Daulat Pangan dari Sumberdaya Perikanan Laut *
Pengantar
Sumberdaya ikan berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan sumber protein utama bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan.
Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 158 juta ton, 91,3 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 66,6 juta ton (FAO, 2014). Dari total produksi tersebut, 136,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepentingan indirect human consumption seperti bahan baku pakan ikan dan ternak.
Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam pecaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara, untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam. Posisi ini masih belum optimal mengingat sumberdaya perairan yang luas dan sumberdaya ikan yang kaya yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Total produksi ikan Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari hanya 7 juta ton pada tahun 2006 menjadi lebih dari 11 juta ton saat ini. Peran perikanan budidaya semakin besar, bahkan sumbangan produksinya telah setara atau bahkan lebih dari perikanan tangkap saat ini. Kecenderungan peningkatan kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang, dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.
Peningkatan cepat produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat. Komsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi 19,2 kg pada tahun 2012, dengan total konsumsi ikan meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan ikan ke depan. Josupeit dan Frans (2003) memperkirakan permintaan ikan untuk konsumsi langsung (direct consumption) pada tahun 2030, mencapai lebih dari 120 juta ton atau 3 juta ton lebih tinggi dari jumlah saat ini. Melihat perkembangan permintaan ikan yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat, maka akan terjadi defisiensi suplai ikan ke depan.
Perikanan merupakan komoditas yang kegiatan produksinya sangat berorientasi pasar. Total nilai ekspor produk perikanan dunia mencapai US$136 miliar pada tahun 2013 dengan trend yang terus menaik (2012-2013 naik 5%). Net-export revenues produk perikanan (ekspor kurang impor) terus mengalami peningkatan, yaitu dari US$5 miliar pada tahun 1985, menjadi US$22 miliar pada tahun 2005, dan mencapai US$35.3 miliar pada tahun 2012. Perkembangan nilai perdagangan komoditas perikanan tersebut jauh melalmpaui komoditas pertanian lainnya (kopi, karet, kakao, gula, pisang, teh, tembakau, beras, daging dan susu). Kecenderungan yang sama juga dapat dilihat pada trend ekpor produk pertanian Indonesia, yang menunjukkan ekpor perikanan yang melampaui eskpor komoditas pangan pertanian lainnya.
Seiring dengan permintaan ikan yang terus meningkat, berbagai data juga menunjukkan harga komoditas perikanan (baik segar maupun olahan) juga terus meningkat, bahkan melampaui harga komoditas pertanian lainnya. Berbasis data harga rata-rata antara tahun 2002-2004 dengan nilai 100, FAO Fish Price Index menunjukkan peningkatan pesat harga ikan dari 90 pada awal 2002 mencapai 160 pada Oktober 2013 (indek berkisar 140 antara tahun 2012-2013) (FAO 2014). Peningatan harga tersebut berkait erat dengan peningkatan jumlah permintaan untuk ikan konsumsi baik produk ikan segar maupun olahan, yang kadang melampaui peningkatan pasokan.
Kemampuan memproduksi ikan untuk kebutuhan dalam negeri menjadi satu faktor penting untuk menjaga ketahanan/kedaulatan pangan, baik ikan sebagai sumber protein utama maupun produk perikanan lainnya sebagai sumber karbohidrat seperti rumput laut. Adanya kecenderungan impor ikan dengan laju pertumbuhan yang meningkat dalam decade terakhir, khususnya ikan untuk diolah lebih lanjut oleh industry pengolahan memberikan sinyal pentingnya pengelolaan sumber perikanan untuk menjaga kedaulatan pangan protein nasional.
Produksi ikan dapat dilakukan melalui dua kegiatan utama, yaitu (1) perikanan tangkap dan (2) perikanan budidaya. Laut menyediakan ruang produksi yang sangat luas baik untuk kegiatan perikanan tangkap maupun budidaya.
Permasalahan Pengelolaan Perikanan
Peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan masih sangat besar besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitatif produksinya mencapai lebih dari separuh total produksi ikan di Indonesia. Di sisi lain, penurunan laju produksi ikan dan habitatnya semakin meningkat, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Trade-off antara kebutuhan ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Perikanan sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin sebagai “the tragedy of the commons”.
Potensi sumberdaya ikan belum dimanfaatkan secara optimal dan terdapat ketimpangan dalam pemanfaatan sumberdaya baik berdasarkan komoditas maupun wilayah. Armada perikanan Indonesia juga sangat timpang, dengan 70% adalah armada perikanan tradisional (lebih dari 50 persen adalah perahu tanpa motor dan jika ditambah dengan kapal ukuran 5 GT ke bawah, maka 3/4 armada perikanan hanya mengandalkan kapal-kapal kecil). Kapal ikan berukuran di atas 30 GT masih sangat terbatas, apalagi kapal ikan di atas 100GT. Pelabuhan perikanan sebagai sarana pendaratan ikan juga sangat terbatas. Sehingga perluasan usaha perikanan di lepas pantai (luar 12 mil dan ZEEI) masih sangat terbatas.
Maraknya praktek perikanan IUU (ilegal, unreported and uregulated fishing) telah merugikan negara sangat besar (diperkirakan dengan nilai mencapai lebih dari Rp30 triliun) dan mengancam ketersediaan sumberdaya ikan untuk masa yang akan datang.
Konflik perikanan juga menjadi berita setelah di era 1970an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.
