Tsunami Reformasi Universitas Jepang

Pemerintah Jepang melakukan berbagai gebrakan reformasi universitas di awal milenium ini. Beberapa universitas terkemuka seperti Universitas Tokyo, Universitas Kyoto, Universitas Osaka, Universitas Hokkaido dan Universitas Ibaraki memanfaatkan momentum ini untuk membangun kolaborasi besar dalam riset dan pendidikan. Kelima universitas ini sejak Agustus 2005 lalu telah bersepakat membangun jaringan bernama IR3S (“Integrated Research System for Sustainability Sciences”) yaitu suatu kolaborasi akademik yang ditujukan untuk mengkaji dan memperbaiki mekanisme sistem global, sosial, dan manusia, serta berbagai jejaringnya agar mampu menjawab berbagai permasalahan komplek saat ini dan akan datang terutama di Asia. Petinggi universitas menjadi “team leader” dan masing-masing secara independen membangun inisiatif riset yang dikemas dalam aneka “Flagship Project”. Universitas Ibaraki misalnya, melalui “Institute for Global Change Studies (ICAS)” mengusung ”Future of Asia and Pacific Coast” dengan menempatkan kaji dampak, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Teknik, pertanian, dan pembangunan wilayah yang adaptif terhadap perubahan iklim menjadi fokus utama universitas ini sampai tahun 2009 mendatang. Kolaborasi dengan industripun telah lama menjadi berita.
Gelombang reformasi universitas Jepang

Kolaborasi riset telah memiliki akar sejarah yang panjang di Jepang, misalnya antara universitas atau institusi riset dengan para petani senior dalam penemuan dan pengembangan industri benih tanaman pangan yang unggul dalam era Meiji. Sesaat pasca kekalahan Perang Dunia II, reformasi pendidikan diwarnai pertarungan pengaruh antara dua ideologi, walaupun dominasi Amerika Serikat seperti disebutkan Mitoji Nishimoto dalam salah satu edisi Jurnal Educational Sociology (1952) mengalir deras bak aliran air. Kisah heroik mewarnai perjalanan reformasi ini yaitu ketika pemimpin di pedesaan merelakan diri mati terhormat saat kurang mampu menggalang dana untuk pendidikan. Pasca pendudukan (1952-1960), pemerintah menilai ulang pendidikan era sebelumnya dan mulai menyesuaikan dengan model tradisional pendidikan Jepang. Moral pendidikan seperti filosofi hidup, kebodohan berperang, pentingnya persahabatan, dan permasalahan yang dihadapi para orang tua kemudian diperkenalkan. Era ini diikuti ekspansi ekonomi antara tahun 1960an-1970an, yang juga menstimulus universitas memproduksi lulusan yang sesuai kebutuhan industri.
Dalam era 1980an Jepang dihadapkan pada tantangan ekonomi dan sosial pasca pertumbuhan spektakuler ekonomi periode sebelumnya, sehingga reformasi pendidikan dituntut untuk dapat menjembatani tantangan di abad ke-21 dan harmonisasi tradisi dan nilai yang dianut bangsa Jepang (Edward R. Beuchamp dalam Education Quarterly, 1987). Era 1990an pendidikan Jepang telah memasuki “post-massification” yaitu suatu indek dimana lebih dari 50% penduduk kelompok usia 18 tahun memasuki berbagai perguruan tinggi. Hasil ini seperti dikemukan Akira Arimoto dalam papernya “Trends in higher education and academic reforms from 1994 onwards in Japan” mendorong berbagai rekonstruksi pengetahuan dan fungsi universitas. “University Council” kemudian menempatkan tiga prioritas reformasi kualitas pendidikan yaitu penguatan fungsi pengajaran, pengembangan riset dan pengajaran bertaraf internasional, dan penyiapan “a long life learning society”.
Gelombang reformasi universitas saat ini semakin terpusat pada faktor ekonomi, pasar dan buah dari deregulasi pemerintah. Tahun 2001 pemerintah melalui Monbukagakusho (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, Sains dan Teknologi) mengumumkan kebijakan reformasi struktural universitas dimana rasionalisasi salah satu diantaranya. Empat universitas dalam bulan Oktober 2002 telah bergabung menjadi 2 universitas yaitu University of Yamanashi dan Yamanashi Medical College menjadi Universiy of Yamanashi, serta University of Tsukuba dan University of Library Information Science menjadi University of Tsukuba. Setahun kemudian dicanangkan penggabungan 20 universitas lainnya menjadi 10 universitas dimana 3 diantaranya pada Oktober 2005 telah bersepakat berkonsolidasi menjadi 1 universitas. Perubahan substantial ini telah diawali dengan upaya mendorong universitas negeri menjadi korporasi, yaitu suatu institusi otonom yang mirip dengan universitas berbadan hukum (PT BHMN) yang diusung pemerintah kita di akhir tahun 1999. Pemerintah juga mendorong universitas agar memiliki daya saing yang tangguh dengan mengintroduksi evaluator dari pihak ketiga dimana JSPS (”Japan Society for Program Commitee”) melakukannya dalam tahun anggaran 2002 dan 2003. Untuk menjamin mutu juga dikenalkan sistem penjaminan mutu yang baru yang membuka ruang bagi penutupan departemen tertentu. Pengembangan program pasca-sarjana yang profesional bertaraf internasional seperti dicanangkan dalam program IR3S merupakan bagian dari reformasi universitas di negeri sakura ini.
“Japan! Rise Again!” itulah yang menjadi target reformasi pendidikan Jepang.
Apakabar reformasi universitas kita?

