip biru dari selatan akan semakin suram. Saat inipun, Industri tuna tersebut belum mampu memanfaatkan sumberdaya sesuai kuota. Gambar berikut memberikan ilustrasi profil perikanan tuna sirip biru dari selatan dan kontribusi Indonesia yang terus merosot.

    Production of Southern Bluefin Tuna in Figure and the Declining Roles of Indonesia

  • Pengembangan Jogja Seed Center Perikanan di DIY

    Pengembangan Jogja Seed Center Perikanan di DIY

    Usaha perikanan dunia masih mengandalkan perikanan tangkap baik di perairan umum maupun perairan laut. Produksi perikanan tangkap diperkirakan mencapai 92,0 juta ton (64% dari total produksi), sedangkan budidaya ikan menyumbang 51,7 juta ton. Namun demikian, di berbagai belahan dunia kegiatan perikanan tangkap menghadapi permasalahan ekploitasi sumberdaya secara berlebihan (FAO 2008). Butcher (2004) mengambarkan kondisi ini dengan istilah the closing of the frontier, untuk menunjukkan bahkan lahan untuk pengembangan kegiatan perikanan tangkap, khususnya di Asia Tenggara sudah semakin terbatas. Kegiatan perikanan di wilayah perairan nusantara juga mengalami nasib serupa seperti ditunjukkan dengan semakin menurunnya laju pertumbuhan produksi, produktivitas perikanan, dan kerusakan habitat dalam beberapa dekade terakhir (Suadi 2008). Karena itu, dengan semakin menipisnya suplai ikan dari kegiatan penangkapan, pengembangan perikanan budidaya diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ikan dunia yang terus meningkat yang dipekirakan akan mendekati angka 250 juta ton di tahun 2030 mendatang (Josupeit dan Franz 2003).

    Ketersediaan benih ikan, baik dalam jumlah maupun kualitas yang memadai, merupakan kunci utama keberhasilan usaha perikanan budidaya. Karena itu, sangatlah tepat Laporan Master Plan JSC Provinsi DIY (2008) menyebut “”tanpa benih aktivitas budidaya tak dapat berjalan”. Tidak hanya untuk kegiatan produksi ikan melalui budidaya, kemampuan memproduksi benih yang memadai juga menentukan keberhasilan upaya konservasi sumberdaya ikan, khususnya melalui kegiatan pengkayaan stok sumberdaya ikan (restocking atau stock enhancement). Kegiatan restocking menjadi sangat penting dilakukan saat ini karena ekploitasi berlebihan dan kerusakan habitat telah menyebabkan deplesi sumberdaya ikan, sehingga diharapkan melalui kegiatan tersebut sumberdaya dapat dipulihkan kembali. Selain itu, seiring dengan meningkatnya minat khusus seperti pemancingan, maka penebaran benih ikan di perairan juga menjadi kebutuhan untuk mendukung berkembangnya kegiatan tersebut. Karena itu, pengembangan perbenihan ikan memiliki tiga fungsi utama yaitu menfasilitasi pengembangan kegiatan: (1) budidaya ikan, (2) konservasi sumberdaya ikan, dan (3) minat khusus seperti hobi dan sport fishing. Dengan demikian, pilihan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk mengembangkan Jogja Seed Center (JSC) Perikanan sangat tepat untuk pengembangan usaha, peningkatan konsumsi ikan, dan pembangunan wilayah di masa yang akan datang.