SDM perikanan masih sangat lemah, dengan tingkat pendidikan 70% hanya SD atau tidak lulus SD. Perguruan tinggi yang memiliki fakultas kelautan dan perikanan juga masih terbatas. Pada saat bersamaan ipteks yang adaptif (lokasi, sosial dan ekonomi) juga masih terbatas.
Upaya untuk Pengelolaan Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok Agraria No. 5/1960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (pasal 47), walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak ada. Belajar dari pengalaman pengelolaan perikanan di Negara lain sepeti Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan program pengkayaan stok ikan. Pengakuan hak pengelolaan sumberdaya perikana dan penguatan intitusi local (masyarakat atau masyarakat adat) akan memberikan ruang bagi partisiapasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan.
Orientasi pembangunan perikanan perlu segera berubah dari kebiasaan mengejar target dan berorientasi ke luar kearah perbaikan kualitas hidup nelayan dan penyelamatan sumberdaya ikan. Perpaduan berbagai pola pengelolaan dengan demikian dibutuhkan. Pada tingkat lokal, pola pengelolaan berbasis masyarakat dapat diadopsi atau lebih diberdayakan. Pengakuan hak atas sumberdaya ikan dalam hal ini diperlukan atau dengan kata lain akses terhadap sumberdaya ikan oleh siapapun (open access) sudah saatnya dibatasi. Upaya ini perlu dipadukan dengan pengembangan industri pembenihan ikan untuk kebutuhan pengkayaan sumberdaya ikan dan pengembangan industri budidaya. Kerjasama antara daerah dan regional juga juga perlu diperkuat untuk menghindari berbagai konflik perikanan.
Pemerintah mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan (”total allowable catch”, TAC) melalui SK Menteri Pertanian No. 473/Kpts/IK.250/6/1985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie (ZEEI). Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perikanan yang baru No. 34/2004 juncto UU 45/2009. Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 9/1985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan.
Seiring dengan semakin menipisnya stok sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi perlu diintroduksi. Produksi masal benih ikan menjadi kunci pengembangan program pengkayaan stok dan harapan untuk ini sangat terbuka dengan keberhasilan produksi benih jenis-jenis ikan yang terancam misalnya kerapu. Keberhasilan perbenihan juga mejadi kunci pengembangan budidaya, walaupun saat ini budidaya sedang berbalik ke spesies introduksi misalnya udang vannamei. Upaya ini dipadukan dengan upaya rehabilitasi habitat ikan yang rusak karena berbagai aktivitas manusia.
Pengembangan secara berkelanjutan industry budidaya ikan, yang sinergis dengan industri penangkapan, untuk mencukupi kebutuhan pangan dan indutri. Pendekatan pengembangan kegiatan produksi perikanan berbasis ekosistem (berbasis penataan ruang) perlu diintroduksi dan diperkuat untuk mengurangi sekat-sekat administrative dalam pengelolaan.
Integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan.
Untuk meningkatkan kemampuan pemanfaatan sumberdaya ikan sebagai sumber pangan bergizi, mata pencaharian, dan lapangan kerja diperlukan berbagai upaya strategis melalui (1) penguatan industry perikanan nasional melalui penguatan armada perikanan (percepatan perubahan struktur armada perikanan yang timpang), sarana prasarana perikanan dasar (pendaratan, pelabuhan, listrik, air, es, dan BBM), dukungan pembiayaan, dan pengembangan SDM. Upaya ini juga menjadi bagian dari upaya mengurangi atau bahkan menghentikan impor pangan, termasuk ikan; (2) politik perikanan/kelautan termasuk diantara anggaran untuk pengembangan industri perikanan secara berkelanjutan, dengan penguatan ekonomi biru; (3) insentif permodalan, kelembagaan dan pemasaran untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan; (4) penguatan sistem logisitik perikanan nasional, (5) jaminan kepastian hukum dan keamanan usaha, termasuk diantaranya adalah tata ruang laut yang lebih jelas; (6) pengelolaan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dengan pendekatan ekonomi biru.
Perikanan Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang besar dengan potensi sumberdaya yang ada, tetapi masih lemah dalam keunggulan kompetitif. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah penguatan kapasitas SDM dan teknologi kelautan dan perikanan. Industri yang bernilai tambah (baik produk perikanan maupun produk kelautan lainnya termasuk bioteknologi kelautan) dalam perikanan hanya dapat dikembangnkan jika didukung ketersediaan teknologi dan SDM yang memadai, selain factor-faktor lain yang telah disebutkan sebelumnya. Daya saing yang rendah juga karena jiwa enterpreneuship yang lemah.
Keterlibatan masyarakat internasional melalui berbagai lembaga internasional (contoh: IMO, IOTC, CCSBT) dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kuat mempengaruhi pola pengelolaan industri perikanan laut kita. Walaupun Indonesia menjadi habitat (tempat bereproduksi dan beruaya) sumberdaya ikan ekonomis penting, tetapi belum tentu dapat menikmatinya karena berbagai batasan oleh regulasi internasional. Sebagai contoh, dalam pengelolaan tuna sirip biru dari selatan (SBT), CCSBT hanya memberi kuota Indonesia kurang lebih 800 ton per tahun, di bawah kuota Korea Selatan dan Taiwan yang masing-masing lebih dari 1.000 ton per tahun atau Jepang dan Australia lebih dari 3000 ton per tahun. Karena itu, politik perikanan (termasuk diantaranya loby dan adu argumentasi) menjadi sesuatu yang harus diperkuat dan bahkan dikuasai oleh Indonesia.
*) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (dipersiapkan untuk bahan Buku Putih UGM Pembangunan Maritim Indonesia (Agustus 2014).