Mengkaji Ulang Pola Pengelolaan Perikanan

Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970an konflik sangat mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Selama bulan Januari yang lalu konflik dengan kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa Tengah dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November 2005 di Pulau Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka dengan tewasnya seorang nelayan dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI 6/2). Selama bulan September 2004 juga terjadi beberapa kali antara nelayan Madura dan Sidoharjo yang juga berakibat kehilangan nyawa. Pada tahun yang sama juga Kompas (16/1) melaporkan konflik dengan ancaman bom terhadap nelayan Jawa Tengah di selat Makasar. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini.

Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno, 2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah pantai. Kini, ciri dasar perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada fase awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya hanya diatur oleh pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South East Asia c. 1850-2000”.

Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.

Pemerintah sebenarnya mengembangkan beberapa pola yang secara langsung mengatur pemanfaatan sumberdaya ikan. Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976 mengatur jalur-jalur penangkapan ikan untuk mereduksi konflik perikanan. SK ini diperkuat dengan beberapa SK lain dan pada tahun 1999 Menteri Pertanian mengeluarkan SK 392/Kpts/IK.120/4/1999 yang mengatur jalur penangkapan ikan yang baru beserta karakter kapal dan alat tangkapnya. Pemerintah juga mengatur jumlah tangkapan yang diperbolehkan (”total allowable catch”, TAC) melalui SK Menteri Pertanian No. 473/Kpts/IK.250/6/1985 untuk perikanan di zona ekonomi eksklusif Indonesie (ZEEI). Kebijakan ini juga secara tegas tertuang dalam Undang-Undang (UU) Perikanan yang baru No. 34/2004 (pasal 7). Selain perijinan perikanan yang diperkenalkan sejak lahirnya UU Perikanan No. 9/1985, registrasi kapal ikan juga telah menjadi salah satu alat pengelolaan. Sayangnya, efektivitas pengelolaan perikanan yang dikembangkan selama ini tidak memuaskan. Dalam banyak kasus, dominasi negara yang berlebihan justru menghilangkan berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Walaupun UU perikanan No. 34/2004 menyebutkan keharusan memperhatikan hukum adat dan pentingnya memperhatikan peran-serta masyarakat (pasal 6 ayat 2), namun tidak ditemukan penjelasan lain lebih jauh dan nampak peran pemerintah dalam pengelolaan perikanan masih mendominasi.

Pengelolaan sumberdaya perikanan ke depan perlu mempertimbangkan kembali pengakuan hak atas sumberdaya ikan yang telah memiliki akar sejarah dalam tradisi masyarakat pesisir. Pemerintah Belanda menguatkan model ini misalnya dalam pengaturan perikanan bunga karang dan mutiara tahun 1916 dan ketentuan ”territoriale zee en maritene kringen ordonantie” (TZMKO) tahun 1939 untuk melindungi nelayan dan mengkonservasi sumberdaya ikan. UU Pokok Agraria No. 5/1960 juga menjelaskan adanya hak pemeliharaan dan penangkapan ikan (pasal 47), walaupun peraturan pemerintah yang mengatur ketentuan ini tidak ada. Sepenting apakah hak ini bagi perikanan? Belajar dari perikanan Jepang, adanya hak perikanan tidak hanya melindungi aktivitas kenelayanan, tetapi juga upaya ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam pembiayaan pengelolaan perikanan khususnya yang menyangkut ”transaction cost” dalam pengumpulan informasi, pemantauan sumberdaya, dan program pengkayaan stok ikan.

Seiring dengan semakin langkanya sumberdaya ikan, insentif untuk konservasi sudah saatnya diintroduksi. Produksi masal benih ikan menjadi kunci pengembangan program pengkayaan stok dan harapan untuk ini sangat terbuka dengan keberhasilan produksi benih jenis-jenis ikan yang terancam misalnya kerapu. Keberhasilan perbenihan juga mejadi kunci pengembangan budidaya, walaupun saat ini budidaya sedang berbalik ke spesies introduksi misalnya udang vannamei. Sementara, rehabilitasi habitat ikan akhir-akhir ini mendapat perhatian dengan adanya program Coremap yang didanai donor internasional.

Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung ”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang berbagai target pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan kontribusi terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara langsung tergantung padanya.



Oleh:
Suadi
Jur. Perikanan dan Kelautan UGM

e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id

Let`s share knowledges, sciences, and experiences
Technology, Partnership & Equality