    Potensi pengembangan perikanan di DIY masih terbuka lebar. Dari sisi pasar, kegiatan perikanan saat ini belum mampu memenuhi permintaan ikan yang terus meningkat. Sementara, pemanfataan sumberdaya perikanan yang ada masih terbatas. Pemerintah melaui Program Minapolitan telah menargetkan peningkatan produksi perikanan mencapai lebih dari 3 kali produksi saat ini pada tahun 2014. Target utama peningkatan produksi diharapkan dari perikanan budidaya, karena itu diperlukan ketersediaan benih dalam jumlah besar untuk tujuan tersebut. Sayangnya, unit-unit perbenihan ikan nasional dan daerah (UPT dan UPTD) kemampuan produksi induk dan benihnya masih sangat rendah saat ini (hanya 53 % dari kapasitas produksi total). Di Provinsi DIY, kontribusi UPTD perbenihan hanya 2% dari total produksi benih DIY sekitar 830 juta ekor atau 98% dihasilkan oleh unit perbenihan rakyat (UPR). Permintaan benih ikan di DIY sampai saat ini masih sangat tinggi. Para pembenih ikan bahkan tidak mampu mencukupi permintaan benih yang terus meningkat dari waktu ke waktu baik dari dalam maupun luar wilayah DIY.

    Beberapa keuntungan pengembangan perbenihan ikan diantaranta, yaitu: (1) dapat dilakukan di lahan sempit/terbatas dan lahan-lahan marginal, (2) cashflow yang berputar lebih cepat karena jangka waktu produksi yang pendek, (3) produk (ukuran benih) yang dihasilkan dan diperdagangkan beragam, dan (4) pelaku usaha yang terlibat cukup banyak dan didominasi usaha perbenihan rakyat. Pengembangan usaha ini juga menghasilkan berbagai inovasi sosial, seperti (5) kegiatan usaha berbasis kelompok dan (6) terbangunnya jejaring sosial dan bisnis yang luas baik antara sesama pembenih ikan maupun dengan konsumen benih yang berada di dalam maupun di luar wilayah DIY, bahkan luar pulau Jawa (living with and in network). Keragaman produk yang dihasilkan oleh kegiatan perbenihan telah menggairahkan perekonomian desa. Sebagai ilustrasi, pembenih lele di Kecamatan Ponjong, Gunungkidul, tidak saja berhasil mengembangkan kegiatan usaha dalam kelompok (kegiatan berbasis kelompok), tetapi kelompok tersebut berhasil menyebarkan kegiatan pembenihan untuk masyarakat di luar kelompok di dalam wilayah Gunungkidul. Benih lele yang dihasilkan oleh kelompok di Ponjong dibesarkan hanya pada ukuran 1-3 cm, lalu dijual ke kelompok lainnya di luar Ponjong. Setelah benih dibesarkan mencapai ukuran 5-7 cm, benih kembali dibeli oleh pembenih di Ponjong untuk kemudian dipasarkan untuk kegiatan pembesaran baik di Gunungkidul dan DIY maupun di wilayah lain di luar DIY. Contoh lain, pembenih Gurami di Kulon Progo telah merasakan manfaat besar dari peralihan kegiatan usaha yang mereka lakukan sejak tiga tahun yang lalu dari kegiatan pembesaran menjadi pembenihan. Pembenih gurami mampu memperoleh beberapa keuntungan, tidak hanya keuntungan finansial yang lebih tinggi dibandingkan pembesaran, tetapi juga keragaman produk dan perluasan jaringan usaha yang cukup berhasil (pembenih menyebut perluasan usaha melalui jaringan silaturahmi).

    Walaupun kegiatan perbenihan ikan di DIY terus mengalami pertumbuhan yang positif, namun beberapa tantangan perlu diantisipasi. Ketersediaan induk baik dari segi jumlah maupun kualitas masih dirasakan menjadi masalah. Ketersediaan induk berkualitas tentu saja akan menentukkan keberhasilan produksi benih ikan bermutu. Pada saat bersamaan ketersediaan pakan alami, seperti cacing sutra (Tubifex xp), yang menjadi fase kritis (bottleneck) kegiatan perbenihan masih belum ditemukan jalan keluarnya karena selama ini pengadaan pakan tersebut hanya mengandalkan pengambilan dari alam. Dua contoh tersebut sesungguhnya secara eksplisit menekankan pentingnya riset dasar tentang genetika dan pemuliaan serta upaya budidaya pakan alami. Air juga menjadi isu penting bagi pengembangan usaha perbenihan dan usaha perikanan secara umum di beberapa wilayah. Perebutan pemanfaatan air terjadi antara usaha perikanan dan pertanian serta kebutuhan rumah tangga seperti yang terjadi di Minggir dan Moyudan, Sleman yang memanfaatkan saluran Selokan Mataram sebagai sumber air utama kegiatan budidaya ikan. Di samping itu, perlu disadari bahwa walaupun kegiatan pembenihan merupakan kegiatan yang sangat menguntungkan, tetapi juga memiliki resiko kegagalan yang juga tinggi.