Diantara revolusi pendidikan di Asia sesaat pasca kemerdekaan, Pauline Tompskin dalam salah satu edisi Jurnal Higher Education (1959) mengkategorikan pendidikan kita yang paling terbelakang. Kekalahan digaris start dapat dipahami karena Belanda tidak memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan. Generasi masa penjajahan yang pernah memperoleh kesempatan itu sebagian besar selalu kita kenang sebagai pencerah dan pejuang bangsa.
Reformasi universitas sesi terakhir antara kita dan Jepang tidak banyak berbeda dari segi waktu, muatan, maupun faktor pemicunya. Jepang sejak tahun 1999 menggulirkan otonomisasi universitas negeri seperti tertuang dalam ”Basic Plan for Simple and Efficient National Administrative Organs”. Pemerintah kita juga dengan dasar serupa dalam tahun tersebut menjadikan 4 universitas besar di negeri ini yaitu UGM, UI, ITB, IPB menjadi PT BHMN (PP 61/1999). Sayangnya, reformasi kita tidak seperti di Jepang dimana sekuen waktu bisa diikuti seperti restrukturisasi univeristas di bulan Juni 2001, studi image universitas korporasi di bulan Maret 2002, panduan formulasi anggaran pada November 2002, dan legislasi Undang-Undang (UU) tentang universitas korporasi di bulan Juli 2003, serta realisasinya pada April 2004. Walaupun seperti halnya Jepang kita juga melakukan pembaruan UU sistem pendidikan (UU 20/2003), produk hukum ini belum mampu menjamin arah reformasi universitas. Sampai saat ini status PT BHMN termasuk model pendanaannya masih terkatung- katung, bahkan seperti dilaporkan Kompas (23/1) sejumlah universitas masih dipusingkan dengan laporan pertanggungjawaban keuangan kepada pemerintah. Tidaklah mengherankan, berita gembira reformasi universitas selama 6 tahun terakhir masih sangat terbatas dan ingatan kita lebih melekat pada demonstrasi para dosen dan biaya pendidikan yang semakin tidak terjangkau.
Terlalu utopis berharap rasionalisasi universitas negeri seperti yang dilakukan Jepang, namun sekat untuk kolaborasi riset dan pendidikan di antara universitas patut dibongkar, termasuk dalam tubuh universitas itu sendiri. Tubuh universitas pun patut melakukan diet kelembagaan untuk menghemat penggunaan sumberdaya yang terbatas khususnya yang selalu menjadi momok yaitu dana. Pemerintah tentu diharapkan tidak mencuci tangan setelah menggulirkan otonomisasi universitas dan perlu terus mendorong agar upaya ini memiliki jaminan status dan arah yang jelas. Semuanya berpulang pada keseriusan untuk menjadikan universitas yang otonom dan berbasis pada riset seperti yang telah dicanangkan oleh banyak perguruan tinggi di negeri ini. Akhirnya, reformasi universitas kita harapkan menjadi tsunami membangun kemandirian dan upaya pencerdasan kehidupan berbangsa. Wahahu’alam

Menjelang musim semi di pinggiran Danau Kasumigaura, 7 Maret 2006
Suadi
e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality