Daulat Pangan Ikani dan Visi Kelautan DIY

Maguro Sushi

Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan perikanan dunia telah mampu memproduksi ikan dengan total produksi lebih dari 145 juta ton, 90 juta ton diantaranya hasil perikanan tangkap atau budidaya ikan menyumbang 55,1 juta ton. Dari total produksi tersebut, 117,2 juta ton ikan digunakan langsung untuk konsumsi dan sisanya untuk kepenting indirect human consumption seperti bahan baku pakan ikan dan ternak. Indonesia adalah salah satu pemain kunci dalam pecaturan perikanan global. Untuk perikanan tangkap, Indonesia menempati urutan kedua setelah Cina sebagai produsen ikan dunia. Sementara, untuk perikanan budidaya, Indonesia menempati urutan keempat setelah Cina, India, dan Vietnam.

Total produksi ikan Indonesia dalam dekade terakhir menunjukkan perkembangan yang sangat berarti, yaitu dari hanya 7 juta ton pada tahun 2006 menjadi lebih dari 11 juta ton saat ini. Peran perikanan budidaya semakin besar, bahkan sumbangan produksinya telah mencapai lebih dari 50% saat ini. Kecenderungan peningkatan kontribusi perikanan budidaya juga terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan total produksi dari budidaya telah mampu melampaui produksi daging. Majalah The Economist (10 Agustus 2013) melaporkan tingkat produksi ikan pada tahun 2020 mendatang, dapat mencapai 6 kali tingkat produksi tahun 1990.

Peningkatan cepat produksi ikan tidak terlepas dari meningkatnya jumlah permintaan ikan dunia karena pertumbuhan jumlah konsumen (penduduk) yang terus meningkat dan kesadaran akan pangan sehat. Komsumsi ikan rata-rata masyarakat dunia terus meningkat, dari hanya sekitar 6 kg/kapita/tahun di tahun 1950, menjadi hampir 18 kg/kapita/tahun saat ini. Total konsumsi ikan masyarakat dunia telah meningkat dari 50 jutaan ton di awal 1960 menjadi hampir tiga kali lipatnya saat ini. Beberapa proyeksi memberikan indikasi terus meningkatnya permintaan ikan ke depan. Josupeit dan Frans (2003) memperkirakan permintaan ikan untuk konsumsi langsung (direct consumption) pada tahun 2030, mencapai lebih dari 120 juta ton atau 3 juta ton lebih tinggi dari jumlah saat ini. Melihat perkembangan permintaan ikan yang terus meningkat tersebut, jika kapasitas produksi tidak mampu digenjot secara cepat, maka akan terjadi defisiensi suplai ikan ke depan.

Putar kemudi orientasi pembangunan di DIY: dari among tanike dagang layar

Permasalahan suplai ikan telah dirasakan oleh industri pengolahan ikan nasional. Setelah bertahun-tahun Indonesia menjadi eksportir produk perikanan, dalam dekade terakhir juga gencar mengimpor ikan, walaupun dari sisi nilai masih kecil dibandingkan ekspor, tetapi dari sisi laju pertumbuhan peningkatannya sangat pesat. Pada awal tahun 2000 total impor ikan Indonesia bernilai dibawah US$50 juta, meningkat hampir lima kali lipatnya dalam tahun-tahun terakhir. Survai yang dilakukan oleh para mahasiswa Jurusan Perikanan UGM, dalam praktikum lapangan Pengantar Ekonomi Perikanan di Juwana, Pati, (sentra perikanan Jawa Tengah) mendapatkan responden pengolah ikan seperti pidang mulai mengandalkan bahan baku impor untuk olahan ikan.

Untuk mengakselerasi pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir dan laut, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terus mendorong terbangunnya peradaban baru yang unggul dengan mengambil strategi budaya, yaitu membalik paradigma ‘among tani’ menjadi ‘dagang layar’, dari pembangunan berbasis daratan ke kemaritiman, dengan menggali, mengkaji dan menguji serta mengembangkan keunggulan lokal (local genius). Ajakan perubahan pola pikir dan paradigma pembangunan tersebut perlu terus disosialisasikan dan direalisaikan dengan langkah implementatif yang strategis dalam bidang sistem penganggaran pembangunan daerah, sistem pendidikan, penelitian, dan pemberdayaan masyarakat.