    Pengembangan kegiatan pembenihan ikan ke depan membutuhkan keterlibatan tiga pemangku kepentingan utama: (1) pelaku di sektor publik yang meliputi pemerintah dan termasuk di dalamanya perguruan tinggi dan lembaga riset, (2) pelaku di sektor swasta, dan (3) komunitas yaitu representasi dari para pelaku usaha perbenihan seperti pembenih ikan berpengalaman. Ketiga komponen tersebut diharapkan dapat mendesain secara bersama berbagai kegiatan pengembangan pembenihan ikan di DIY. Terdapat tiga kegiatan pokok yang dapat dikembangkan: (1) pengembangan sistem informasi pembenihan yang memberikan informasi tentang peta dan zonasi perbenihan ikan, agroekologi kegiatan perbenihan, pelaku usaha, dan pemasaran; (2) sinergi kegiatan riset dan pengembangan serta penghiliran hasil riset perbenihan yang dihasilkan oleh perguruan tinggi dan lembaga penelitian untuk diseminasikan dalam berbagai program pendidikan, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat; dan (3) pengembangan varietas dan komoditas baru. Pada akhirnya, melalui pengembangan tersebut diharapkan dapat terproduksi benih yang sesuai baik dari sisi jumlah maupun mutu guna peningkatan produksi hasil perikanan dan pengembangan berbagai kegiatan perikanan lainnya seperti penebaran di perairan umum, konservasi dan minat khusus.

    Suadi
    Jurusan Perikanan UGM
    suadi@ugm.ac.id

  • Masyarakat dan Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    Masyarakat dan Sumberdaya Kepemilikan Bersama

    Pengumuman penghargaan Nobel Ekonomi tahun ini memberikan dua kejutan. Pertama, ini merupakan kali pertama dimenangkan oleh perempuan, Elinor Ostrom dari Indiana University, USA. Kedua, tidak sepenuhnya jatuh ke tangan ekonom seperti Oliver E. Williamson salah satu dari dua penerima nobel, tetapi berbagi dengan Ostrom yang mendalami ilmu politik. Ostrom telah berkontribusi besar dalam kajian pengelolaan sumberdaya kepemilikan bersama (the commons atau common-pool resources, CPRs) seperti ikan, hutan, aliran air, dan laut. Ratusan publikasi telah ia hasilkan baik secara individu maupun bersama, baik berdasarkan studi kasus maupun eksperimen di laboratorium dengan teori permainan (game theory). Bukunya berjudul “Governing the commons: the evolution of institutions for collective action” yang dipublikasikan pada tahun 1990, menjadi rujukan utama pembelajar CPRs di seluruh belahan dunia.

    Apa sesungguhnya CPRs? Sumberdaya ini memiliki dua karakter utama, yaitu: (1) kesulitan untuk mengeluarkan pengguna lain dalam pemanfaatannya (exclusion problems), dan (2) kesulitan membagi rata sumberdaya atau keuntungan darinya (subtractability problems). Aksi penumpang gelap (free riding) akan upaya yang dilakukan oleh pihak lain dan persaingan dalam pemanfaatannya (rivalry of extraction) berimbas pada pemanfaatan secara berlebihan dan degradasi sumberdaya. Dilema ini dilabeli dengan berbagai istilah dan yang sangat terkenal adalah “The tragedy of the commons” yang ditulis oleh Garrett Hardin dalam majalah Science pada tahun 1968.

