Melihat Indonesia dari Laut: Beberapa Catatan Atas RUU Kelautan *

Pentingnya ocean policy bagi Negera Kepulauan

UUD 1945, BAB IXA tentang Wilayah Negara, pasal 25A menyebutkan “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.

Posisi strategis Indonesia secara geografis (geopolitik dan ekonomi di laut): (1) antara dua benua yaitu Asia dan Australia dan (2) dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, serta (3) transisi garis Wallacea wilayah tropis. Indonesia dengan posisi tersebut memiliki wilayah yang berbatasan dengan banyak Negara (sepuluh negara tetangga), karenanya Indonesia harus menetapkan batas maritim (pulau dan perairan). Dengan posisi tersebut, Indonesia juga menjadi alur pelayaran internasional, yang berarti kepentingan internasional (yang dilindungi oleh ketentuan internasional) atas perairan laut Indonesia sangat tinggi. Posisi pada wilayah tropis memiliki keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumberdaaya hayati maupun non-hayati. Kepentingan internasional yang dilindungi ketentuan internasional, tidak hanya alur pelayaran, juga menyangkut sumberdaya hayati, terutama sumberdaya ikan migrasi (terutama trans-boundary fish species seperti berbagai jenis tuna, yang memililki nilai ekonomi tinggi).

Potensi sumberdaya kelautan untuk pembangunan ekonomi meliputi tiga dimensi wilayah laut: (1) permukaan laut – industri jasa kelautan (pelayaran, termasuk pada Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), pariwisata, olah raga, dll); (2) dalam laut atau kolom perairan (sumberdaya ikan dan sumber-sumber pangan lainnya, serta jasa kelautan), dan (3) dasar laut (energi, mineral, terumbu karang, bahan obat, jasa kelautan, dll). Terdapat sebelas sektor ekonomi kelautan yang dapat dieksplorasi dan dikembangkan, yaitu: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) pertambangan dan energi, (5) pariwisata bahari, (6) transportasi laut, (7) jasa maritim, (8) pengembangan pulau-pulau kecil, (9) potensi sumber daya non konvensional, dan (10) pengembangan sumberdaya manusia (pendidikan, pelatihan, dan penelitian).

Kebijakan kelautan (ocean policy) sangat diperlukan untuk mempertegas: (1) keberpihakan (kedaulatan di laut, memperjuangkan cita-cita perjuangan bangsa, sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957, dan amanat UUD 1945 Pasal 25 dan (2) kepastian (menentukan peta jalan, arah kebijakan dan pembangunan kelautan). Perlu dicatat, naskah Akademik RUU Kelautan menyebutkan: “Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan di bidang kelautan saat ini sudah terbagi habis dan ditangani lebih dari satu kementerian yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda”. Karenanya, laut sebagai sumberdaya dengan kepememilikan bersama (the commons), jika tidak terkelola dengan baik atau gagal dikelola akan berakhir pada apa yang dikatakan Garret Hardin, 46 tahun silam, sebagai “the tragedy of the commons”.

RUU Kelautan ini diharapkan dapat menjadi arahan national ocean policy, sehingga sektor kelautan dapat menjadi arus utama pembangunan nasional dan terjadi percepatan pembangunan kelautan nasional, serta terhindarnya tumpang tindih dan konflik kepentingan antara berbagai pemangku kepentingan di laut.

Catatan terhadap RUU Kelautan

Bab III RUU menguraikan 7 aspek dasar pengaturan dan pengelolaan di sektor kelautan: (1) wilayah laut; (2) pembangunan kelautan; (3) pengelolaan kelautan; (4) pengembangan kelautan; (5) penataan ruang dan pelindungan lingkungan laut; (6) penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut; dan (7) tata kelola dan kelembagaan. Terkait 7 aspek tersebut apakah telah diatur dalam tata peraturan perundangan lain dan bagaimana posisinya dalam hirarki sistem perundangan kita perlu dicermati. Terminologi RUU dan undang-undang yang telah ada perlu disesuaikan, sehingga tidak menimbulkan tafsir beragam. Sebagai contoh: terminologi yurisdiksi nasional (dalam RUU, pasal 4) perlu diselaraskan dengan terminologi Wilayah Yurisdiksi dalam Undang-Undang No. 43/2008 tentang Wilayah Negara (Pasal 1 dan Pasal 8). RUU ini telah memberikan dasar hukum bagi pengelolaan perairan di zona tambahan (pasal 5), di laut lepas maupun di kawasan dasar laut internasional (RUU menyebut sebagai “laut yang berada di luar yurisdiksi nasional”, pada pasal 6).