Reorientasi pola pembangunan dengan menjamah laut harus dilakukan mengingat semakin terbatasnya lahan produksi pangan maupun ruang untuk pengembangan ekonomi masyarakat di darat. Di tengah semakin menyusutnya peran sektor pertanian terhadap perekonomian DIY (hanya menyumbang 16,33% total PDRB), belum diikuti oleh perubahan pada struktur tenaga kerja (47,2% rumah tangga di DIY adalah rumah tangga pertanian). Dari jumlah rumah tangga yang ada 80% merupakan petani gurem, dengan luas kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar. Sangatlah sulit meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan kepemilikan lahan yang sangat terbatas, apalagi pilihan komoditas usaha adalah komoditas yang tidak kompetitif.

Pengembangan produksi pangan dari laut, diharapkan dapat menjawab kelemahan DIY dalam memenuhi kebutuhan pangan ikani yang terus meningkat. Hingga saat ini, DIY baru mampu memenuhi 40% dari kebutuhan ikan dari hasil produksi sendiri, yang berarti 60% kebutuhan diimpor dari luar daerah (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Jika DIY mampu memanfaatkan 5% potensi lestari sumberdaya ikan yang mencapai 393.600 ton di Selatan Jawa, terdapat potensi produksi sebesar 19.000 ton per tahun. Sementara DIY baru mampu memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut pada tingkat yang sangat rendah, walaupun terus meningkat (produksi perikanan laut hanya 134,93 ton pada tahun 1994 naik menjadi 3.800 ton pada tahun 2010 serta 4.000 ton pada tahun 2012).

Berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas produksi perikanan perlu didorong melalui: (1) percepatan penyelesaian dan pengoperasian pelabuhan perikanan Glagah agar memungkinkan perubahan struktur armada perikanan, dari perahu motor temperl menjadi kapal motor ukuran minal 30G. (2) Penyiapan infrastruktur tersebut harus dibarengi dengan persiapan nelayan secara terprogram (social engineering yang adaptif). Karena itu, (3) alokasi anggaran untuk peningkatan kapasitas SDM perlu ditingkatkan secara signifikan (anggaran penguatan SDM hanya 3% dari total anggaran Dinas Kelautan dan Perikanan DIY). Selain perikanan tangkap, (4) budidaya ikan yang memiliki potensi lahan yang mencpai 18.900 hektar, dengan tingkat pemanfaatan hanya kurang dari 12%, perlu terus didorong. (5) DIY juga telah memantapkan diri menjadi pusat perbenihan melalui program Jogja Benih. Pilihan tersebut sangat tepat karena benih menjadi faktor pembatas budidaya ikan dan untuk pengembangan konservasi smberdaya melalui pengkayaan stok ikan (restocking). Jogja Benih karenanya harus mampu menjadi “Jogja Benih Istimewa, Istimewa Benih Jogja”.

Sebagai kota pendidikan, yang didukung lebih dari 120 perguruan tinggi, penguatan pusat-pusat kajian dan pendidikan kelautan dan perikanan perlu dilakukan sebagai strategi budaya. Melihat jumlah perguruan tinggi dan program studi yang berorientasi di bidang kelautan dan perikanan yang sangat minim (satu akademi perikanan, satu akademi kemaritiman, dan satu jurusan perikanan, serta beberapa lab kelautan), maka visi tersebut sangat sulit dicapai jika tidak dimulai dengan mengarahkan dan mendorong pendidikan terutama kurikulum pendidikan berorientasi ke kelautan dan perikanan. Pendidikan kelautan dan perikanan tidak hanya terbatas pada produksi pangan ikani, tetapi obat-obatan melalui pengembangan bioteknologi kelautan, dan pengembangan energi serta berbagai jasa kelautan, termasuk pariwisata. Karena itu, upaya menjawab permasalahan kedaulatan pangan ikani harus dilakukan secara terpadu melalui peningkatan kapasitas produksi dengan penyiapan sarana prasarana perikanan, teknologi, dan sistem pengelolaan yang professional, serta meningkatkan daya saing dengan penyiapakan SDM kelautan dan perikanan.

 

Suadi, Ph.D., Ketua Lab. Sosial Ekonomi Perikanan Jurusan Perikanan UGM, e-mail: suadi@ugm.ac.id