    Tulisan Hardin memberikan pengaruh luas dan kuat tentang cara penyelesaian dilema CRPs. Dalam “The tragedy of the commons”, Hardin melukiskan bahwa tanpa kehadiran institusi yang dapat memaksa pengaturan CPRs maka kehancuran adalah hasil akhirnya. Penyelesaian masalah kemudian diterjemahkan dalam dua cara: (1) sumberdaya dialihkan menjadi milik pribadi atau swastanisasi, atau (2) pengelolaan diserahkan sepenuhnya pada pemerintah. Sayangnya, walaupun telah diadopsi di banyak tempat, namun pilihan tersebut tidak sepenuhnya mampu menjadi jalan keluar yang efektif. Krisis sumberdaya ikan, hutan gundul, krisis air, dan berbagai bentuk perebutan serta konflik sumberdaya terjadi meluas dari tingkat lokal sampai global. Kondisi ini merupakan bukti ketidak-berdayaan pengelolaan sumberdaya melalui institusi pasar atau negara. Kondisi dan pilihan pengelolaan tersebutlah yang menjadi kritik utama Ostrom dan kelompok pendukungnya.

    Masalah utama privatisasi atau pengelolaan oleh negara adalah kekurang-pahaman akan keberadaan berbagai institusi masyarakat yang berfungsi menata pemanfaatan sumberdaya tersebut. Bahkan, commons itu sendiri adalah institusi yang mengakui adanya kepemilikan secara kolektif, bukan tanpa kepemilikan sama sekali. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada CPRs telah mengadopsi beragam institusi untuk mengelola sumberdaya. Berkes dkk dalam majalah Science terbitan 1989 memberikan beberapa contoh keberhasilan institusi ini seperti: (1) komunitas Ameridian di Teluk James, Quebec, Canada dalam pengelolaan satwa liar melalui adopsi hukum adat, (2) pengelolaan lobster di Maine, USA dengan memberlakukan hak eksklusif atas wilayah dan sumberdaya, dan (3) solusi berbasis komunitas dalam menangani perikanan pukat harimau di New York Bright. Mereka juga menunjukkan kegagalan pengelolaan hutan oleh negara di Thailand yang pada saat bersamaan telah menggusur kearifan lokal. Melalui “Governing the commons”, Ostrom telah mendokumentasikan berbagai contoh keberhasilan masyarakat di berbagai negara dan menuntunnya pada formulasi prinsip-prinsip dan kelembagaan untuk pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan. Dengan demikian, sesungguhnya ditengah masyarakat tersedia dan berkembang beragam institusi untuk mengelola sumberdaya ikan, hutan, satwa liar, sistem irigasi dan CPRs lainnya secara berkelanjutan. Respon secara kolektif tersebut merupakan bentuk tindakan bersama (collective action) dan aksi tersebut merupakan jalan keluar menghadapi dilema dan menyelamatkan sumberdaya.

    Dalam berbagai kajiannya, Ostrom menekankan dua hal pokok. Pertama, pentingnya keragaman instutisi dalam pengelolaan sumberdaya, tidak hanya terpaku pada pasar atau negara. Kedua, kebutuhan akan pemahaman tentang kondisi (faktor-faktor) yang bepengaruh terhadap keutuhan pengelolaan sumberdaya, yang ia pandang sebagai salah satu tugas pokok ilmu sosial. Secara prinsipil, pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan membutuhkan: (1) aturan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya, (2) kejelasan batasan wilayah dan pengguna (hak atas sumberdaya), (3) akutanbilitas sistem pemantauan; (4) adanya sangsi yang bersifat gradual; (5) tersedia penyelesaian konflik biaya rendah; (6) keterlibatan pihak-pihak yang terkait sehingga tercapai kesepakatan antara individu yang terlibat; dan (7) hadirnya sistem kepemimpinan yang mendukung. Desentralisasi pengelolaan diyakini memberikan kontribusi positif bagi keberlanjutan sumberdaya.