Pembangunan kelautan masih membutuhkan operasionalisasi dari berbagai rancangan, perumusan dan pelaksanaan dari 8 kebijakan (Pasal 8): (1) kebijakan pengelolaan sumber daya kelautan, (2) kebijakan pengembangan sumber daya manusia, (3) kebijakan pengamanan wilayah kedaulatan, (4) kebijakan tata kelola dan kelembagaan, (5) kebijakan peningkatan kesejahteraan, (6) kebijakan ekonomi kelautan, (7) kebijakan penataan ruang dan perlindungan lingkungan laut, dan (8) kebijakan budaya bahari. Berbagai kebijakan tersebut masih memerlukan turunan produk hukum (ex. Peraturan Pemerintah). Sinkronisasi dengan produk hukum yang telah ada dan turunan produk hukumnya menjadi kebutuhan, karena berbagai perangkat peraturan tumpang tindih (seperti ditegaskan dalam Naskah Akademik). Prioritas kebijakan kelautan, dalam rangka mendorong penguatan pembangunan kelautan minimal dua aspek: (1) budaya bahari, salah satunya melalui penguatan sistem pendidikan dan penelitian yang berorientasi kelautan (ex. pendidikan tinggi kelautan yang lebih tersedia dan dukungan penelitian bidang kelautan), dan (2) pengembangan industri kelautan (melalui pemanfaatan sumberdaya konvensional, nonkonvensional, maupun jasa kelautan). RUU telah memberikan kepastian hukum dan dukungan politik anggaran untuk menjadikan kelautan sebagai basis pembangunan ekonomi bangsa, baik di tingkat pusat maupun daerah (pasal 10).

Bab IV, Bagian Pemanfaatan Sumberdaya Kelautan (Pagargraf 1 sampai 5) menjelaskan lima sumberdaya kelautan dan pemanfaatannya, yaitu: (1) Perikanan (Pasal 11 sampai Pasal 15), (2) Energi dan Sumber Daya Mineral (Pasal 16 dan 17), (3) Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 18), (4) Hutan Bakau (Pasal 19), dan (5) Sumber Daya Alam Nonkonvensional belum (Pasal 20 dan 21). Definisi sumberdaya yang dimaksud perlu dijelaskan dalam Penjelasan sehingga tidak tumpang tindih satu dengan yang lain. Sebagai contoh: Undang-Undang Nomor 27/ 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Undang-Undang 1/2014, pasal 1 menyebutkan: “Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain…dst.” Terminologi hutan bakau (Pasal 19) perlu disesuaikan agar tidak dimaknai sebagai bakau (dari marga Rhizopora saja), tetapi ekosistem/hutan mangrove. Selain lima sumberdaya yang dimaksud dalam RUU, sumberdaya terumbu karang, perlu diwadahi dalam RUU ini karena terumbu karang menjadi sumberdaya yang sangat penting dan menjadi perhatian dunia saat ini. Indonesia telah menjadi inisiator bagi terbentuknya Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF) bersama lima negara lain pada tahun 2009.

Dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan perlu mempertimbangan dinamika tata kelola di tingkat internasional. Sebagai contoh, pada bagian Perikanan (pasal 11-15), pengelolaan sumberdaya ikan-ikan tertentu yang bermigrasi lintas Negara (ex. Tuna) semakin dominan dilakukan oleh komunitas masyarakat dunia. RUU perlu mempertegas bahwa Indonesia harus berpartisipasi aktif dan mengklaim hak atas sumberdaya dalam tata kelola tersebut untuk mendapatkan manfaat lebih dari sumberdaya ikan (terkait permasalahan pada uraian ini salah satu contoh adalah: CCSBT menetapkan kuota Indonesia hanya 700-750 ton per tahun sementara Taiwan dan Korea Selatan lebih dari 1000 ton dan Australia serta Jepang mencapai 3400-5500 ton per tahun untuk tuna sirip biru dari selatan atau SBT/southern bluefin tuna, salah satu ikan termahal saat ini, yang habitatnya juga sebagian ada di Indonesia è diplomasi laut). Pengelolaan sumberdaya perikanan juga perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir Indonesia.