    Era otonomi daerah saat ini memberikan kesempatan bagi upaya revitalisasi berbagai kearifan lokal. Gambaran ini tidak berarti bahwa pengelolaan sumberdaya dilakukan dengan menyerahkan seluruh urusan pada masyarakat, tetapi upaya bersama semakin dibutuhkan kehadirannya. Karena itu, Nobel ekonomi yang diberikan pada Ostrom memberikan sinyal kuat bahwa kita perlu menengok lagi dan merevitalisasi beragam institusi yang sesungguhnya telah menjadi bagian dari masyarakat kita seperti desa adat, subak, panglima laot, sasi laut, awiq-awiq, gotong-royong, dan beragam pranata sosial lainnya untuk melanggengkan sumber-sumber penghidupan masyarakat.

  • Kebebasan Akademik ala Prof. Denis Rancourt

    Perseteruan antara Prof. Denis Rancourt dengan Universitas Ottawa (U&O) berakhir dengan diPHKnya sang professor, demikian dilansir diwebsite U&O 6 Februari lalu. Tidak hanya dipecat tapi ia juga tidak diperkenankan berada di universitas tersebut. Theglobeandmail.com melaporkan Rancourt digelandang polisi ketika akan menghadiri pertemuan film dokumenternya di U&O. Kenapa di negara yang memiliki tradisi kebebasan akademik muncul kasus Rancourt? Kebebasan akademik seperti apa yang Rancourt harap dan tawarkan? Kasus ini berawal dari kegelisahan Rancourt tentang sistem pendidikan yang bersifat transfer ilmu dan menghasilkan orang-orang “manut”, bukan ilmuan, atau Rancourt menyebut “scientists, not automatons”. Ia juga menjadi pesiar berbagai ketidakadilan termasuk kritikus perilaku Israil. Kesadaran Rancourt mengantarkannya pada aksi untuk mengenalkan sistem yang ia yakini membebaskan dan demokratis yang ia sebut “academic squatting”. Beliau juga menggugat sistem penilaian konvensional, A-E, dan menganjurkan sistem Lulus/Tidak Lulus. Sebagai guru pegiat (“activist teacher”), Rancourt menawarkan konsepnya ke U&O. Tidak mendapat tempat bagi idenya membuat ia “membangkang”. Di tahun 2005 Rancourt mengumumkan nilai A pada semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahnya, ilmu fisika dan lingkungan, sebelum kuliah dimulai. Dari kasus inilah perseteruan dimulai dan terus meruncing. Sang profesor semakin melawan arus, bahkan mengundang masyarakat mengikuti perkuliahannya termasuk meregistrasi bocah kembar usia 10 tahunan dan ibunya. Materi kuliahpun meluas, bukan hanya ilmu fisika, tetapi juga sosial politik. Akibatnya ia dihadiahi nilai F, alias “fired”.

    Tiga hal mencuri perhatian dari kasus Rancourt, yaitu (1) bidang ilmu, (2) pilihan sistem penilaian, dan (3) sistem pembelajaran. Lalu bagaimana dengan sikap universitas? Adalah pilihan politis ketika universitas yang diwakili oleh para pemegang pucuk pimpinan mengambil tindakan apapun sesuai dengan kaidah yang diyakininya dan dan kepentingan universitas tersebut. Apakah dengan memecat Rancourt kebebasan akademik terlukai? Perbedaan sudut pandang masih akan terus menjadi perdebatan. Jikapun keduanya akan terus bersengketa, pengadilanlah yang akan menyelesaikannya.

    Rancourt adalah seorang profesor terpandang di bidangnya, ilmu fisika. Melalui mesin pencari google scholar dengan mudah ditemukan karya ilmiahnya. Sebagai profesor fisika, apakah Rancourt telah keluar dari bingkai keilmuannya dengan menginisiasi topik-topik sosial politik ke dalam kuliah fisika? Isu sosial dan politik memang menarik bagi siapapun, apalagi informasi tersedia dan dengan mudah diperoleh. Sekali waktu Rancourt menulis “kuliah sosial dan politik semakin dibutuhkan dalam bidang sains”. Jika demikian masalahnya, apakah kita sedang menyaksikan kenyataan bahwa sekat-sekat bidang ilmu itu kokoh? Hal yang tidak sulit untuk ditemukan di kampus-kampus kita. Pagar fisik antara fakultas menjadi cerminan kuliah lintas bidang dan ilmu adalah hal yang juga sulit.

    Kedua, pilihan sistem penilaian yang menjadi alasan utama Rancourt dipecat. Menjadi diskusi panjang pilihan mana yang memberikan kualitas terbaik dan kesuksesan anak didik. Dalam pengantar buku Paulo Freire (1999) “Menggugat pendidikan: fundamentalis, konservatif, liberal, anarkis”, diceritakan tentang Hitler yang cukup baik dan manis semasa kecilnya, tetapi kejam ketika dewasa. Adakah pendidikan bertanggung jawab untuk ini? Tawaran Rancourt akan tepat untuk kondisi interaksi pengajar dan anak didik yang cukup baik. Dengan intensitas itu bukanlah hal yang sulit meluluskan atau tidak seorang mahasiswa. Tetapi dengan kenyataan perguruan tinggi yang lebih berorientasi pada pendidikan masal, mungkinkah meninggalkan sistem konvensional? Kesuksesan di masa datang memang bukan beban tanggung jawab sekolah, tetapi melalui pendidikan diharapkan terbuka jalan bagi pembebasan.

    Ketika Rancourt mengumumkan nilai A untuk seluruh mahasiswanya, sesungguhnya bukanlah berarti mahasiswa tanpa beban. Seorang mahasiswanya mengatakan harus menjalankan tugas yang membutuhkan kreativitas. Target Rancourt dengan “academic squatting” adalah pendidikan pedagogik yang lebih demokratis dan membebaskan dan bidang sains memerlukannya. Dalam kelasnya di tahun 2005, di awal kelas mahasiswa disyaratkan membuat proyek untuk terjun lapangan dan Rancourt melihat antusiasme mahasiswa. Karena mahasiswa dengan sendirinya bertanggung jawab atas proses belajarnya, Rancourt berkesimpulan bahwa sistem penilaian sesungguhnya tidak lagi diperlukan. Pembelajaran yang membuka ruang bagi peran lebih banyak bagi peserta didik (“student centered”) memang semakin dibutuhkan, tapi tidak berarti pendidik melepas tanggungjawabnya.

    Pendidikan kita memang sedang menghadapi banyak tantangan. Namun, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20/2003) berpesan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Pasal 5). Pendidikan bermutu tentu melalui proses interaksi yang baik antara kampus, pendidik, anak didik dan lingkungannya. Interaksi yang baik bisa terselenggara jika ruang interaksi yang egaliter dan partisipatif tersedia. Sekat-sekat jurusan dan fakultas perlu dikurangi dengan memberikan peluang bagi proses belajar dan riset lintas bidang. Proses pembelajaran juga perlu terus mendekatkan mahasiswa dengan permasalahan sesungguhnya dalam masyarakat. Patut dihargai beberapa universitas mempertahankan program berorientasi pada terbangunnya interaski mahasiswa dan masyarakat seperti kuliah kerja nyata, misalnya. Seperti kata Rancourt, mendalami masalah sosial di sekitar lingkungan kita adalah sama pentingnya dengan pelajaran fisika. Semoga pendidikan kita lebih memerdekakan dengan anggaran yang akan mulai terealisasi sesuai amanat UUD. Wahalu ‘alam.

    Davis, California, 9 Maret 2009