Pengelolaan dan pengembangan industri kelautan seperti dijelaskan pada Bab IV Bagian Kedua (Pengusahaan Sumberdaya Kelautan) sangat penting karena mempertegas pentingnya integrasi pengembangan industri kelautan dengan kebijakan pengelolaan dan pengembangan industri nasional. Dua isu terkait industri kelautan, yaitu: pertama, definisi industri kelautan dan industri maritim perlu dirumuskan secara lebih jelas dan disepakati (definisi tersebut perlu dimasukan pada Bagian Penjelasan). Sebagai pembanding, pengantar Blackwell companions to contemporary economics, menuliskan “maritime economics is the economics of maritime transportation, i.e., an economic analysis of its users (shippers and passengers), primary service providers (transportation carriers and ports), secondary service providers (e.g., ship pilots and towage, ship agents, stevedores and freight forwarders) and resources (e.g., labor, infrastructure and mobile capital such as ships)” (Talley (), 2012). Industri kemaritiman karenanya cenderung memiliki makna industri terkait transportasi dan perhubungan laut serta jasa-jasanya. Disisi lain, Surıs-Regueiro et al. (2013), dalam tulisannya berjudul “Marine economy: A proposal for its definition in the European Union” secara rinci menjelaskan klasifikasi sektor ekonomi kelautan dan indutrinya di Eropa. Berdasarkan Surıs-Regueiro terdapat 9 sektor ekonomi kelautan, yang selanjutnya dibagi kedalam 32 sub-kelompok industri kelautan. Kelompok industri selanjutnya dibagi tiga, yaitu: (1) industri yang aktivitasnya sepenuhnya di laut (activities completely marine), aktivitas utama di laut (activities mainly marine), dan aktivitas sebagian di laut (activities partially marine). Kedua, pengelompokkan industri dalam RUU (pasal 9 dan pasal 22-24) telah menjelaskan tiga sub kelompok industri kelautan, yaitu: (1) industri bioteknologi, (2) industri maritim (meliputi: galangan kapal; pengadaan dan pembuatan suku cadang; peralatan kapal; dan perawatan kapal), dan (3) jasa maritim (meliputi: pendidikan dan pelatihan; pengangkatan benda berharga asal muatan kapal tenggelam; pengerukan dan pembersihan alur pelayaran; reklamasi; pertolongan dan pencarian; remediasi lingkungan; jasa konstruksi; dan angkutan sungai dan pulau). Pengelompokkan industri tersebut belum secara utuh mengambarkan dan menyatukan sektor kelautan yang ada. Sebagai contoh: walaupun Perikanan telah dijabarkan dalam Pasal 11 sampai Pasal 15, dan Wisata Bahari pada Pasal 25, tetapi berdasarkan uraian industri kelautan (Pasal 22 sampai Pasal 24) keduanya tidak masuk dalam kategori industri kelautan. Padahal, keduanya termasuk dalam kelompok industri kelautan.

Terkait Pengembangan Kelautan (Bab VII), khususnya Bagian Kesatu (Pasal 29), Sumber Daya Manusia, RUU telah menjelaskan pentingnya pembangunan pendidikan dan kesehatan. Aspek ini sangat penting bagi sektor kelautan. Jika fokus pada sektor kelautan menjadi prioritas saat ini dan ke depan, strategi pengembangan SDM perlu lebih dapat operasionalkan. Sebagai gambaran: Pendidikan kelautan dan perikanan telah ada dikembangkan pada 50an perguruan tinggi negeri (selain perguruan tinggi swasta) dengan berbagai level organisiasi pengelolaan terkait bidang ilmu. Saat ini terdapat 119 Program Studi Perikanan, 46 Prodi Kelautan, 26 Prodi Kepelayaran (di PTN dan PTS). Secara organisasi, bidang ilmu kelautan dan perikanan yang telah dikembangkan saat ini tergabung dalam program studi atara lain: (1) Manajemen Sumberdaya Perikanan/Perairan, (2) Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, (3) Budidaya Perikanan, (4) Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, (5) Sosial Ekonomi Perikanan, (6) Ilmu Kelautan, dan (7) Teknik (Teknik Perkapalan atau nama lainnya) serta (8) Kepelayaran, dan nama yang lainnya. Perguruan tinggi atau Fakultas Kelautan perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dan menjadi kewajiban yang diatur dalam RUU, termasuk di perguruan-perguruan tinggi besar dan ternama, sehingga dapat menjadi bagian strategi menuju Budaya Bahari.

Terkait Riset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, RUU memberikan landasan yuridis yang penting terkait pengembangan IPTEK Kelautan. Pasal 33 juga telah mengatur peran pemerintah dalam pelaksanaan penelitian ilmiah kelautan dalam rangka kerja sama penelitian dengan pihak asing, yaitu dengan melaporkan hasil penelitian kepada negara. RUU perlu mempertegas peran Negara dalam mengatur kegiatan riset, sehingga tidak hanya melaporkan hasil. Butir 11 UU 17/1985 mengamanatkan: “….kedaulatan negara pantai mencakup pula pengaturan penelitian ilmiah kelautan di Laut Teritorial atau Perairan Kepulauan. Hal tersebut berarti bahwa setiap penelitian ilmiah kelautan yang dilaksanakan dalam Laut Teritorial/Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan dengan seizin negara pantai. Konvensi menetapkan pula bahwa negara pantai mempunyai yurisdiksi untuk penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen.”

Aspek Penataan Ruang dan Pelindungan Lingkungan Laut menjadi aspek yang sangat penting dalam tata kelola laut sebagai milik Negara (milik bersama). Penataan tersebut telah menyangkut bagian permukaan laut, kolom laut, dan dasar laut untuk menghindari berbagai konflik kepentingan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, telah memberikan 4 amanat terkait pengelolaan wilayah pesisir, yang meliputi Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, dan Rencana Aksi, tetapi hanya beberapa daerah saja memiliki rencana-rencana tersebut. Bab VIII RUU ini perlu secara sinergis dirumuskan dengan perundangan yang sebelumnya ada. Butir 3, Ruang Lingkup, Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Juncto UU 1/2014 menguraikan: “Undang-Undang ini diberlakukan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan”. Karenanya, wilayah perairan yang belum tercangkup di dalam peraturan yang ada perlu diatur tatagunanya.

Penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan (Bab IX) telah diuraikan dengan prinsip, terkoordinasi dan terpadu dalam satu kesatuan komando dan kendali. Lembaga koordinasi tersebut perlu dijamin mampu dan dapat melakukan fungsinya.

Peran Serta Masyarakat telah dijelaskan dalam Bab XI, yang meliputi: (a) partisipasi dalam pelestarian nilai-nilai budaya, wawasan bahari, dan merevitalisasi hukum adat dan kearifan local di bidang kelautan; atau (b) partisipasi dalam pelindungan dan sosialisasi peninggalan budaya bawah air melalui usaha preservasi, restorasi, dan konservasi. Ketegasan tentang Pengakuan dan Penetapan Hak Masyarakat atas Sumberdaya, terutama hak adat perlu secara eksplisit diatur.

Penutup

RUU Kelautan sangat penting untuk memberi landasan yuridis, menjadi payung dan penuntun arah kebijakan kelautan nasional. RUU ini telah dihasilkan dari kajian akademis yang komprehensif, namun demikian perlu secara seksama memperhatikan berbagai perangkat perundangan yang ada. Hal ini penting karena seperti telah diuraikan dokumen Naskah Akademik, terdapat banyaknya perangkat perundangan yang terkait kelaut dan laut seolah “terbagi habis” dengan adanya banyak ketentuan tersebut.

Undang-Undang Kelautan sebagaimana diharapkan banyak pihak harus mampu menjamin tatakelola laut yang berkelanjutan dan mensehjaterakan, memberi prioritas pada pembangunan ekonomi berbasis kelautan (ocean economy), dan kekuatan pertahanan keamanan nasional yang segani.

Mengatur kewenangan yang sangat banyak dan tumpang tindih di sektor kelautan membutuhkan lembaga koordinasi yang kuat dan tangguh. Lembaga yang secara operasional dapat bekerja dan mengatur dengan baik menjadi kebutuhan. Lembaga koordinasi tersebut juga sangat penting dalam kaitannya dengan penegakan hukum, keamanan, dan keselamatan di laut.

Semoga Indonesia semakin jaya dan disegani di laut.

Daftar Rujukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara

Talley, W.K., (ed.), 2012. The Blackwell companion to maritime economics. Blackwell Publishing Ltd.

Surı´s-Regueiro, J.C., M.D. Garza-Gil, M.M. Varela-Lafuente, 2013. Marine economy: A proposal for its definition in the European Union. Marine Policy 42: 111–124.

*) Suadi, Lab. Sosial Ekonomi Perikanan UGM (disampaikan pada Konsultasi Publik & Jaring Pendapat dengan Komisi IV DPR RI pada 18 September 2014 di UGM).